Dunia Perjuangan Mahasiswa

Rabu, 09 Juni 2010

Tulisan ini dibuat saat saya masih kuliah di FH UGM. Disampaikan dalam acara Latihan Kader JMP UGM 27 Oktober 2002. Selamat Menikmati.

DUNIA PERJUANGAN MAHASISWA

Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan dalam lembar sejarah manusia
“Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta.”
“Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai mujahid yang turun ke medan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk Allah semata.”

Sekelumit syair di atas adalah bentuk-bentuk aspirasi penyuaraan yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang sering melakukan proses perubahan. Ada makna yang mendalam yang terdapat di sana, yang tidak sekedar dijadikan penyemangat dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan. Kelompok manusia tersebut adalah “mahasiswa”. Dan label “mahasiswa” tersebut masih bisa ditambah lagi dengan “muslim”. Dan label-label tersebut pun kiranya masih bisa ditambahkan lagi dengan nama “Indonesia”. Dan selanjutnya, terserah Anda.
Kampus adalah tempat perjuangan. Yah inilah yang sering menjadi pemikiran. Perjuangan seperti apa. Berjuang untuk siapa. Nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Samakah dengan perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan dahulu kala. Atau samakah dengan sebuah partai politik yang mempunyai nama …Perjuangan. Kenapa kita berjuang di kampus.
Mendengar kata kampus, maka yang terbayang dalam pikiran kita adalah sebuah bangunan megah tempat sekumpulan anak muda belajar menuntut ilmu dengan keceriaan dan kebebasan mereka yang seolah tanpa pernah usai. Demikian pula begitu kata kampus disebut, maka tanpa komando, segera aspirasi pikiran kita tertuju pada kata mahasiswa. Demikian pula bila kita mendengar kata mahasiswa, maka asumsi deskriptif kita lansung membayangkan acara demonstrasi. Memang antara kampus dan mahasiswa adalah dua kata yang tak dapat terpisahkan, seperti dua sisi mata uang.
Dunia kampus dengan mahasiswa sebagai elemen terpentingnya, memang berbeda dengan dunia-dunia yang lain, apalagi bila dipersandingkan dengan kehidupan di bangku sekolah yang penuh romantika (kata sebagian anak muda). Tentu kita masih ingat ketika kita masih bersekolah dengan seragam putih abu-abu, sepatu hitam, kaos kaki putih, masuk kelas harus sebelum jam 07.00 pagi, dan sebagainya-dan sebagainya. Sebuah dunia pendidikan yang mungkin kita semua pernah melakoninya. Dan mungkin sebagian dari kita juga pernah merasakan suasana dalam istilah BUTA CINTA, yaitu Buku, Cinta, dan Pesta. Itulah sekolah kita dahulu, yang kemudian melahirkan orang-orang seperti kita.
Karakter dunia kampus senantiasa melekat dengan sebuah sikap kerja ilmiah, dinamis, kreatif, dan penuh dinamika. Kampus mengemban tiga fungsi utama dalam rangka menguatkan eksistensinya. Yaitu pertama, fungsi kampus sebagai elemen perubah dan perangsang perbaikan masyarakat. Kedua, fungsi kampus dalam penyediaan sumber daya politik. Dan ketiga, watak kemandirian kampus yang sarat dengan metode kerja ilmiah dan kritis. Mahasiswa sebagai aktor utama di kampus tentu saja memegang “kartu as” bagi dinamika dan perubahan di lingkungannya. Sejarah telah membuktikan tumbangnya beberapa rezim diktator dan otoritarian oleh mahasiswa.
Meminjam kata-kata Mas Andi Rahmat, bahwa kata “perlawanan” menjadi tema sentral pada gerakan mahasiswa 1998. Ketika rezim diktator yang telah berkuasa selama 32 tahun begitu bebal, sama sekali tidak peduli dengan jeritan hati rakyat, dan dengan angkuh memaksa ingin tetap berkuasa, maka pada saat itulah mahasiswa 1998 tampil ke muka menjadi pagar masyarakat untuk bersiap sedia dalam menghadapi penindasan penguasa.
Mahasiswa dengan caranya sendiri sesuai dengan tingkat kematangan psikologisnya, mengutarakan secara terbuka apa-apa yang sedang mereka pikirkan. Mahasiswa mesti berjuang bersama rakyat. Mahasiswa yang meretas jalan yang baru dirambah, baru kemudian rakyat yang meratakan dan mematoknya dengan kerja fisik. Energi terobosan mahasiswa akan sia-sia tanpa dukungan rakyat. Rakyat, yang notabene adalah umat Islam, selalu terpakai untuk menggulingkan kekuasaan, tapi kemudian diminggirkan dan disingkirkan. Maka itulah peran mahasiswa sangat menentukan masa depan bangsa dan negerinya, pun kepada seluruh rakyatnya. Proses penyadaran dan pembelajaran harus senantiasa dimiliki