Korban Jiwa

Rabu, 17 Mei 2017

Seorang pemerhati masalah sosial, Yulia Kusumaningrum dalam “Agenda Perempuan Atasi Kekerasan” mengatakan di antara jenis kekerasan terhadap perempuan, kasus seksual merupakan yang paling rumit dalam peta derita perempuan. Betapa sulitnya mengurai simpul akar permasalahan dan memecah kebisuan para perempuan korban kasus kekerasan seksual. Kasus seksual telah menjadi puncak dari berbagai kekerasan lain yang dialami wanita, yang korbannya juga mengalami tekanan fisik dan psikologis. Dalam berbagai kasus selalu diikuti trauma.

Menurut data catatan tahunan yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dari empat jenis kekerasan di ranah komunitas, kekerasan seksual selalu menempati urutan teratas. Di tahun 2016, misalnya, jumlah kekerasan seksual mencapai 2.270 kasus (74%). Berikutnya secara berurutan adalah kekerasan fisik 490 kasus (16%), kekerasan khusus 229 kasus (7%), dan kekerasan psikis 83 kasus (3%). Di antara kekerasan seksual, perkosaan adalah yang tertinggi yaitu 1.036 kasus (46%), diikuti pencabulan 838 kasus (37%).

Bulan Mei 2016 terjadi peristiwa kekerasan seksual yang mengguncangkan nusantara. Peristiwa yang tragis. Sangat tragis malah. Seperti diberitakan dalam Harian Kompas, seorang perempuan berusia 18 tahun ditemukan tewas mengenaskan di dalam kamar karyawan Polyta Global Mandiri, di Jalan Raya Perancis Pergudangan 8 Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang.

Jenazah korban ditemukan kali pertama sekitar pukul 09.00 WIB. Korban hari itu tidak masuk kerja, sehingga oleh tiga temannya hendak disambangi. Rupanya pintu kamar korban dalam keadaan tergembok dari luar. Karena tidak ada kunci duplikat, tiga kawan korban pun memanggil salah seorang karyawan pria untuk mendobrak pintu. Saat pintu didobrak, mereka mendapati korban terkapar tak bernyawa. Tubuh korban ditutupi tumpukan bantal dan baju.


Jenazah korban pun dilarikan ke rumah sakit untuk keperluan otopsi. Diduga kuat, ia merupakan korban pembunuhan dan pemerkosaan. Yang membuat bergidik, korban ditemukan tewas tanpa busana dan bersimbah darah dengan gagang cangkul yang masih tertancap di bagian tubuhnya. Ya, gagang pacul itu menancap di alat vital hingga tembus ke rongga dada.

Beberapa saat kemudian polisi berhasil menangkap para pelaku. Berjumlah tiga orang, satu pelaku di antaranya masih pelajar SMP. Setelah melewati serangkaian sidang, hakim memvonis hukuman mati. Hakim menyatakan perbuatan mereka sadis dan keji, meninggalkan luka yang mendalam terhadap keluarga korban, tidak mengakui perbuatan, dan tidak ada penyesalan. Tak ditemukan satu pun alasan yang meringankan. Sedangkan pelaku yang masih pelajar tadi dihukum 10 tahun penjara.

Peristiwa penusukan alat vital hingga tembus ke tubuh seperti disinggung di atas sebenarnya bukanlah peristiwa pertama di Indonesia. Jendral Purnawirawan Kemal Idris menceritakan peristiwa di luar batas kemanusiaan, di buku biografinya “Bertarung dalam Revolusi”. Saat itu ia baru saja diangkat sebagai komandan Batalyon I Brigade I Divisi Siliwangi, ketika pemberontakan PKI meletus di Madiun, 19 September 1948. Bersama pasukan yang lain, batalyon Kemal pun ditugasi menumpasnya. Untuk mengepung Madiun, Kemal bergerak menyusur ke timur laut menuju Kudus, Pati, dan Cepu.

