Revolusi Mahasiswa Membangun Peradaban

Kamis, 17 Juni 2010

pasarkreasi.com
Setiap peradaban hampir selalu melalui beberapa tahapan atau fase, antara lain yang pertama fase perumusan ideologi atau pemikiran. Fase kedua adalah fase strukturalisasi, dan yang ketiga adalah fase ekspansi atau perluasan. Paling tidak ketiga fase itulah yang selama ini dilalui oleh beberapa peradaban besar di dunia.

Dua tokoh pembangunan Islam di masa modern yang cukup terkenal adalah Asy-Syahid Hasan Al Banna dan Abul A’la Al Maududi. Keduanya memiliki gagasan yang sama bahwa untuk mewujudkan peradaban Islam maka harus dimulai dari bawah, yakni dengan pembinaan aqidah, syariah, dan akhlak. Namun demikian kedua tokoh ini juga memilki perbedaan.

Abul A’la Al Maududi sebagai pimpinan Jamaat Islami banyak menunjukkan figurisme dirinya. Ia juga banyak menghasilkan karya tulis berwujud buku, selain juga kemampuannya dalam berceramah, hanya saja ia cukup lemah dalam hal kaderisasi. Hal ini berkebalikan denghan Asy-Syahid Hasan Al Banna yang menjadi pimpinan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Beliau sangat berhasil dalam mencetak kader daripada menghasilkan tulisan. Yang sangat menakjubkan adalah pergerakan dari Jamaah Ikhwanul Muslimin ini menyebar hingga ke seantero dunia, termasuk Indonesia, negeri yang memiliki penduduk mayoritas Islam terbesar.

Pemikiran Ikhwanul Muslimun bersifat komprehensif, tidak mementingkan satu sisi dan melupakan sisi yang lain. Karakteristik-karakteristik yang paling utama dari gerakan Ikhwanul Muslimin adalah bersifat ketuhanan (Rabbaniyah), bersifat internasional (’Alamiyyah), dan bersifat Islami (Islamiyyah).

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa gerakan Ikhwanul Muslimin sangat menekankan upaya pembinaan (tarbiyah) dalam rangka menegakkan peradaban Islam di muka bumi ini. Tahap awal pembinaan adalah dengan memperbaiki diri pribadi (ishlah an nafs). Tahap kedua adalah membentuk rumah tangga Islami (ishlah al bait al Muslim). Tahap ketiga adalah mengayomi masyarakat (ishlah al mujtama’) dengan mengembangkan misi kebaikan dan memerangi kejahatan. Tahap keempat adalah membebaskan bangsa dari segala bentuk penjajahan (tahrir al wathan). Selanjutnya adalah memperbaiki pemerintahan sehingga menjadi pemerintahan yang Islami (ishlah al hukumah). Setelah itu mengadakan usaha-usaha untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari belenggu asing sehingga tercapai kemerdekaan. Dan akhirnya mengembangkan misi dakwah ke seluruh muka bumi sehingga tidak ada kesesatan.

Asy Syahid Hasan Al Banna membagi fase-fase pembinaan menjadi 3 fase. Yang pertama adalah fase pengenalan (marhalah at ta’rif). Fase kedua adalah fase pembentukan kader (marhalah at takwin). Dan fase ketiga adalah fase realisasi atau pelaksanaan (marhalah at tanfidz).

Al Ikhwan dalam Gerakan Mahasiswa Indonesia

 Pemikiran serta konsep-konsep dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin banyak dikaji oleh kalangan muda di Indonesia, terutama oleh para mahasiswa. Bahkan tidak sekedar dijadikan wacana namun sudah berjalan dalam dataran realisasi. Gerakan ini dikenal dengan Gerakan Tarbiyah yang mendominasi kampus-kampus besar di Indonesia. Pada mulanya gerakan ini merambah  pada anak-anak muda yang aktif dalam unit kerohanian Islam atau lebih dikenal dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK).

Kemunculan gerakan ini bisa jadi merupakan antitesis dari lembaga-lembaga ke-Islaman yang lebih dulu muncul di kalangan mahasiswa semisal HMI dan PMII. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa Gerakan Tarbiyah yang dahulu dianggap eksklusif dan tidak tertarik dengan masalah politik serta kekuasaan, pada masa selanjutnya banyak memasukkan kadernya di lembaga-lembaga umum kampus yang secara formal tidak ada kaitannya dengan agama.

Turunnya rezim Soeharto pun sedikit banyak dipengaruhi oleh aksi-aksi yang mereka lakukan. Dan tampaknya kekonsistenan gerakan ini dalam meruntuhkan rezim penindas semakin teruji dengan kembali diturunkannya presiden berikutnya.

