Mencintai Bahasa Indonesia

Rabu, 09 September 2015

Sekolah Pascasarjana Universita Indonesia pernah kedatangan tamu beberapa orang profesor dari Universitas Leiden, Belanda. Setelah ngobrol ngalor-ngidul (dalam bahasa Inggris, tentunya) bertukar visi, misi, dan informasi antara kedua pihak, tiba-tiba ada salah satu anggota delegasi Belanda yang bertanya, ”Apakah di sini digunakan bahasa Inggris sebagai pengantar?” Para doktor dan profesor UI bengong semua.

Kemudian salah satu dari pihak UI menjelaskan bahwa di UI yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk kelas-kelas khusus internasional. Atas pertanyaan itu, profesor Belanda malah tambah bingung, ”Nah, terus apa gunanya dipersyaratkan tes TOEFL dengan skor minimum 550?” tanya dia lagi.

Beberapa orang dari UI mencoba memberi alasan bahwa bahasa Inggris diperlukan karena buku-buku banyak berbahasa Inggris, agar mahasiswa dan lulusan mampu berkomunikasi di tingkat internasional, istilah-istilah dalam internet pun menggunakan bahasa Inggris. Tetapi sang profesor dari Belanda tampak tetap tidak mengerti. Mengapa harus 550? Untuk memahami bahasa Inggris secara pasif cukup skor 300 sampai dengan 400-an saja. Bahkan untuk mengoperasikan program komputer tidak perlu bisa bahasa Inggris sama sekali.

Kisah di atas diceritakan oleh Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berpendapat bahwa tes TOEFL untuk ujian masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah sia-sia. Mahasiswa Amerika yang mau kuliah di UI harus mengambil tes kemampuan bahasa Indonesia, tetapi mahasiswa Indonesia tidak perlu dites TOEFL untuk kuliah di negeri sendiri.


Bangsa-bangsa yang tidak bisa berbahasa Inggris seperti Rusia, Spanyol, Cina, Prancis, Korea, dan Jepang, bisa menjadi bangsa-bangsa yang hebat. Mereka berpikir dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing dalam otak mereka, tetapi sama sekali mereka tidak kalah dari bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris.

Kita mesti bangga memiliki bahasa Indonesia. Bahasa ini telah mempersatukan ratusan suku yang memiliki ragam bahasa daerah. Satu bahasa daerah pun memiliki beberapa dialek. Kita juga perlu berterima kasih kepada para pemuda tempo dulu. Yang puluhan tahun silam pada 28 Oktober 1928 mengikrarkan Sumpah Pemuda. Para pemuda lintas suku, daerah, dan agama tersebut berkumpul di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, di sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Salah satu sumpahnya adalah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Urusan bahasa Indonesia ini, beberapa waktu lalu diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo meminta aturan yang mewajibkan tenaga kerja asing (TKA) mengikuti tes dan harus bisa berbahasa Indonesia sebagai syarat bekerja di dalam negeri, agar dibatalkan. Permintaan presiden ini demi memperlancar arus investasi. Tentu saja pasti ada pihak yang tak setuju. Penolakan datang dari kalangan pekerja, misalnya Serikat Pekerja Nasional dan ‎Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.

Di era globalisasi Indonesia memang menjadi pasar yang menarik. Banyak korporasi asing yang melirik negara ini. Artinya, akan banyak sekali orang asing yang terus berdatangan ke Indonesia. Jika akan datang, berinvestasi, dan mencari ’’untung’’ dari bangsa ini, kata Prima Vidya Asteria salah seorang Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, setidaknya mereka juga perlu melakukan pengorbanan dan perjuangan untuk itu. Salah satunya, belajar bahasa Indonesia.

Konon dalam posting-posting WordPress, setelah bahasa Spanyol, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang menempati urutan ketiga paling banyak digunakan. Menurut pejabat Kementerian Luar Negeri, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia. Di Vietnam, sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City telah mengumumkan secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Vietnam adalah anggota ASEAN pertama yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di negaranya.

Saya jadi ingat pesan om Alim Markus yang mahsyur itu, cintailah ploduk-ploduk Indonesia. Semoga dengan mencintai ploduk-ploduk Indonesia termasuk bahasanya, kita mampu mengatasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang masih meroket di bulan September ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)