oleh setiap mahasiswa. Kepekaan sosial harus tetap terjaga. Diri sendiri adalah pintu gerbang untuk memulai, dan masyarakat adalah arena perjuangan. Kuliah tidaklah selalu diartikan dengan belajar di dalam kelas, duduk di atas bangku, dan mencatat apa saja yang diomongkan oleh dosen tercinta. Sungguh rugi bila kita mengalami hal-hal seperti ini, an sich. Keinginan-keinginan agar kuliah dapat lulus dengan cepat, mempunyai nilai akademik yang tertinggi, nilai nyaris A semua, lalu meraih gelar cum laude, dapat kerja, dan akhirnya menikah. Tapi kemudian melupakan satu hal yang sangat penting, yakni kepedulian terhadap nasib bangsa (baca: umatnya). Sungguh beruntunglah manusia-manusia yang berhasil mempertemukan antara intelektualitas dengan moralitas. Dan mereka sangat bangga menggunakan ajaran-ajaran agamanya (baca : Al Qur’an dan Al Hadits) sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai persoalan kemasyarakatan, tanpa takut dicap sebagai ekstrimis, sempalan, fundamental, dan sebagainya.
Tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap persoalan masyarakatnya ini menurut Arbi Sanit disebabkan paling tidak oleh lima hal. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa memiliki pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai golongan masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat, adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.
Suara mahasiswa tidak berangkat dari kepentingan tertentu (vested interest) yang sudah mapan, namun lebih sering keluar dari kerangka berpikir yang idealistis. Mereka cenderung lebih progresif dan sosialistis. Mereka selalu lebih berwatak idealistis daripada generasi tua. Ada kata-kata ungkapan,”Orang yang berumur 25 tahun berpandangan sosialis adalah normal, orang yang berumur 40 tahun berpandangan kapitalis juga normal; tetapi jika orang berusia 25 tahun sudah berpandangan kapitalis, dan yang berusia 40 tahun masih berpandangan sosialis, keduanya adalah tidak normal. Jadi protes-protes yang sering ditampilkan oleh kalangan mahasiswa, selama masih dalam batas-batas wajar, legal, dan konstitusional, justru perlu disimak, agar dapat melihat perspektif yang lebih segar.
Semua pihak di Indonesia harus memahami posisi mahasiswa dan menghayati perjuangan mahasiswa. Aspirasi mahasiswa adalah mengkoreksi untuk meningkatkan perjuangan ke arah cita-cita yang luhur, yaitu masyarakat adil dan makmur. Mahasiswa (dan umat Islam) tak akan berhasil tanpa memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh, sebagaimana firman Allah, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. (QS Ar Raad 11).
Seorang Amin Rais, Akbar Tanjung, kecuali Soeharto tentunya, adalah mantan mahasiswa. Seorang Yusril, Nurcholis, Mahmudi, Hidayat Nur, juga adalah mantan-mantan mahasiswa. Seorang Megawati dan seorang Gus Dur, walaupun tidak lulus, mereka juga mantan mahasiswa. Nah, sekarang peran apa yang dapat kita mainkan ketika kita telah mempunyai status sebagai mahasiswa ? Akankah menjadi pelaku sejarah atau justru malah terhempas arus sejarah. Sebagai generasi pelopor ataukah sebagai generasi pengekor. Sebagai penyuara kebenaran ataukah sebagai penjilat kekuasaan.
Dunia mahasiswa adalah dunia perjuangan. Bahkan kadang-kadang adalah perjuangan untuk menentang nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai sebagai muslim. Perang ideologi bisa saja tidak mustahil terjadi di dalam kampus. Pertanyaannya sekarang adalah siapkah kita memainkan peran yang menuntut pengorbanan untuk mempertahankan nilai-nilai akidah yang kita punya. Ingin jadi mahasiswa seperti apakah kita semua ? Kadang-kadang ada peryataan bahwa mahasiswa itu otaknya kritis, mulutnya sosialis, perutnya kapitalis, dan sedikit di bawah perutnya adalah liberalis. Akankah kita menjadi mahasiswa seperti itu? Tentu saja tidak, bukan, karena kita telah menjadi manusia muslim. Dan nilai-nilai keIslaman itulah yang mesti diperjuangkan.
Untuk itulah dibutuhkan mahasiswa-mahasiswa dan tentu saja calon-calon intelektual yang akan berkiprah di dalam dunia kampus dengan segala atributnya yang tetap istiqomah untuk menegakkan kalimat Allah dalam segala waktu dan keadaan. Dibutuhkan karakter-karakter untuk menjadi kader andalan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sendiri sudah termasuk di dalamnya? Yah, semoga saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)