Beberapa Catatan Kritis tentang Aksi Mahasiswa 

Dibutuhkan catatan-catatan kritis yang diharapkan semakin mempertajam pisau analisis dalam melengkapi gerak para mahasiswa. Dan yang tak kalah penting adalah melakukan studi komparatif, karena pengalaman adalah guru yang terbaik. Dengan melakukan kajian pembanding ini maka mahasiswa akan semakin menyadari kelemahan dan tidak lupa diri untuk selanjutnya melakukan pembenahan.

Pertama, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, generasi mahasiswa sekarang terutama yang bergabung dalam gerakan-gerakan yang konsisten menjatuhkan rezim, membutuhkan energi yang luar biasa untuk melakukan penyadaran kepada (terutama) mahasiswa lain. Mahasiswa semakin apatis untuk memikirkan masa depan negerinya sendiri bahkan mereka secara umum sangat pragmatis untuk segera memperkaya diri sendiri berkolaberasi atau bahkan menghamba kepada kaum kapitalis. Generasi inilah yang pada era reformasi dinamakan generasi ding-dong, karena kesukaan mereka yang hura-hura. Namun uniknya gerakan mahasiswa 1998 sanggup menarik mereka untuk mengikuti aksi unjuk rasa. Tentu saja mereka bukanlah massa yang terorganisasi, hanya sekedar massa yang termobilisasi. Sekarang generasi itu mungkin bisa kita namakan generasi play station, generasi asereje, atau generasi inul. Pertanyaannya, sanggupkah gerakan mahasiswa kini kembali merangkul mereka?

Kedua, kalau mau belajar dari pengalaman Revolusi di Rusia dan Cina, maka kita harus melihat kondisi obyektif masyarakat setempat, karena yang jelas perubahan tidak turun begitu saja dari langit, tetapi rakyat yang berjuang secara bersama-sama. Revolusi Bolsevik di Rusia tahun 1917 didukung oleh para buruh, karena memang kondisi obyektif masyarakat di Rusia adalah masyarakat industri. Sedangkan di Cina yang notabene negara agraris maka revolusi di sana menggunakan tenaga para petani sebagai kekuatan terbesar. Nah, untuk konteks Indonesia maka seharusnya kalau melakukan studi banding sebagaimana yang terjadi di Rusia dan Cina maka kita harus berbicara jujur bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah umat Islam. Revolusi dengan meninggalkan umat Islam di Indonesia maka bisa diprediksikan akan mengalami kegagalan. Ide inilah yang sejak dulu kala digulirkan oleh Tan Malaka dan Haji Misbah. Bahkan Tan Malaka berusaha menggabungkan antara paham Sosialisme dengan Pan Islamisme. Ide ini pun ditentang oleh tokoh PKI lain karena dianggap berlawanan dengan keputusan komintern, sehingga Tan Malaka pun dianggap ”murtad” dari komunis, bahkan ia pun dibunuh. Kegagalan PKI tahun 1948 dan 1965 salah satunya adalah karena kaum kiri mempertentangkan dan menafikkan keberadaan Islam di bumi Indonesia.

Ketiga, meruntuhkan suatu rezim berarti harus berhadapan dengan jutaan rakyat Indonesia sendiri. Rakyatlah yang memilih sendiri penguasa mereka. Revolusi damai yang terjadi di Filipina ketika menjatuhkan Rezim Marcos bisa berhasil karena didukung oleh rakyat dalam jumlah yang besar yang memang sudah muak dengan Dinasti Marcos yang korup. Demikian juga dengan jatuhnya Rezim Shah di Iran karena perlawanan hebat dari rakyat yang termobilisasi dalam jumlah yang besar. Ada informasi yang menyebutkan bahwa militer akan mendukung upaya mahasiswa menjatuhkan suatu rezim jika hal itu diikuti oleh sejumlah massa dengan kuantitas yang sangat besar, karena dengan demikian militer mempunyai dalih harus mengikuti kehendak rakyat. Namun jika gerakan tersebut tidak berhasil memobilisasi massa dalam jumlah besar, sampai limit sekian juta barangkali, maka militer akan dengan tegas menumpasnya dengan alasan melanggar konstitusi (inkonstitusional).

Keempat, perlu juga dipikirkan agenda pasca keberhasilan menjatuhkan rezim. Jangan sampai perbedaan strategi untuk melanjutkan perjuangan malah membuat masing-masing gerakan bermusuhan. Pelajaran dari pejuang Mujahiddin pasca perebutan kota Kabul di Afghanistan dari pemerintahan komunis Najibullah dukungan Rusia patut dijadikan perenungan. Betapa masing-masing pihak berperang saling menghancurkan lawan-lawannya yang padahal bertahun-tahun sebelumnya mereka juga yang bersama-sama berperang melawan tentara komunis.

