Tak Cuma Tukang Ketik

Sabtu, 24 Maret 2012

Awal bekerja di kantor yang mengurusi kepegawaian/personalia saya tidak ingin sekedar menjadi tukang ketik belaka. Biasanya memang seperti itu. Cerita-cerita dari teman dari kantor lain mereka dipekerjakan layaknya usaha rental komputer. Jadi tukang ketik. Saya memang sering mengetik (di komputer) tapi ada yang lebih yang ingin saya lakukan.

Saat itu, atasan saya adalah seorang Kasubid pindahan dari Dinas Pendapatan. Sedangkan Kabidnya seorang ibu pindahan dari Dinas Koperasi. Saya sendiri pindahan dari kantor lain. Perubahan dari Bagian menjadi Badan menjadikan kantor saya membutuhkan tambahan pegawai. Alhasil saat itu di awal berdirinya mayoritas pejabat struktural BKD berasal dari pindahan kantor lain. Demikian juga staf, sebagian diambil dari kantor lain termasuk saya.

Beruntung Pak Kasubid dan Ibu Kabid memberikan kepercayaan kepada para staf untuk membantu tugas yang terhitung lebih ke analisis. Tahun pertama itu saya beberapa kali telah diberi kesempatan membuat telaah. Telaah boi, membuat konsep untuk dijadikan keputusan Kepala Daerah. So, tidak sekedar mengetik oret-oretan atasan menjadi bentuk print-print-an. Mau tak mau referensi harus tersedia. Kalau tidak ada, saya cari sendiri di internet atau beli buku. Kenyataan, di kantor belum tersedia banyak buku. Buku kumpulan peraturan pun terhitung terbitan jaman baheula.

Berbagai aturan terutama berkaitan dengan kepegawaian lahap saya baca. Tapi bacaan yang saya baca itu baru ibarat pedang yang masing terbungkus sarungnya. Saya hanya memiliki pedang yang masing bersarung. Bahkan pedang yang masih berupa aksesori. Tapi saya yakin pasti akan berguna. Suatu saat pedang itu akan menebas leher .... halah... kejam banget. Yo wis lah menebas leher nyamuk yang nakal menggigit bayi saya. Halah malah mubazir.

Bacaan itu serasa benda mati. Saya harus menghidupkannya. Saya harus mengaktifkannya. Saya harus mencari tombol on-nya. Kalau tidak ada maka saya sendiri yang menciptakannya. Dengan apa? Mencari kasus. Selain itu mereka-reka kasus sendiri. Buat kasusnya. Buat permasalahan. Cari jawabannya. Buat analisisnya. Selesai? Tidak juga. Pedang memang berguna tapi akan semakin tajam jika terus diasah. Dengan mencari perbandingan. Komparasi. Tawarkan kepada orang lain tentang kasus tadi. Tanyakan pendapatnya. Perhatikan argumennya. Sodorkan titik lemahnya (meskipun mungkin pendapatnya sama). Tapi, sayang belum ada forum diskusi seperti ini. Paling-paling ya insidental, malah tak berkesimpulan.

Sering pula pedang yang saya miliki berguna saat mau membuat konsep surat atau keputusan. Ternyata ada aturan-aturan yang tidak dilaksanakan oleh instansi lain. Tugas saya mengingatkan. Misalnya begini. Suatu hari pada tahun kedua saya diberi tugas membuat konsep keputuan pemecatan pegawai yang terkena vonis pidana penjara. Di komputer, saya sudah membuat berbagai file kepegawaian di antaranya SK pemecatan. Kalau mau gampang sebenarnya tinggal mengetik saja. Tinggal memasukkan identitas, selesai. Urusan berikutnya ya tanggung jawab mereka-mereka yang punya jabatan struktural, toh mereka yang dapat tunjangan.

