Pelajar Lalu, Pelajar Kini

Kamis, 02 Februari 2017

Usianya sudah senja. Rambut memutih di sekujur kepala. Tertatih-tatih bila melangkah. Namun semangat baja tak pernah padam jikalau lidah bercerita. Ingatan tentang masa lalu, saat muda usia, tak lekang oleh jaman. Wasono, lebih dari pantas jika disebut eyang. Cerita heroiknya bisa kita saksikan di media youtube, juga dibaca di blog. Kisah yang tak tercatat dalam buku sejarah. Saat ibu pertiwi berusaha mempertahankan kemerdekaan dari agresi penjajah, segenab rakyat di mana-mana turut berkorban, ia salah satunya. Wasono muda saat itu baru berusia 15 tahun. Jika sekarang mungkin sepantaran dengan remaja yang baru duduk di bangku SMP kelas 3. Merasa terpanggil, ia bergabung dengan Tentara Pelajar. Ditinggalkannya bangku sekolah, memanggul senjata, bertaruh nyawa.

Meskipun bukan pasukan reguler atau profesional, Tentara Pelajar menyusun organisasinya dengan rapi. Ada komandan. Ada pangkat militer. Ada wilayah operasi. Jika tidak sedang berperang, mereka kembali menekuni pelajaran. Wasono, bergabung dalam Seksi 2 Kompi 3 di bawah pimpinan Jungkung Murdiyo. Nama terakhir ini berpangkat Letnan. Setelah penyerbuan tentara Belanda ke kota Solo, Wasono dan kawan-kawan menyingkir ke luar kota. Perjuangannya mewujud dalam perang gerilya.

Salah satu petualangan Jungkung Murdiyo, Wasono, dan kawan-kawannya adalah penyerbuan pos Belanda di dekat jembatan Kali Cungkring untuk merebut senjata. Dengan menyamar sebagai petani dan menaiki andong (kendaraan tradisional yang ditarik dengan kuda) mereka berhasil menuntaskan misi. Satu regu jaga tentara Belanda berhasil dilumpuhkan kecuali seorang yang berhasil lolos dari maut, sinyo yang juga sama-sama belia. Konon kabarnya sinyo yang berhasil kabur tersebut akhirnya terkena gangguan jiwa berat. Ia pun dipulangkan ke negeri asalnya, Belanda.

Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja”, sedikit menceritakan petualangan lain dari pasukan Jungkung Murdiyo. Saat membuat kubu pertahanan kota Solo dari serbuan tentara Belanda, ternyata pasukan Murdiyo salah kira. Jalan masuk ke kota terdiri dari 2 jalan besar, baru dan lama. Anggapan anak-anak muda itu musuh menyerang melalui jalan baru saja. Justru kedua jalan menjadi pilihan pintu masuk tentara Belanda. Alhasil pasukan Murdiyo dihajar habis-habisan dari dua sisi. Apalagi dari udara, pesawat memuntahkan peluru mencari sasaran. Tentara pelajar pun memilih mundur.


Komandan seksi Murdiyo mengenang,”… saya segera meloncat, keluar dari selokan, sambil memerintahkan anak buah lari, mundur agar masih bisa menyelamatkan diri. Sambil berlari saya melihat salah seorang anak buah saya, dia masih bocah, umurnya masih 14 atau 15 tahun, malah clingukan, mungkin tidak sadar bahwa musuh sedang menyergap dari dua arah. Saya segera berteriak, Ben, Ben, mundur, mlayuo ngetan. Ben, Ben, mundur, lari ke arah timur!”

Sergapan tentara Belanda tersebut merupakan pengalaman tempur pertama dari anak muda yang dipanggil “Ben”. Begitu mendengar perintah komandan Murdiyo, ia langsung lari, mengikuti semua petunjuknya. Saat sampai di tempat aman, di daerah Banjarsari, mereka semua nyaris kehabisan nafas. Sore hari mereka sampai di Kampung Sekarpace, mencoba beristirahat dengan berbaring di pinggir tanggul Bengawan, sambil menunggu datangnya rakit yang akan dipakai untuk menyeberang.

