Peranan BPD dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik di Desa (Bagian 2)

Kamis, 10 Juni 2010


Dalam pembahasan tentang lembaga perwakilan rakyat di tingkat desa ini maka akan didefinisikan dahulu pengertian tentang desa. Pengertian desa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
1. Sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung, dusun.
2. Udik atau dusun (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota).
3. Tempat, tanah daerah.[1]
Pengertian ini menunjukkan beberapa ciri:
1. Bahwa desa merupakan suatu lokasi pemukiman di luar kota, sekaligus bukan kota.
2. Desa adalah suatu komunitas. Sangat jelas ditunjukkan bahwa desa merupakan komunitas yang homogen.
3. Desa menunjukkan suatu sifat dari lokasi sebagai akibat dari posisinya yang berada di pedalaman. Pengertian ini mengandung unsur sosiologis, selain bias kota yang sangat kentara, dengan demikian, posisi marjinal orang desa dalam wacana merupakan konstruksi orang kota.
Dalam pengertian sosiologis, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau kesatuan penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan di mana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak tergantung kepada alam. Lebih jauh disebutkan bahwa dalam pengertian sosiologis desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat, dan tradisinya masih kuat, mempunyai sifat jujur, dan bersahaja, pendidikannya relati rendah, dan sebagainya.[2]
Gambaran tersebut pada dasarnya menonjolkan desa, selain memuat segi-segi dan sifat-sifat yang positif, seperti kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang pula mengandung ciri negatif seperti kebodohan dan keterbelakangan. Pada umumnya ciri keterbelakangan, seperti sebagian masyarakatnya masih buta huruf, masyarakatnya bertani, masih belum mengenal teknologi tinggi dan masih menggunakan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, menjadi citra dari desa. Bahkan dalam wacana umum, di kalangan masyarakat kota, sesekali terdengar ejekan sinis: (n)desa pada seseorang yang dianggap kuno, bodoh, atau terbelakang.
Pandangan (sosial) ekonomi yang lebih menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai suatu komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas. Desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan adanya hubungan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi, dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama.
Hatta sebagaimana dikutip oleh Tjiptoharijanto menyebutkan bahwa model produksi itu pula yang menjadi dasar dari demokrasi khas desa.
“Di desa-desa sistem demokratis yang masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah komunal yaitu sertiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi.”[3]
Saling ketergantungan dan saling bekerja sama antar rumah tangga petani, merupakan citra yang sudah melekat pada masyarakat desa, meskipun mungkin pada saat sekarang citra tersebut mulai dikoreksi oleh sejumlah perkembangan baru, yang berlawanan dengan citra tersebut. Perkembangan yang dimaksud sangat tidak lepas dari modernisasi desa, dan sekaligus suatu proses transformasi dari desa menjadi kota.[4]
Dilihat dari sudut pandang hukum dan politik, yang lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri. Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya bisa diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa, dan bukan pihak luar.[5]
Menurut UU No 5 Tahun 1979 disebutkan tentang pengertian desa sebagai berikut,
“Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sedangkan berdasarkan UU No 22 Tahun 1999, desa diberi pengertian baru sebagai berikut,
“Desa adalah kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.”
Dari berbagai pengertian tersebut, dapat ditarik beberapa cirri umum dari desa:
1. Desa pada umumnya terletak di atau sangat dekat dengan pusat wilayah usaha tani.
2. Dalam wilayah itu, pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang dominan.
3. Faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya.
4. Tidak seperti di kota ataupun di kota besar yang penduduknya sebagaian besar merupakan pendatang, populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti dari dirinya sendiri”.
5. Kontrol sosial lebih bersifat informal, dan interaksi antara warga desa lebih bersifat personal dalam bentuk tatap muka.
6. Mempunyai tingkat homogenitas yang relatif tinggi dan ikatan sosial yang lebih ketat daripada kota.[6]
Roucek dan Warren sebagaimana dikutip Raharjo, menyebutkan karakteristik desa sebagai berikut:
1. Besarnya peranan kelompok primer.
2. Faktor geografik yang menentukan dasar pembentukan kelompok/asosiasi.
3. Hubungan lebih bersifat intim dan awet.
4. Homogen.
5. Mobilitas sosial rendah.
6. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi.
7. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar.[7]
Karakterisitk yang disebutkan di atas, pada dasarnya merupakan karakteristik, yang sebagian menjadi ciri dari desa tradisional. Desa masa kini, pada dasarnya telah mengalami sejumlah perubahan, sejalan dengan bekerjanya kekuatan eksternal yang mendorong perubahan sosial di desa. Ikatan sosial yang ketat, sebagai contoh, telah mulai dilihat memudar seiring dengan munculnya ekonomi uang dan industrialisasi yang memasuki desa. Pada sast itulah desa bergerak mencapai tingkat kemajuan tertentu, yang kemudian dapat berkembang menjadi daerah kota, yang tentu saja dengan ciri yang berbeda.

[1] Ibid, hal 9
[2] Ibid, hal 10
[3] ibid, hal 11
[4] Ibid, hal 12
[5] Ibid, hal 12
[6] Ibid, hal 14-15
[7] Ibid, hal 15

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)