Evaluasi dan Strategi Gerakan Mahasiswa

Rabu, 16 Juni 2010



Sudah melebihi waktu yang telah direncanakan oleh para mahasiswa untuk menjatuhkan suatu rezim namun ternyata ia masih tetap berdiri kokoh di posisi presidennya, bahkan semakin represif. Semakin banyak saja tokoh mahasiswa yang diancam untuk masuk ke bui karena kevokalan mereka. Dan yang lebih tragis lagi adalah penguasa menggunakan pasal-pasal tentang penghinaan kepada kepala negara untuk menagkap para mahasiswa yang notabene pasal-pasal tersebut merupakan warisan dari penguasa kolonial Hindia Belanda. Pasal-pasal itulah yang dahulu kala dipergunakan oleh penguasa kolonial untuk memenjarakan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, karena dianggap melawan pemerintah dan menghina Ratu Belanda.
Dalam melaksanakan sesuatu yang telah dijadikan perencanaan secara matang oleh setiap gerakan maka pada suatu saat harus ada evaluasi. Langkah-langkah kontempelasi ini bukan berarti untuk melemahkan aktivitas gerakan mahasiswa yang semakin menggebu-gebu untuk selalu memuluskan tujuan mereka dengan cara konvensional, yakni demonstrasi, walaupun dalam teori politik sebenarnya cara ini, yakni aksi unjuk rasa, dianggap sebagai bagian penyampaian aspirasi yang relatif progresif. Dalam gerakan mahasiswa, apalagi yang mempunyai tujuan-tujuan mulia, maka evaluasi bukanlah barang haram yang harus dijauhi. Justru ini menjadi tahapan yang mesti dilalui setelah menjalankan aksi-aksi.
Ada beberapa evaluasi yang harus diyakini bahwa itu menunjukkan kelemahan kita dalam menjatuhkan rezim. Di sini kita hanya akan menjadikan gerakan mahasiswa sebagai obyek yang dijadikan kajian evaluasi dengan tidak melibatkan gerakan-gerakan perubahan yang lain. Hal ini cukup menarik karena selain dijadikan obyek kajian evaluasi, ternyata kita pun ternyata turut bergumul dalam aplikasi yang nyata menjadi bagian elemen anti rezim. Sehingga bisa jadi kajian ini sangat bersifat subyektif, namun untuk bahan refleksi, kenapa tidak?
Yang pertama tentang aksi. Masih menjadi stigma di dalam tubuh gerakan mahasiswa bahwa itulah satu-satunya cara yang paling efektif dalam menjatuhkan rezim. Hal ini barangkali terlalu dipengaruhi oleh romantisme sejarah keberhasilan mahasiswa meruntuhkan diktator Indonesia tahun 1966 di jaman Soekarno dan tahun 1998 di jaman Soeharto. Namun harus diingat bahwa dalam sejarahnya pun gerakan mahasiswa sering, atau paling tidak, pernah mengalami kegagalan sebagaimana tahun 1974 (Peristiwa Malari) dan 1978/1979 (NKK/BKK). Alih-alih ingin menjatuhkan presiden, namun mereka sendiri yang harus mendekam dalam penjara, sebagaimana nasib yang menimpa Hariman Siregar, Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Al Hilal Hamdi, dan kawan-kawan. Banyak variabel yang mempengaruhi turunnya rezim di Indonesia dan untuk setiap masa tidak bisa disamakan untuk dicarikan strateginya. Sebagai contoh gerakan mahasiswa era 1966 sangat didukung oleh militer terutama TNI AD dan juga pihak asing (CIA dan sebagainya), sedangkan tahun 1998 sangat dipengaruhi oleh situasi moneter di dalam negeri dan menular pada masalah lain, dan tentunya kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah juga turut mempengaruhi.
Yang kedua, aksi-aksi yang dibawa oleh mahasiswa masih bersifat sporadis sehingga terkesan sangat reaktif, tidak berorientasi jangka panjang. Selain itu isu-isu yang disampaikan pun seringkali tidak terfokus.
Yang ketiga, gerakan mahasiswa kurang berhasil dalam menggalang keterlibatan masyarakat, atau paling tidak para mahasiswa yang non aktif dalam kancah perpolitikan. Padahal kekuatan yang sangat dahsyat dalam melakukan revolusi adalah kekuatan rakyat, mahasiswa hanya sebagai pencetus dan pelopornya, dan selanjutnya bersama-sama dengan rakyat berjuang.
