Sederet Konsep Good Governance

Sabtu, 09 Maret 2013

Menurut UNDP (dalam Sutiono, 2004) istilah governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya, tidak hanya sekadar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, serta untuk kesejahteraan rakyatnya.

Sementara definisi good governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002).

Sedangkan UK/ODA (1993) menyatakan bahwa istilah good government dan good governance tidak ada bedanya, karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi.

Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha, serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.

Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil society, dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan Campos, 1997; UNDP, 1997; dalam Thoha, 2005). Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik.

Istilah governance, good governance, dan good public governance menjadi populer dalam kurun waktu 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga bantuan luar negeri baik yang bersifat multilateral maupun bilateral (World Bank, 1994; dalam Sutiono, 2009). Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijakan pemberi bantuan (aid policies), dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah. Meskipun beberapa donor internasional cenderung menggunakan terminologi yang berbeda mengenai aparatur pemerintahan, namun yang dimaksud adalah sama.

Bank Dunia misalnya, mengembangkan apa yang dikenal dengan governance indicators. Ini meliputi kebebasan dan akuntabilitas, efektivitas, kualitas regulasi, penegakan hukum, stabilitas politik dan absennya kekerasan (termasuk terorisme), dan kontrol terhadap korupsi. Sementara UNDP (2009) dikutip oleh Lele (2010) mengembangkan 10 prinsip good governance yakni partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan atau inklusivitas, efisiensi dan efektivitas, responsivitas, visi strategis, penegakan hukum, profesionalisme, dan supervisi (melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat). Secara lebih khusus lagi, United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pasific (2010) merumuskan 8 prinsip good governance yakni akuntabilitas, transparansi, partisipasi, responsivitas, efektivitas dan efisiensi, penegakan hukum, kesetaraan dan inklusivitas, dan berorientasi pada konsensus (Lele, 2010).

Setara dengan good governance, terdapat pula rumusan pengelolaan pemerintahan yang dinamakan “Reinventing Government”. Kesamaannya adalah keduanya memiliki semangat untuk menjadikan pemerintah seperti yang dikehendaki oleh pasar. Menurut David Osborn dan Ted Gaebler (2000) dalam Pasolong (2010) dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Government” terdapat sepuluh prinsip yang merupakan komponen paradigma baru administrasi publik atau birokrasi pemerintah yang memiliki semangat kewirausahaan yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategis yaitu:

  • Steering rather than rowing. Pemerintah berperan sebagai katalisator yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian pemerintah mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan publik.
  •  Empower communities to solve their own problems, rather than merely deliver services. Pemerintah harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti koperasi, LSM, dan sebagainya perlu diajak untuk memecahkan permasalahannya sendiri seperti masalah keamanan, kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah, dan lain-lain.
  • Promote and encourage competition, rather than monopolies. Pemerintah harus menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien.
  • Be driven by missions rather than rules. Pemerintah harus melakukan aktivitas yang menekankan pada pencapaian apa yang merupakan misinya daripada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuai dengan misinya.
  • Result oriented by funding outcomers rather than outputs. Pemerintah hendaknya berorientasi pada kinerja yang baik. Instansi yang demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding instansi yang kinerjanya kurang.
  • Meet the needs of the customers rather those of the bureaucracy. Pemerintah harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat bukan kebutuhan birokrat.
  • Concetrate on earning money rather than just spending it. Pemerintah harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan menghasilkan uang untuk organisasinya, di samping pandai menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa hidup hemat.
  • Invest in preventing problems rather than curing crises. Pemerintah yang antisipatif. Lebih baik mencegah daripada menanggulangi. Dengan demikian akan terjadi “mental swasta” dalam aparat pemerintah.
  • Decentralize authority rather than build hierarchy. Diperlukan desentralisasi pemerintah dari berorientasi hirarki menjadi partisipatif dengan pengembangan kerjasama tim. Dengan demikian organisasi bawahan akan leluasa untuk berkreasi dari mengambil inisiatif yang diperlukan.
  • Solve problem by influensincing market forces rather than by treating public programs. Pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan terhadap kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)