Koin Keadilan

Rabu, 24 Mei 2017

“Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila Anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan titel internasional, karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan …”

Penggalan uraian di atas merupakan curahan hati seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih kecil. Hampir 2.000 kata ia tuliskan, lalu ia kirimkan melalui surat elektronik kepada beberapa teman. Ia merasa kesal dengan buruknya pelayanan sebuah rumah sakit swasta. Ia ceritakan kronologi kejadian, mulai saat dirawat, kesalahan diagnosis, dan kondisi kesehatan yang semakin buruk.  “Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan, malah mempermainkan, sungguh mengecewakan”, tulisnya.

Sontak, surat elektroniknya  menyebar luas tak terkendali, seperti  ke beberapa milis dan forum diskusi online. Cerita itu menjadi bahan perbincangan dan perhatian publik. Prita Mulyasari, ibu muda itu, tak menyangka jika keluhan dan curahan hatinya berujung ke ranah hukum. Merasa dicemarkan nama baiknya, pada 5 September 2008 pihak rumah sakit melaporkannya ke polisi. Berikutnya, pada 24 September 2008 ditambah dengan menggugat secara perdata. Berselang delapan bulan kemudian pengadilan memutus perkara perdata Prita. Dalam putusannya, Majelis Hakim memutus Prita terbukti melakukan tindakan melawan hukum dan menghukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp314.268.360,00

Atas putusan tersebut, Prita mengajukan banding. Sayang, upayanya pupus. Sekali lagi Prita kalah. Ia tetap diwajibkan membayar ganti rugi kepada rumah sakit. Putusan pengadilan ini memantik simpati masyarakat. Publik terheran-heran, kenapa hukum tak berpihak kepada seseorang yang mengeluh atas buruknya pelayanan sebuah lembaga. Kebebasan berpendapat menjadi (seolah-olah) terpasung. Maka, lahirlah gerakan Koin Peduli Prita, yang mengajak masyarakat khususnya para pengguna internet mengumpulkan uang koin untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari. Hasilnya, lebih dari 6 ton koin terkumpul.


Gerakan pengumpulan koin (uang receh) menjadi simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan. Masyarakat menemukan caranya sendiri untuk melawan arogansi. Beberapa peristiwa yang menyakiti hati rakyat akhirnya diwujudkan dengan pengumpulan koin. Uang koin yang semula hanya sebagai alat pembayaran, dalam perkembangannya menjadi simbol solidaritas. Gerakan seperti ini juga pernah muncul tatkala rasa nasionalisme tercabik atas  pernyataan pemimpin negara lain, seperti yang dilakukan oleh Perdana Menteri Australia. 

Bermula dari rencana eksekusi mati dua warga Australia yang terlibat kasus narkotika di Indonesia. Pemerintah Australia meminta Indonesia mengurungkan rencana menembak mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengatakan ia akan merasa "sangat kecewa" jika Indonesia menghiraukan permintaan agar dua narapidana mati warga negara Australia diberikan pengampunan. “Saya ingin mengatakan kepada rakyat dan pemerintah Indonesia, kami di Australia selalu siap membantu Anda dan kami berharap Anda akan membalas kebaikan kami saat ini,” katanya.

“Saya akan mengatakan kepada Indonesia dengan kata-kata yang luas bahwa kami merasa sangat kecewa,” jawab Abbott saat ditanya apa yang akan terjadi jika eksekusi tetap lanjut. "Saya tidak ingin memberikan penilaian yang buruk terhadap hubungan terbaik dengan seorang teman dan tetangga yang sangat penting.Tapi saya harus mengatakan kita tidak bisa mengabaikan hal seperti ini begitu saja, jika usaha yang kami lakukan diabaikan oleh Indonesia,” lanjutnya.

Fatalnya, keberatan Abbott tersebut dicemari dengan pernyataannya agar Indonesia mengingat bantuan yang diberikan Australia pasca tsunami di Aceh pada tahun 2004. “Australia mengirim bantuan sebesar satu miliar dolar. Kami mengirim kontingen militer dalam jumlah besar untuk membantu Indonesia,” tuturnya.

Rakyat Indonesia di beberapa daerah memprotes ucapan Abbott itu. Reaksi di media sosial pun bermunculan dan yang paling banyak berasal dari pengguna media sosial atau netizen Aceh. Akhirnya muncullah gerakan “Koin untuk Australia”. Dalam sebuah unjuk rasa di Jakarta, lebih dari 17 ribu keping koin diserahkan kepada perwakilan kedutaan besar Australia. Peserta aksi juga menuntut permintaan maaf Perdana Menteri Australia dan meminta Australia tidak mengintervensi kedaulatan hukum Indonesia.

Langkah mengumpulkan koin, menurut Herman RN dalam “Koin untuk Abbott”, merupakan sebuah sikap ”keacehan” untuk menunjukkan bahwa orang Aceh bukan pengemis. Tak ada satu riwayat pun yang menyebutkan Aceh pernah mengemis atau tunduk kepada bangsa luar. Belanda yang pernah menjajah Aceh pun mengakui Aceh sebagai sebuah daerah yang berdaulat. Oleh karena itu, menurut dosen FKIP Universitas Syiah Kuala ini, munculnya reaksi mengumpulkan koin untuk Abbott harus disikapi sebagai kewajaran. Di satu sisi, orang Aceh tidak rela hukum Indonesia kalah pada ancaman Abbott. Di sisi lain, orang Aceh juga tak pernah terima martabatnya dilecehkan hanya karena dua pengedar narkoba.