“Di sana saya saksikan banyak penduduk dibantai PKI,” tuturnya. Di daerah tandus itu, di tengah sawah, Kemal menyaksikan pengalaman yang sampai di hari tuanya sulit dilupakan. “Dua orang perempuan dan seorang lelaki ditusuk seperti sate,” tuturnya dengan nada tinggi. Kedua perempuan itu ditusuk dengan sebilah bambu runcing, dari kemaluan menembus punggung. Korban lainnya, seorang lelaki, ditusuk dari dubur menembus perut. “Saya kira mereka sekeluarga. Dan bayangkan betapa lambat mereka akan mati dengan menanggung rasa sakit.”

Dalam sejarah, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Soekarno. Saat itu Indonesia baru saja merdeka pada tahun 1945. Tanggal 18 September 1948, bermula di Madiun, PKI mengambil alih kekuasaan di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifudin. Muso adalah tokoh komunis yang baru saja tiba dari Soviet, sedangkan Amir Syarifudin adalah mantan perdana menteri yang berhaluan kiri. Usai Madiun, PKI menguasai Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, dan Cepu, serta kota-kota lainnya.

Dalam buku "Ayat-ayat yang Disembelih", Anab Afifi dan Thowaf Zuharon menuliskan berbagai peristiwa tragis menyertai pemberontakan PKI tahun 1948. Saat Gubernur Jawa Timur, RM Soerjo bersama dua pengawalnya pulang dari lawatan menghadap Soekarno, di tengah jalan daerah Ngawi, mobilnya dicegat pemuda rakyat PKI. Ketiganya lalu diseret menggunakan tali sejauh 10 kilometer hingga meregang nyawa. Mayatnya dicampakkan di tepi kali. Padahal, di masa lalu, Soerjo merupakan pemimpin penting dalam pertempuran melawan Belanda di Surabaya.

Di kota Magetan, algojo PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur, kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika telentang terikat itu, algojo menggergaji badannya sampai putus dua, lalu langsung dijatuhkan ke dalam sumur. Sementara itu, Kyai Sulaiman dari Magetan ditimbun di sumur Soco bersama 200 santri lainnya, pada September 1948.

Di Blora, pasukan PKI menyerang Markas Kepolisian Distrik Ngawen, pada 18 September 1948. Setidaknya, 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada tujuh polisi yang masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari Komandan Pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 September 1948. Sementara, tujuh polisi muda dieksekusi dengan cara keji. Ditelanjangi, kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah, tujuh polisi dibuang ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak mati.

Di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, PKI membantai hampir semua tawanannya dengan cara keji. Para korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Di antara para korban, ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan ulama.

Di Kota Wonogiri, Jawa Tengah, ternyata akrab dengan amis darah kekejian PKI yang menculik pejabat pemerintahan, TNI, Polisi, dan Wedana. Semua dijadikan santapan empuk PKI di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di Tirtomoyo. Saat itu, PKI menyekap 212 orang, kemudian dibantai satu per satu dengan keji pada 4 Oktober 1948. 
 

“Sejarah mencatat”, kata sastrawan Taufiq Ismail, “ ideologi komunis melakukan pemberontakan/kudeta di 75 negara, negara bagian, pulau, dan kota sepanjang masa 69 tahun (1918-1987); berhasil 28, gagal di 47 tempat. Dalam tulisan “Kebiadaban Komunisme” itu Taufiq mencatat bahwa dari pemberontakan di 75 negara tersebut umumnya satu kali saja, kecuali di Indonesia yang beberapa kali dan semuanya gagal. Partai komunis mendapat kesempatan berkuasa di dunia dari tahun 1917 hingga1991 di 28 negara. Selama kurun tersebut Partai Komunis membantai 120 juta manusia di 76 negara sehingga rata-rata 4.500 orang sehari selama 74 tahun.

Di Indonesia, akibat pemberontakan PKI, juga pemberontakan-pemberontakan lain banyak korban yang jatuh, termasuk rakyat yang tak tahu apa-apa. Sesama anak bangsa baku bunuh. Padahal mereka sebelumnya sama-sama berjuang mengusir penjajah. Orang bilang jika revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Mudah-mudahan negara kita tetap damai.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)