Yang keempat, tidak adanya pusat informasi dan propaganda di antara gerakan mahasiswa yang ada. Sebenarnya jika terjalin aliansi di antara gerakan mahasiswa maka akan semakin menambah kekuatan mahasiswa. Dengan adanya pusat informasi dan propaganda ini maka masing-masing elemen bisa saling memberikan isu yang berlembang untuk selanjutnya diadakan analisis tentangnya.
Yang kelima, seharusnya gerakan mahasiswa mulai melakukan identifikasi tokoh-tokoh yang pro dan kontra perubahan menuju perbaikan negeri ini. Gerakan mahasiswa harus melakukan pemetaan siapa kawan dan siapa lawan. Hal ini sangat penting untuk menghindari memboncengnya kalangan status quo dan oportunis agar kegagalan pasca reformasi 1998 tidak terulang lagi.
Yang keenam, gerakan mahasiswa mesti melakukan perang urat syaraf (psy war) kepada orang-orang yang saat ini berada pada struktur kekuasaan. Artinya kita melakukan strategi untuk memecah belah internal musuh, sehingga di antara mereka saling melawan.
Beberapa evaluasi di atas sebenarnya bisa juga dianggap sebagai sebuah strategi awal (pra) dalam menjatuhkan rezim. Selanjutnya seringkali kita disodori pertanyaan, setelah keberhasilan menjatuhkan rezim sudah dilalui maka apa yang harus kita lakukan, terutama apa peran mahasiswa. Kita barangkali masih sangat ingat cerita tentang koboi atau Zoro yang dinisbatkan kepada mahasiswa. Betapa gagahnya dielu-elukan penduduk kota saat tokoh pahlawan ini segera meninggalkan kota yang dipenuhi oleh para penjahat setelah ia berhasil mengalahkan para penjahat tadi. Koboi atau Zoro tidak pernah diceritakan membantu rakyat membangun kembali kotanya yang porak-poranda akibat ulah para penjahat. Oleh karena itu jika para mahasiswa masih mempunyai kepedulian kepada negerinya maka tidak sepantasnya ia meninggalkan kancah perjuangan begitu saja, walaupun ia telah berhasil meruntukan rezim.
Ada beberapa strategi lanjutan yang bisa kita lakukan pasca turunnya rezim. Pertama adalah melakukan eksekusi terhadap orang-orang status quo. Dan yang tidak boleh ditinggalkan adalah penegakkan hukum yang tegas kepada para koruptor yang amat menyengsarakan rakyat. Kedua, perbaikan ekonomi harus segera dilakukan, karena jujur saja kebobrokan ekonomi telah menjadikan negeri ini sangat terpuruk. Ketiga, mengusahakan dengan sekuat tenaga agar aset serta uang negara yang berada di luar negeri segera dikembalikan.
Keempat, bekukan lembaga legislatif, karena ternyata lembaga yang dulunya bisa diharapkan menjadi penyalur aspirasi rakyat namun kenyataannya diisi oleh orang-orang yang tidak bermoral. Oleh karena itu setelah dibekukan maka lembaga ini harus diisi dengan orang-orang reformis dan idealis. Kelima, kita juga tidak boleh melupakan militer. Kalau saja kita mau berkata jujur, asosiasi yang paling solid di Indonesia adalah kalangan militer. Kalaupun ada intrik-intrik di internal mereka maka hal itu tidak akan berjalan lama dijadikan konsumsi publik karena rapinya koordinasi mereka. Untuk gerakan mahasiswa mesti menjaga tata hubungan dengan militer. Ada peluang militer kembali ke dunia politik praktis, maka gerakan mahasiswa harus ekstra waspada.
Strategi lanjutan berikutnya adalah melaksanakan pemilihan umum secara jujur dan adil, karena inilah jalan legal konstitusional untuk menjalankan negara secara sah, dan tentunya pembuatan aturan hukum harus dilaksanakan secara demokratis baik secara formil maupun materiil.

Tulisan ini dibuat saat saya masih kuliah di FH UGM, terinspirasi saat saya mengikuti Temu Aktivis Mahasiswa Se-Jawa di Puncak, Bogor, pada Bulan Mei 2003 yang difasilitasi oleh BEM IPB

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)