Tahun 2016 muncul peristiwa yang mengakibatkan perhatian nasional. Pertengahan Juni, siang di bulan Ramadan, di kala umat Islam melaksanakan ibadah puasa, Satpol PP Kota Serang melaksanakan razia. Razia tersebut menyasar warung-warung makan yang masih buka di siang hari. Di Kota Serang memang ada regulasi daerah yang mengatur jam buka restoran dan rumah makan di bulan Ramadan. Konon aturan itu sebenarnya sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Banten dan akhirnya diformalkan dalam bentuk peraturan daerah.

Saeni, salah satu pemilik warung yang masih buka, terkena razia. Dagangannya disita. Ibu setengah baya itu memohon kepada petugas sembari menangis agar dagangannya tidak dibawa. Saeni menjadi terkenal, saat berita dan foto menangisnya tersebar di berbagai media. Bahkan media mancanegara turut memuatnya dalam berita utama. Maka, serupa dengan kasus Prita dan Abbott, sebagian masyarakat menggalang aksi donasi untuk Saeni. Wujudnya tak lagi uang receh.

Penggalangan dana untuk Saeni dilakukan lewat rekening bank. Dana yang terkumpul mencapai lebih dari 260 juta rupiah. Viralnya kasus Saeni dan pengumpulan donasi untuknya sebenarnya menimbulkan perdebatan, terutama di jejaring media sosial. Kalangan yang pro perda menuduh ada agenda tersembunyi di balik itu semua. Saeni hanyalah tujuan antara, tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa umat Islam tidak toleran. Peraturan-peraturan lokal yang sesuai dengan aspirasi sosial masyarakat setempat yang kebetulan bernuansa religius, hendak dibatalkan.

Satu hal yang penting lagi adalah Presiden RI ikut pula memberikan sumbangan kepada Saeni. Ya, Pak Joko Widodo itu menyumbang uang 10 juta rupiah. Pak Jokowi memang dikenal sebagai orang yang peduli. Aksinya tersebut semakin melambungkan namanya. Dengan waktu dan pikirannya yang terkuras untuk memikirkan negara, beliau masih sempat-sempatnya peduli dengan nasib rakyat kecil seperti Saeni. Kurang apa dermawannya beliau? Kurang apa hebatnya pak presiden?

Jauh sebelum menjadi presiden, beliau sudah ditasbihkan sebagai pembela “wong cilik”. Contohnya, saat pemerintah menaikkan harga BBM, beliau pun ikut berdemonstrasi menentangnya. Waktu itu beliau masih menjadi walikota. Belum tuntas periode kedua sebagai walikota Solo, Pak Jokowi pun mengikuti sengitnya pertarungan memperebutkan kursi gubernur Jakarta. Gambar kampanye beliau sungguh unik, yakni menjadi pengemudi becak. Ada juga gambar beliau sedang berposisi sebagai penambal ban.

Dalam sebuah kampanye pilkada Jakarta, beliau pernah berjanji untuk tidak menggusur warga Jakarta. Berbekal pengalaman memimpin Solo, beliau ingin memanusiakan manusia Jakarta sebagaimana mestinya. Bahkan dalam sebuah rekaman video yang tersebar luas, beliau berujar pernah merasakan sakitnya menjadi korban penggusuran. Beliau tak ingin sakitnya itu dirasakan orang lain. Untuk menjamin seriusnya menyelesaikan permasalahan Jakarta, beliau akan menuntaskan masa periode sebagai gubernur jika nantinya terpilih.

Dan, rakyat Jakarta pun memilih beliau untuk masa lima tahun. Apakah janjinya ditepati? Mungkin beliau akan berkelit bila disebut ingkar, karena tenaga dan pikirannya lebih dibutuhkan oleh negara daripada sekadar sebuah provinsi. Suatu saat beliau menyatakan akan mudah saja menyelesaikan masalah Jakarta jika telah menjadi presiden. Maka, jabatan gubernur pun dilepas karena akhirnya beliau mengikuti pemilihan presiden. Lagi-lagi Dewi Fortuna berpihak pada beliau. Pak Jokowi menang. Lalu bagaimana dengan janji anti penggusuran di Jakarta?

Penggusuran masih saja terjadi di ibukota negara itu. Posisi gubernur yang ditinggalkan oleh pak Jokowi kini digantikan oleh wakilnya, Ahok. Berdasarkan data yang dirilis oleh LBH Jakarta sepanjang tahun 2015 terjadi penggusuran di 113 titik dengan korban 8.145 keluarga dan 6.283 unit usaha. Sedangkan sepanjang tahun 2016 jumlah titik penggusuran meningkat drastis. Tercatat 193 titik di wilayah Jakarta menjadi korban penggusuran dengan jumlah korban 5.726 keluarga dan 5.379 unit usaha.

Penelitian LBH Jakarta juga menemukan bahwa sebagian besar kasus penggusuran yang terjadi tidak memberikan solusi yang memadai bagi warga terdampak, bahkan tidak jarang warga terdampak dibiarkan berada dalam kondisi tanpa solusi sama sekali. Sayang, untuk kasus penggusuran ini tidak muncul aksi semasif penggalangan koin atau dana untuk Saeni atas  “penggusuran” warung makannya di bulan Ramadan. Pak presiden mungkin juga sedang lupa, untuk -paling tidak- menyisihkan 10 juta rupiahnya bagi korban penggusuran.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)