Disharmoni Hukum Kepegawaian (Bagian Pertama)

Senin, 04 Mei 2015

Secara terminologi sederhana hukum merupakan rangkaian terpenting dalam menentukan keputusan atau pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan negara. Hal tersebut disebabkan karena hukum merupakan salah satu instrumen kebijakan yang digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan legal (Kurniawan, 2012: 9).

Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan mempunyai ciri memerintah serta melarang serta bersifat memaksa agar ditaati dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Hal ini sejalan dengan fungsi hukum bagi kehidupan masyarakat yang menurut Soerjono Dirdjo Sisworo (dalam Kurniawan,  2012: 9-10) ada empat yaitu:

Pertama, fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana perilaku di dalam masyarakat sehingga masing-masing sudah jelas apa yang harus diperbuat dan yang tidak boleh diperbuat.
Kedua, fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat baik fisik maupun psikologis. Ketiga, fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Hukum merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Keempat, fungsi kritis hukum yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawas dan aparatur pemerintah.

Pasal 1 ayat (3)  UUD 1945 mengandung pernyataan konstitusional bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Willem Koninjnenbelt (dalam Salim, 2010) terdapat empat unsur penting gagasan negara hukum yaitu:


  • Pelaksanaan kekuasaan memerintah harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang yang diakui (wetmatigheid van bestuur);
  • Pemerintah harus menghormati hak-hak asasi manusia (grondrechten);
  • Kewenangan pemerintahan tidak boleh terpusat melainkan diserahkan kepada berbagai organ negara yang berimbang dan saling mengawasi (machtsverdeling);
  • Perbuatan/tindakan pemerintahan harus dapat dikontrol oleh badan peradilan yang menilai secara bebas sahnya perbuatan tersebut (rechterlijke controle).

Semua kewenangan untuk menjalankan pemerintahan atau perbuatan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Jika tidak, maka perbuatan pemerintahan tersebut dianggap tidak sah (ongeldig). Dengan demikian menurut Salim (2010) hanya terdapat tiga kemungkinan. Pertama, kewenangan pemerintahan langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada organ pemerintahan. Kewenangan ini disebut atribusi yang berarti pemberian kewenangan menjalankan pemerintahan oleh pembentuk undang-undang kepada suatu organ pemerintahan.

Kedua, kewenangan pemerintahan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan (wettelijke regeling) dialihkan kepada suatu organ pemerintahan. Kewenangan ini  disebut delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan (overdracht) oleh suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain.

Ketiga, suatu kewenangan organ yang dalam pelaksanaannya diberikan kepada organ lain, namun tetap dijalankan atas nama organ yang memberi perintah. Kewenangan ini disebut mandat yaitu suatu organ pemerintahan membiarkan kewenangannya dilaksanakan oleh organ lain atas namanya.

Dengan menelaah substansi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang merupakan pelaksanaan (undang-undang organik) dari Pasal 22A UUD 1945 dan pengganti dari UU Nomor 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dibedakan atas dua.

Pertama, peraturan yang termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas: Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 7).

Kedua, jenis peraturan lainnya (yang tidak termasuk dalam jenis dan hierarki), yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang  lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jenis peraturan dimaksud antara lain peraturan yang ditetapkan oleh MPR, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat (Pasal 8).

Dalam pembahasan mengenai peraturan perundang-undangan terdapat adanya hierarki dan asas preferensi (Titik, 2011: 31). Hierarki merujuk kepada tata urutan peraturan perundang-undangan dan dalam hal ini isi peraturan perundang-undangan yang berada pada urutan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang berada di urutan lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior).

Adapun asas preferensi merujuk kepada dua kriteria. Pertama, lex posterior derogat legi priori. Jika terdapat dua peraturan yang berada pada urutan yang sama tetapi berbeda tanggal pengundangannya, maka dalam hal ini yang berlaku adalah undang-undang yang baru. Artinya, jika terdapat dua undang-undang yang mengatur hal yang sama dan pada undang-undang yang baru tidak secara jelas dituangkan ketentuan yang mencabut undang-undang yang lama tersebut, yang harus diberlakukan adalah undang-undang baru.

Kedua, lex spesialis derogat legi generalis. Dua peraturan perundang-undangan yang berada pada urutan yang sama, tetapi yang satu lebih bersifat khusus dan lain bersifat umum. Dalam hal ini jika terdapat sengketa/masalah, maka yang harus diterapkan adalah undang-undang yang secara khusus mengatur perkara itu.

Menurut Aliamsyah (2010), peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)