Paradigma Governance dan Implikasinya

Kamis, 14 Februari 2013

Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat mengorganisasikan diri dan kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya “The Study of Administration” pada tahun 1883.

Dalam perjalanannya ilmu Administrasi Publik (Negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktek yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Administrasi publik pun mengalami perubahan makna (redefinisi) dengan beberapa sebab:

  1. Adanya fenomena globalisasi, sehingga mendorong perlunya efisiensi nasional
  2. Pemerintah seringkali menjadi sumber inefisiensi, sehingga perlu pengurangan peran pemerintah
  3. Terjadi penguatan peran pasar dan civil society, deregulasi dan debirokratisasi
  4. Banyak kegiatan yang penting bagi kepentingan publik tidak lagi dilakukan oleh birokrasi publik

Selain itu, ada “perubahan paradigma”:

  1. Dari orientasi serba negara ke pasar
  2. Dari otorisasi ke demokrasi
  3. Dari sentralisasi ke desentralisasi
  4. Dari publik yang menekankan kekuasaan negara/pemerintah (state centred) ke publik yang menekankan peranan pasar dan warga negara (governance).

Perkembangan administrasi publik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu administrasi publik. Menurut Nicholas Henry (1995) dalam Mariana (2010) terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik:


  1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi publik (1900-1926). Fokusnya terbatas pada masalah-masalah organisasi dan penyusunan anggaran dalam birokrasi pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik. Dalam paradigma ini para administrator dianggap tidak perlu campur tangan dalam kegiatan dan proses politik, ia hanya pelaksana keputusan yang dibuat politisi.
  2. Paradigma prinsip-prinsip administrasi (1927-1937). Paradigma ini muncul sebagai akibat dari interaksi yang intensif antara para administrator dengan pihak politisi dan swasta. Ciri paradigma ini adalah diserapnya prinsip-prinsip manajemen secara luas untuk diterapkan dalam ruang lingkup administrasi.
  3. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik (1950-1970). Dalam paradigma ini lokus ilmu administrasi publik berusaha untuk diredefinisikan, yaitu pada birokrasi pemerintahan.
  4. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi (1956-1970). Dalam paradigma ini ilmu administrasi menyajikan fokus dan bukannya lokus. Nampaknya mulai tumbuh kesadaran untuk mengadopsi disiplin ilmu lainnya untuk menyempurnakan studi ilmu administrasi publik.
  5. Paradigma administrasi publik sebagai administrasi publik (1970). Lokus administrasi publik bukan semata-mata pada ilmu administrasi murni, melainkan pada teori organisasi, yakni pada bagaimana dan mengapa organisasi-organisasi itu bekerja, bagaimana dan mengapa orang-orang berperilaku dalam organisasi, serta bagaimana dan mengapa keputusan-keputusan itu diambil.

Kelima paradigma di atas dikenal pula dengan istilah paradigma Old Public Administration (OPA) yang berlangsung di era sebelum 1970-an. Selanjutnya ada dua paradigma lain sesuai dengan masanya (periode) yakni tahun 1970 sampai 2003 dikenal dengan paradigma New Public Management (NPM) dan tahun 2003 sampai sekarang dikenal dengan paradigma New Public Service (NPS) (Saptawan, 2010).

Pada tahun 1992 muncul paradigma yang bersifat reformatif yaitu Reinventing Government yang dicetuskan oleh David Osborne dan T. Gaebler (1992). Di dalam paradigma ini pemerintah harus bersifat (Pasolong, 2011):

  1. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan haruslah menjadi pengarah dari para pelaksana.
  2. Pemerintah sebagai pemilik masyarakat haruslah lebih memberdayakan masyarakat.
  3. Pemerintah sebagai institusi yang hidup dalam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat persaingan kepada masyarakat untuk mengembangkan dirinya dengan menghadirkan lembaga swasta dalam menangani masalah-masalah yang biasanya dimonopoli pemerintah.
  4. Pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai misi haruslah lebih memberi kebebasan kepada masyarakat untuk berkeasi.
  5. Pemerintah sebagai sebuah pabrik yang berorientasi kepada hasil dalam strategi pembiayaannya.
  6. Pemerintah sebagai pelayan masyarakat haruslah lebih mementingkan kepuasan pelanggan.
  7. Pemerintah sebagai badan usaha harus pandai-pandai mencari uang bukan hanya pintar membelanjakannya.
  8. Pemerintah sebagai yang memiliki daya antisipatif harus mencegah daripada menanggulangi.
  9. Pemerintah sebagai pemegang kewenangan harus menggeser pola kerja hirarki ke model kerja partisipasi dan kerja sama.
  10. Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi kepada pasar harus mendongkrak perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar.

Paradigma Reinventing Government juga dikenal sebagai New Public Management (NPM) dan menjadi begitu populer ketika prinsip “Good Governance” diimplementasikan. Menurut Vigoda (dalam Pasolong, 2011) ada 7 prinsip NPM, yakni:

  1. Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik
  2. Penggunaan indikator kinerja
  3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol output
  4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil
  5. Pergeseran pehatian ke kompetisi yang lebih tinggi
  6. Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen
  7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.

Sedangkan good governance memiliki beberapa karakteristik (Purwanto dan Kumorotomo, 2005; dalam Juwari, 2010), antara lain:

  1. Participation. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpatisipasi dalam pembuatan keputusan.
  2. Rule of law. Hukum harus bersifat adil dan diimplementasikan tanpa pandang bulu.
  3. Transparancy. Informasi yang ada di lembaga-lembaga publik harus dapat dipahami dan dimonitor oleh publik.
  4. Responsivness. Lembaga-lembaga publik harus mencoba merespon kebutuhan stakeholders.
  5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik.
  6. Equity. Semua warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  7. Effectiveness and effiency. Proses penyelenggaraan pemerintahan harus mencapai hasil dengan menggunakan resources yang efisien.
  8. Accountability. Para pembuat keputusan baik di sektor pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat bertanggung jawab pada publik dan stakeholders.
  9. Stategic vision. Para pemimpin harus memiliki perspektif yang jelas tentang good governance.

Pada tahun 2003 muncul lagi paradigma yaitu The New Public Service (NPS) oleh JV. Denhardt & RB. Denhardt (2003). Keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsip administrasi klasik dan NPM, dan beralih ke NPS. NPS lebih diarahkan pada democracy, pride, and citizen (demokrasi, kebanggaan, dan warga negara) daripada market, competition, and customers (pasar, kompetisi, dan pelanggan) seperti sektor privat. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan, dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai norma mendasar lapangan administrasi publik. Public servants do not deliver customers service, they deliver democracy (dalam Pasolong, 2011).

Menurut Budiati (2010) dewasa ini perkembangan organisasi publik cenderung mengarah kepada pendekatan New Public Management yang mengutamakan outcome, inovasi, dan kreativitas serta pendekatan New Public Sevice yang mengutamakan pelayanan publik. Maka dari itu, para birokrat Indonesia dituntut lebih siap dan memiliki skill sesuai dengan kedua pendekatan tersebut. Tak hanya itu, tuntutan tersebut juga ditambah dengan hadirnya era perdagangan bebas yang mau tidak mau harus dihadapi.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)