Tiba-tiba muncul sebuah bren-carrier dari atas tanggul memberondongkan puluhan peluru. Salah satu peluru tersebut tepat mengenai popor senapan yang dibawa si Ben. Kayu popor berantakan. Serpihan menancap di wajah dan tubuh si Ben. Dalam kondisi pingsan dan darah berceceran, si Ben segera dibopong teman-temannya, dilarikan dengan menyeberang sungai Bengawan. Beruntung tembakan senjata tentara Belanda tidak akurat. Jika tepat, tidak akan pernah ada Panglima ABRI yang bernama Benny Moerdani. Ya, anak muda yang dipanggil “Ben” itu puluhan tahun kemudian menjadi orang nomor satu di jajaran ABRI, yang kini lebih dikenal dengan TNI.

Dalam buku “Torry Memburu Bren-Gun Musuh”, Soegiyanto menceritakan pula kisah nyata pertempuran seru Tentara Pelajar merebut kota Solo dari tentara Belanda. Buku tipis ini menarik karena penulisnya sekaligus pelaku langsung di medan pertempuran. Desember 1948, kota Solo diduduki tentara Belanda. Tentara Indonesia pun menyingkir ke luar kota untuk meneruskan perlawanan dengan siasat perang gerilya, termasuk Tentara Pelajar. Salah satu di antaranya adalah regu kecil yang dipimpin oleh Muhamad Torry Subyantara. Regu ini beranggotakan 11 pelajar bersenjatakan sebuah senapan mesin berat kaliber 12,7 mm, dua buah senapan mesin ringan, sebuah pelempar granat dengan 15 granat, dan tujuh buah senapan laras panjang.

Dalam gerilya regu Torry banyak dibantu oleh para penduduk setempat, terutama dalam hal tempat tinggal dan logistik. Beberapa pemuda desa dan pelajar bahkan turut bergabung dan ikut serta dalam penghadangan konvoi tentara Belanda. Berpindah-pindah lokasi, regu Torry sering merepotkan tentara Belanda. Serbuan Belanda ke Solo ternyata melahirkan patriot-patriot muda Indonesia yang sungguh heroik. Serangan gerilya anak-anak Tentara Pelajar Solo membuat tentara Belanda bagaikan hidup di ujung tanduk. Ranjau darat yang menghancurkan kendaraan militer, sergapan kilat gerilyawan terhadap sejumlah serdadu yang bertugas di pos-pos penjagaan, serta penghadangan konvoi dari balik pagar di tepi jalan dengan jarak kurang dari sepuluh meter dengan senapan mesin, sewaktu-waktu dapat menjemput nyawa.

Tentara Pelajar secara resmi dibubarkan pada awal 1951 dalam sebuah upacara demobilisasi. Masing-masing anggota diberi penghargaan dari Pemerintah RI berupa uang jasa, semacam beasiswa. Mantan Tentara Pelajar juga diberikan pilihan untuk melanjutkan studi yang terbengkalai selama menjadi tentara pejuang atau melanjutkan karier militer sebagai tentara bagi yang berminat.

Torry, yang jabatan terakhirnya sebagai komandan peleton berpangkat sersan, ditawari untuk memimpin satu kompi bekas pasukan KNIL dengan pangkat kapten. Tetapi, memenuhi permintaan kedua orang tuanya, Torry kembali ke bangku sekolah SMA kelas 2. Setamat SMA ia mengikuti pendidikan calon perwira di KMA (Koningklyke Militiare Academi), negeri Belanda. Setelah lulus Torry mengawali tugasnya sebagai TNI dengan pangkat Letnan Dua. Namun, dalam usia 25 tahun, ia tewas dalam tugas menumpas pemberontakan DI/TII di Tasikmalaya pada tahun 1955.

Selain Torry yang gugur di usia muda, banyak pula mantan anggota Tentara Pelajar yang melanjutkan karir di militer, misalnya Benny Moerdani. Yang lain melanjutkan sekolah dan menekuni profesinya masing-masing. Para tentara pelajar, mengisi kemerdekaan dengan caranya masing-masing. Kini lebih setengah abad kemudian, kita tidak tahu tinggal berapa jumlah mereka. Mungkin saja sebagian besar sudah meninggalkan dunia selama-lamanya. Kita juga tidak tahu, bagaimana perasaan mereka jika melihat perilaku pelajar sekarang ini. Sedih. Miris. Prihatin. Mungkin saja.