Kelima, perlu juga diwaspadai permainan militer yang kemungkinan ikut serta kembali ke ranah politik. Tawaran-tawaran dari pihak militer tidak mesti ditelan begitu saja, karena siapa tahu di belakangnya ada imbalannya. Persoalan militer tidak semata-mata masalah bisnis di kalangan mereka sendiri. Namun adanya perasaan yang tinggi tentang pengorbanan dan pengabdian tentara untuk membela ibu pertiwi. Karena itu tidak sesederhana sebuah solusi untuk mengembalikan tentara ke barak dengan menaikkan anggaran militer, karena hal itu berkaitan dengan doktrin yang telah begitu erat tertanam bahwa tentara sangat berjasa mempersembahkan kemerdekaan, sehingga tidak mungkin demikian saja posisi militer di struktur kenegaraan digantikan oleh sipil. Contoh Ikhwanul Muslimin di Mesir era Gamal Abdul Nasser harus diperhatikan. Gamal AN adalah seorang perwira yang semula kader Al Ikhwan, bahkan ia orang dekat tokoh Al Ikhwan sendiri yakni Sayyid Qutbh. Ketika berhasil menduduki kursi presiden ia malah melakukan kekejaman yang luar biasa kepada anggota-anggota Al Ikhwan. Sayyid Qutbh pun ia hukum gantung hingga syahid.

Keenam, berdasarkan pengalaman sejarah 1966 dan 1998 yang kedua-duanya berhasil menjungkalkan kedua pemimpin RI, ada mahasiswa yang menjadi martir. Artinya aksi-aksi menentang penguasa semakin meluas dan mendapatkan respon paling besar setelah ada mahasiswa yang terbunuh. Tahun 1966 ada Arif Rahman Hakim, sedangkan tahun 1998 terbunuhnya mahasiswa-mahasiswa Trisaksti cukup menjadi permisalan. Tapi asumsi ini pun terlalu prematur karena contoh yang lain tidak selalu memproduksi hasil yang sama. Peristiwa Tiananmen di Cina ketika ribuan mahasiswa terbunuh tetap saja tidak mampu meruntuhkan penguasa.

Perjuangan yang Sangat Panjang

 Demikianlah gerakan mahasiswa akan menempuh jalan yang sangat panjang, berliku-liku, penuh tantangan, tetesan darah, keringat, dan air mata. Upaya generasi baru dalam umat Islam di negeri ini (ar ruhul jadid fi jasadil ummah) selalu mengalami tribulasi dan salah satunya melalui kebebalan penguasa yang zalim. Penguasa selalu saja menggunakan aturan-aturan yang formal untuk menjegal langkah-langkah para pahlawan Islam yang ingin menegakkan dan membentuk umat yang sesuai dengan tuntunan Ilahi (takwinul ummah).

Upaya pembentukan umat ini dilakukan dengan dua cara yang masing-masingnya tidak bisa parsial dikerjakan. Pertama adalah pembentukan kepribadian Islam (takwin syakhshiyah Islamiyah) yang akan menghasilkan keimanan, ketakwaan, dan Islamisasi kehidupan (Islamul hayah).

Yang kedua adalah membentuk semangat berjamaah (takwin ruhul jamaah) agar masing-masing personel berpegang teguh dengan tali Allah, bersatu padu, mempunyai ikatan kesatuan hati yang kokoh, dan berukhuwwah Islamiyah. Upaya perlawanan terhadap rezim yang zalim tidak bisa dilakukan secara sendiri namun dengan berkelompok (berjamaah). Dan tentunya tidak sembarang orang akan tertarik menyambut peluang ini, karena dalam sejarahnya hanya segelintir orang saja yang berperan melakukan koreksi terhadap kondisi negerinya, dan mereka dinamakan al muhtadun (orang-orang yang diberi petunjuk).

Semoga upaya kita membentuk al ummatul Islamiyyah akan mendatangkan kemenangan (al falah). Barangkali bukan kita yang merasakan masa kemenangan namun paling tidak kita telah merentas jalan. Amin.

Tulisan ini saya sampaikan dalam Dialog Publik Gerakan Mahasiswa (KAMMI, HMI, HMI MPO, dan PMII) yang diselenggarakan oleh Jamaah Shalahuddin UGM di Masjid Kampus UGM, pada Januari 2004, sesaat setelah ujian pendadaran (skripsi).
 



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)