Kedudukan DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Bagian 2)

Kamis, 10 Juni 2010

KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA (BAGIAN 2)

Setiap negara mempunyai sistem perwakilan yang berbeda, ada yang menganut sistem perwakilan bikameral yaitu lembaga perwakilan rakyat yang terbagi dalam dua kamar, misalnya di Amerika Serikat ada Senat dan House of Representative, di Inggris ada House of Lords dan House of Commons, di Filiphina ada Senat dan National Assembly. Ada pula negara yang menganut sistem perwakilan satu kamar atau unikameralisme karena hanya mempunyai satu lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan legislatif.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sebagai lembaga perwakilan rakyat berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), utusan-utusan daerah, dan utusan-utusan golongan. Utusan daerah dan utusan golongan itu tidak dipilih melalui pemilihan umum namun utusan daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I sedangkan utusan golongan ditetapkan oleh presiden.

Berdasarkan Amandemen terhadap UUD 1945 maka terjadi perubahan terhadap lembaga perwakilan rakyat di Indonesia.

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Berdasarkan pasal tersebut di atas menimbulkan anggapan bahwa seolah-olah sistem perwakilan di MPR menganut sistem bikameral di mana MPR sekedar forum bersama (joint session) antara DPR dan DPD. Namun demikian ada juga penafsiran yang menyatakan bahwa Indonesia masih tetap menganut sistem unikameral karena tidak sejajarnya posisi DPR dan DPD.

Pengkaidahan DPD dalam konstitusi tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 2 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 22E ayat (2) dan (4), Pasal 23E ayat (2), dan Pasal 23F ayat (1).

Tentang keanggotaan DPD diatur dalam Pasal 22C, yakni:

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.

(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.

Jadi para anggota DPD adalah perseorangan (individu-individu) yang mewakili daerahnya yakni provinsi, dan bukan mewakili partai politik sebagaimana DPR. Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat di masing-masing provinsi, bukan diangkat atau dipilih oleh DPRD Provinsi seperti pengalaman utusan daerah di MPR pada masa lalu.

UU yang mengatur susunan dan kedudukan DPD sebagaimana disebutkan pada Pasal 22C ayat (4) adalah UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU tersebut maka jumlah anggota DPR adalah 550 orang. Oleh karena itu jumlah anggota DPD tidak boleh melebihi 183 orang. Pasal 33 ayat (1) mengatur jumlah anggota DPD dari masing-masing provinsi adalah 4 orang.

Pasal 40 UU No 22 Tahun 2003 menyebutkan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Pasal 41 menyebutkan tentang fungsi DPD yakni:

1. Mengajukan usul, ikut dalam pembahsan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.

2. Pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.

Tentang tugas dan kewenangan DPD menurut UUD 1945 Pasal 22D, adalah:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelelolaan sumber daya alam dan suimber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaraan pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan , dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

Berbagai hal tentang tugas dan wewenang DPD ini kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No 22 Tahun 2003 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47 yakni sebagai berikut:

Pasal 42:

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.

(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Pasal 43:

(1) DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

(2) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai peraturan tata tertib DPR.

(3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.

(4) Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai bahan masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.

Pasal 44:

(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah.

(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah.

Pasal 45:

(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis sebelum pemilihan anggota BPK.

Pasal 46:

(1) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.

(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pasa ayat (1) disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Pasal 47:

DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbagan bagi DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN.

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut kita bisa melihat adanya perbedaan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh DPD dibandingkan dengan DPR yang sama-sama sebagai lembaga perwakilan. DPD seakan-akan hanya pelengkap dari keberadaan DPR karena kewenangan yang diberikan DPD yang tidak sebesar yang dimiliki DPR.

Jika DPR mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk UU yang dibahas dengan presiden, maka DPD hanya berwenang untuk mengusulkan rancangan UU untuk diajukan kepada DPR (Pasal 42 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003). Kewenangan pengajuan usul RUU itu pun hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan dalam hal RUU tentang APBN dan hal-hal yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 DPD hanya diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR, yang dari hasil pertimbangan tersebut DPR melakukan pembahasan dengan pemerintah (ayat (3)).

Selain mengajukan RUU kepada DPR, DPD juga mempunyai kewenangan untuk ikut membahas RUU yang berkaitan dengan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003. DPR akan mengundang DPD untuk membahas RUU bersama pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan tata tertib DPR. Hasil dari pandangan, pendapat, dan tanggapan masing-masing lembaga tersebut dijadikan masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah. Di sini sekali lagi kita melihat betapa kecilnya kewenangan yang dimiliki oelh DPD dibandingkan sengan DPR bahkan dengan pemerintah. Seolah-oleh DPD hampir mirip dengan staf ahli di kedua lembaga tersebut. DPD tidak mempunyai peran dalam proses menentukan keputusan.

Untuk kewenangan DPD dalam hal pengawasan terhadap pelaksanaan UU juga terbatas pada masalah-masalah tertentu dan hasil dari pengawasan tersebut sekali lagi disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. DPD tak ubahnya seperti warga masyarakat biasa yang memang berhak untuk memberikan masukan dan menyampaikan aspirasinya kepada DPR sebagai wakil rakyat.

Demikian juga dalam hal pemilihan anggota BPK, DPD hanya berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR secara tertulis. Selain kewenangan DPD tidak sebesar yang dimiliki oleh DPR, DPD juga tidak mempunyai beberapa kewenangan seperti yang dimiliki oleh DPR seperti membahas dan memberikan persetujuan Perpu, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah, memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial, memberikan persetujuan calon hakim agung untuk ditetapkan sebagai hakim agung, memilih tiga calon anggota hakim konstitusi, memberikan pertimbagan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi, memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.

Kesimpulan

Dari pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Amandemen terhadap UUD 1945 telah menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terutama dalam pelembagaan perwakilan rakyat. MPR dan DPR mengalami perubahan dalam hal kedudukan, wewenang, dan susunan, serta cara rekrutmen keanggotaannya. Selain itu Amandemen terhadap UUD 1945 juga menciptakan lembaga baru yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

2. Penegasan kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah sebenarnya sudah tepat, namun ternyata posisi DPD lebih rendah daripada DPR.

3. Dengan jumlah anggota, kewenangan, dan kedudukan yang tidak setara antara DPD dan DPR, maka sistem lembaga perewakilan rakyat yang dianut oleh Indonesa adalah sistem bikameral yang lunak (soft bicameral).

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)