Santun Berkendara

Selasa, 31 Juli 2012

Jalanan di Ngawi terjenal sebagai jalur maut. Sering terjadi kecelakaan dengan korban jiwa yang tak sedikit. Jalur Ngawi-Geneng, Ngawi-Mantingan, dan Ngawi-Karangjati adalah beberapa di antaranya. Jalanan di Ngawi memang berbahaya, banyak yang rusak. Penyebabnya sih katanya tanah yang labil. Orang sering menyebutnya tanah gerak. Alhasil jalan yang baru saja diaspal beberapa tahun kemudian kembali rusak. Inilah yang menyebabkan kecelakaan.

Masih ingat artis kawakan Sopan Sofian. Ia mengalami kecelakaan di jalur Ngawi-Mantingan dalam rombongan tur mogenya. Maut pun merenggut nyawa. Saat itu jalanan dianggap sebagai biang keladi penyebabnya. Pasca itu, jalanan Ngawi-Mantingan mulus diperbaiki. Orang-orang yang bilang, kayaknya harus nunggu adanya tumbal dulu baru jalanan diperbaiki.

Namun menyalahkan rusaknya jalan semata juga bukan pikiran yang bijak. Ada pula faktor yang berperan di dalamnya yakni manusia. Kesadaran pengendara dituntut agar kelancaran berkendara menjadi terjamin.

Setiap berangkat ke kantor saya pasti melewati pertigaan Karangasri. Tempatnya strategis, menghubungkan jalur ke luar kota. Ke arah timur merupakan jalur ke Surabaya, sedangkan ke barat merupakan jalur ke Solo, sedangkan ke utara merupakan jalur menuju Bojonegoro. Agak ke utara sedikit, terutama jika malam hari banyak kendaraan berat yang ngetem di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Pertigaan ini ditandai dengan adanya taman yang indah yang dibangun dengan sponsor salah satu bank daerah.


Bila berkendara di situ seringkali saya merasa senewen. Bis kecil jurusan Ngawi-Caruban seringkali berhenti di pertigaan untuk menunggu penumpang. Tepat di selatan taman. Tentu saja saya yang berjalan dari arah utara untuk membelok kanan menuju arah kota Ngawi menjadi terhalang pandangannya. Jujur, saya terganggu. Padahal kendaraan dari timur tak bisa dibilang sedikit. Tampaknya tanda dilarang berhenti tidak membawa efek bagi pengemudi bis. Tapi, biarlah saya memaklumi awak bis ingin mudah mendapatkan penumpang.

Yang lebih membikin senewen saat ada kendaraan dari barat, terutama motor. Karena tidak menyalakan lampu riting ke kiri maka saya berasumsi dia lurus. Saya tunggu dia agar lewat duluan. Eh tak tahunya belok. Wuih kurang ajar, gregetan rasanya. Sudah ditunggu-tunggu lama ternyata belok. Apa sih susahnya menyalakan lampu riting. Apa sih yang membuat jari tangan itu berat bergerak.

Sama juga pengalaman hari Sabtu lalu. Saat hendak menjemput anak saya pulang sekolah. Namun kali ini lokasinya beda, yakni di selatan alun-alun dekat meriam. Saya dari timur, berhenti, soalnya ada beberapa kendaraan dari selatan hendak belok ke timur. Semuanya menyalakan riting. Tinggal satu yang paling belakang, tidak menyalakan riting. Dengan sabar saya tunggu dia, eh tak tahunya beloknya ke barat. Kurang ajar.

Saya lihat pengendaranya anak muda, perempuan, berboncengan. Ya sudahlah, masih dengan menarik nafas panjang saya teruskan perjalanan. Sabar, sabar. Kendaraan saya berada di belakangnya. Setiba di pertigaan tiba-tiba saja dia belok kanan. Tentu saja saya kaget karena jalur saya lurus. Memang sih ia menyalakan lampu riting ke kanan, namun kan mestinya tidak sekonyong-konyong seperti itu. Saya bunyikan klakson ternyata ia tak mau mengalah. Untung saja laju motor kami tidak terlalu kencang sehingga tidak terjadi tabrakan. Eh sudah begitu dia yang marah-marah. Halah.

Saat ini sepertinya kesantunan berkendara sudah mulai dilupakan orang. Di berbagai tempat banyak rambu yang dilanggar. Lampu merah diterobos. Naik motor ugal-ugalan, malah dipakai untuk balapan liar. Hasilnya apa? Nyawa yang melayang.

Banyaknya motor di jalanan turut menambah angka laka lantas. Apalagi kemudahan memperoleh motor dari dealer membikin masyarakat termanjakan untuk memperolehnya. Seharusnya kemudahan ini perlu juga dibarengi dengan meningkatnya kesadaran pemakai jalan. Mestinya ada kesantunan di jalanan. Toh konon kabarnya bangsa kita dikenal bangsa yang sopan dan santun.

Saat kecil saya masih mengalami masa di mana orang naik sepeda di gang saja sudah dianggap tidak sopan. Bila ada yang seperti itu maka niscaya orang-orang akan meneriakinya. Seringkali pula warga kampung memasang tanda kendaraan harap turun. Di instansi militer aturan seperti ini masih berlaku. Memasuki kawasan militer, melewati pintu gerbang, jika Anda bersepeda harus turun. Jangan coba-coba melanggarnya bila tak ingin kena bentakan.

Jaman dulu, sejaman ibu saya, bila naik sepeda dan berhenti saat lampu bangjo menyala merah selain berhenti pengendara sepeda juga turun dari sepedanya. Bila ia membonceng, penumpang yang ikut membonceng itu pun turut turun. Maka pernah ada cerita lucu. Ada orang naik motor membonceng temannya berhenti di lampu merah. Karena kebiasaan, penumpang pun turun dari motor, sedangkan pengendara masih tetap di atas motor. Saat lampu hijau menyala pengendara pun menjalankan motornya. Tanpa sadar ia meninggalkan penumpang yang masih berdiri, belum sempat naik lagi di motor. Penumpang itu pun melongo.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)