Seperti di muka saya sebutkan, saya tak sekedar jadi tukang ketik. Saya baca. Saya pelajari. Dan saya temukan kekeliruan pada telaah dari instansi lain itu. Berdasarkan aturan ternyata pimpinan Pemerintah Daerah tidak berwenang memecat pegawai itu karena pangkatnya yang tinggi. Hal itu mestinya kewenangan Provinsi bukan Kabupaten. Pak Kasubid dan Bu Kabid saya beri tahu. Ough ough kamu ketahuan, pacaran lagi dengan si eh... maksudnya ternyata beliau juga baru tahu. Srettt, gerak cepat, telaah dikembalikan ke instansi asal. Padahal telaah itu sudah disetujui para pimpinan secara hierarki. Kalau mau nekat dibuatkan SK sih bisa saja, tapi cacat, rawan digugat.

Pada tahun ketiga pernah juga saya temukan telaah yang mencampuradukkan dua aturan yang sebenarnya bertolak belakang. Kedua peraturan itu tidak boleh diterapkan dalam satu kasus karena memang konsekuensinya berbeda. Yang satu peraturan tahun 1979, satunya tahun 1980, bentuknya sama-sama Peraturan Pemerintah. Tapi karena yang membikin ngeyel tidak mau merevisi apa boleh buat, saya hanya mengingatkan, apalagi saya bukanlah pejabat yang punya posisi daya paksa. Tapi saya tak mau berhenti. Saya tawarkan saja konsep telaah versi saya. Yes! hehehe...berhasil, itu yang akhirnya digunakan oleh pimpinan.

Hal lain yang membuat pedang terasah adalah adanya berbagai kasus kepegawaian yang masuk ke kantor. Kadang tak hanya masalah kepegawaian, tapi berhubung kantor saya dianggap tahu ya akhirnya mampir juga. Sebenarnya kasus-kasusnya menimpa pegawai kantor lain. Kasus-kasus itu membutuhkan telaah. Maka mau tak mau pedang pun berguna juga. Fungsional. Bacaan yang sebelumnya off, kini telah on. Semakin lama on semakin tajam pedangnya. Hehehe...

Banyak juga kasus yang berlarut, akut layaknya kanker, baru kemudian diserahkan ke kantor saya. Alasannya tidak tahu, tidak ngerti, tidak paham. Lho padahal pintu terdepan mengatasi ini kan instansi masing-masing. Atau paling tidak atasan masing-masing. Buat apa mereka dikasih tunjangan. Mereka kan diberi kekuasaan. Atau pura-pura tak kuasa. Bingung saya. Tak sedikit pula kasus yang didiamkan. Saya tahunya dari koran atau orang yang bercerita. Apa boleh buat, instansinya tak bereaksi. Ada pembiaran.

Sebenarnya kalau mau menerapkan aturan itu enak kok. Yang bikin rumit itu ya kita-kita sendiri kok. Yah maklum manusia Indonesia (gludhak gludhak). Kasus yang sederhana akhirnya malah jadi kusut kayak benang ruwet. Apalagi ditambah dengan keacuhan. Wis jan klop tenan.

Setiap instansi pasti ada bagian yang mengurusi kepegawaian. Merekalah pintu terdepan yang mestinya menguasai aturan. Asumsi saya paham, wong aturannya kebanyakan telah berusia lama, jadi ya mestinya telah diterapkan lama sekali. Nglontok di kepala. Pernah juga diadakan sosialisasi, semacam pelatihan gitu. Waktu itu ngundang BKN sebagai narasumber. Tapi setelah itu ya sudah. Kembali ke selera asal.

Sebenarnya solusi paling bagus (menurut pendapat pribadi saya) di setiap instansi ada beberapa analis kepegawaian. Mereka bukanlah staf yang tugasnya terlalu general, terlalu umum, yang kerjaannya kadang bikin SPJ, kadang jadi kurir, kadang disuruh beli jajan. Mereka diberi jabatan fungsional tertentu. Mereka punya spesialisasi. Jenjang karirnya pun pasti, karena indeks prestasi dinilai dengan angka kredit. Dan saya pikir tenaga fungsional di setiap instansi bisa juga ditambah dalam bidang lain, misalnya keuangan, pengarsipan, dan lain-lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)