Lihat saja, di Surabaya, delapan anak belasan tahun melakukan pencabulan terhadap seorang bocah wanita. Usia mereka tidak lebih dari 15 tahun, bahkan ada di antaranya yang masih duduk di bangku SD. Di Lamongan, empat anak kelas 4 SD nekat membakar seluruh rapor siswa di ruang kelas. Rapor-rapor itu belum sempat dibagikan oleh guru. Rupanya mereka kesal karena merasa nilai-nilai yang tercantum di rapornya bakal jelek. Prihatin, itu bukanlah satu-satunya kasus. Di Gowa, Sulawesi Selatan, setali tiga uang. Di sana tiga pelajar kelas 9 SMP membakar sekolahnya karena kesal dihukum guru. Tiga siswa tersebut kedapatan merokok. Sang guru pun memberi sanksi dengan tidak memperbolehkan mereka mengikuti pelajaran di kelas. Kesal oleh sanksi tersebut, pada dini hari, tiga siswa membakar ruang guru.

Sementara di Jakarta, seorang pelajar SMK dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi celurit masih menancap di kepala. Di tempat lain, seorang pelajar terkapar di jalan raya. Tubuhnya remuk redam dihantam pipa besi. Dalam kasus tawuran pelajar SMA versus SMK di Jakarta juga, seorang meregang nyawa. Mirisnya, pelaku pembacokan mengaku puas seusai menghabisi nyawa musuhnya. Dia puas lantaran sudah membalas dendam atas kematian temannya pada tawuran tahun sebelumnya. Ya, tawuran antar pelajar seolah menjadi tradisi turun-temurun yang tak habis-habisnya. Pelajar kita seakan haus darah.

Empat tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis jumlah kekerasan antar siswa yang meningkat tiap tahunnya. Sepanjang tahun 2013 total telah terjadi 255 kasus kekerasan yang menewaskan 20 siswa di seluruh Indonesia. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Plan International dan International Center for Research on Women pada 2014, yang mengungkapkan bahwa 84 persen siswa atau 7 dari 10 siswa di Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah. Jika dulu para pelajar berjuang mengangkat senjata mengusir penjajah, kini anak-anak muda mengangkat senjata menghabisi sesama pelajar.

Renald Kasali, Pendiri Rumah Perubahan, dalam tulisannya di Jawa Pos 9 Juni 2016 mengungkapkan keprihatinannya. Dalam opininya itu, ia awali dengan rentetan peristiwa yang dilakukan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah. Tentu saja peristiwa yang membikin hati miris. Lebih jauh, saat mencari informasi dengan googling, yang ia temukan semakin mengerikan. Ada cukup banyak kasus kriminalitas yang melibatkan anak-anak. Ribuan anak mendekam di penjara. Sebagian sudah divonis bersalah.

Dalam tulisannya berjudul “Negeri Praktik” itu, Renald Kasali menyindir bahwa di kota-kota besar, banyak orang tua yang berpikir, kalau anaknya pintar dan masuk ranking, urusan masa depannya beres. Celakanya, pintar di sekolah itu tidak sama dengan pintar dalam kehidupan. Istilah pintar itu hanya ada di sekolah. Namun, apalah artinya sekolah pintar kalau kehidupannya tak pintar? Artinya, tidak pandai menerjemahkan apa dalam kehidupan. Artinya lagi, kita belum bisa menyerahkan anak-anak kita kepada sekolahnya saja. Banyak orang tua yang terkecoh dengan judul-judul mata pelajaran. Faktanya, sekolah masih belum banyak mendidik, baru memindahkan isi buku ke dalam kertas.

Dicontohkan dengan mata pelajaran budi pekerti yang mulai diajarkan kembali. Jadi, selama beberapa jam dalam sehari, beberapa hari dalam seminggu, dan beberapa minggu dalam sebulan, serta beberapa bulan dalam setahun, anak-anak kita belajar dan menghafal pelajaran soal budi pekerti agar memperoleh nilai ulangan atau ujian yang baik. Bukan agar mereka benar-benar memiliki perilaku yang baik. Rasanya sudah waktunya kita mengubah orientasi pendidikan anak-anak kita dari sekadar tahu menjadi menjalankan.

Bisa jadi berbagai permasalahan yang timbul di kalangan pelajar karena sistem pendidikan kita kurang memperhatikan kecerdasan emosional. Kata A.S. Laksana dalam “Menyudahi Lakon Buruk”, di negara-negara yang sistem pendidikannya bagus, orang-orang yang peduli pada pendidikan sibuk memikirkan bagaimana sekolah-sekolah bisa menghasilkan lulusan yang semakin berkualitas. Mereka risau, misalnya, ketika sekolah hanya memusatkan perhatian pada aspek kecerdasan intelektual dan mengabaikan kecerdasan emosional. Maka muncul orang-orang yang berseru agar sekolah memberi perhatian juga pada peningkatan kecerdasan emosional.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)