Student Government, Sebuah Alternatif Perjuangan?

Kamis, 10 Juni 2010



Perjuangan memang melelahkan, membutuhkan kecermatan, kecerdasan, resistensi, dan sumber daya. Kemunculan gerakan yang membawa nama dan menghusung tegaknya demokrasi diyakini sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat. Namun demikian perjuangan ini akan senantiasa menghadapi tembok benteng yang kokoh, berupa sikap otoriter penguasa yang dalam sejarahnya selalu menggunakan kekuatan represif untuk membungkam suara-suara kritis, dan lagi sikap masyarakat itu sendiri yang terkadang perlu disadarkan kembali. Sehingga perjuangan ini tidak hanya sekedar meletihkan namun juga meyakitkan, bila dirasa dari perlakuan yang diterima oleh para aktornya. Paling tidak ketika gerakan ini diberangus oleh penguasa yang merasa terancam, ini bisa menjadi pembelajaran bagi rakyat tentang arti penting nilai-nilai demokrasi, berupa kebebasan berpendapat, melakukan kontrol, memberikan pendidikan politik, pers yang merdeka, organisasi kemasyarakatan yang independen, dan sebagainya.
Cukup menarik untuk mengkaji gerakan pro demokrasi terutama di negara-negara berkembang, pun di Indonesia. Turunnya Presiden Soeharto pada gemuruh reformasi tahun 1998 merupakan sebuah kemenangan bagi gerakan pro demokrasi, tentu saja dengan mahasiswa sebagai pelaku utamanya. Sebuah asumsi awal bisa digunakan di sini bahwasanya ada keterkaitan yang begitu erat antara gerakan pro demokrasi dan pemerintahan yang otoriter, dalam arti gerakan pro demokrasi ini yang senantiasa memberikan kontrol dan bahkan berusaha menjatuhkan rezim yang otoriter. Semakin rakus rezim ini berkuasa, sehingga menimbulkan gejolak sosial politik, maka semakin radikal perjuangan gerakan pro demokrasi melawannya. Walaupun tak sedikit gerakan pro demokrasi yang dilemahkan maupun dihabisi, namun gerakan ini akan selalu ada sebagai bentuk pertanggungjawaban melihat kondisi kritis negara. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bisakah gerakan pro demokrasi tetap eksis di dalam pemerintahan yang telah (dianggap) demokratis. Namun tentu saja mempertautkan antara timbulnya gerakan pro demokrasi sebagai reaksi atas kelakuan rezim otpriter yang merupakan benih dari tiranisme tidak begitu saja gampang disimpulkan. Bahkan kejatuhan sebuah rezim pun barangkali tidak terlepas dari faktor ekonomi, faktor budaya, tingkat pendidikan rakyat, tekanan internasional, dan lain-lain.
Gerakan pro demokrasi mempunyai beberapa variasi. Secara sederhana gerakan pro demokrasi ini bisa dikategorikan dalam 4 macam, yakni berdasarkan strategi perjuangan, metode yang dipakai, luas lingkup gerakan, serta pelaku/aktor penggeraknya. Berdasarkan strategi perjuangan gerakan pro demokrasi bisa melakukan dengan dua cara, yakni dengan masuk ke dalam sistem dengan maksud untuk memperbaiki dari dalam dan berjuang dari luar sebagai kekuatan oposisi. Pecahnya gerakan mahasiswa angkatan 1966 pada awal Orde Baru salah satu faktor penyebabnya adalah perbedaan dalam strategi perjuangan ini. Ada sekumpulan mahasiswa, dengan alasan mewakili etintasnya, masuk ke dalam parlemen. Sedangkan kelompok mahasiswa yang lain lebih merasa cocok jika mahasiswa sebagai gerakan moral tidaklah pantas untuk menerima posisi di dalam kekuasaan.
Berdasarkan metode yang dipakai ada dua alternatif, yaitu koreksi atau konfrontatif. Koreksi berarti memberikan atau menyampaikan suara-suara kebenaran kepada penguasa dengan harapan penguasa bisa menyadari kesalahannya dan kemudian memperbaikinya. Sedangkan konfrontasi maksudnya gerakan pro demokrasi, dengan berbagai pertimbangan, mengadakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa, memposisikan diri sebagai lawan, dan menjatuhkan penguasa sebagai salah satu agendanya.
Kemudian untuk luas lingkup gerakan pro demokrasi bisa menjangkau wilayah lokal, nasional, maupun internasional. Wilayah ini bisa diartikan sebagai tempat di mana gerakan itu berlangsung maupun respon dari isu-isu yang digulirkan, jaringan, dukungan, dan sebagainya.
Dan terakhir mengenai pelaku. Untuk pelaku atau aktor dari gerakan pro demokrasi ini bisa bermacam-macam, baik segelintir orang saja maupun berwujud lembaga formal yang permanen. Para pelaku ini antara lain mahasiswa, pers, buruh, partai politik, LSM/ORNOP, kelompok profesional, dan lain-lain.
Bila dilihat dari kategori gerakan pro demokrasi tersebut jelas bahwa mahsiswa adalah bagian darinya. Patut dicermati dalam kasus di Indonesia gerakan mahasiswa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam menumbangkan penguasa otoriter (Orde Lama dan Orde Baru). Sejarah telah mencatat bahwa gerakan mahasiswa memainkan perjuangan yang cukup unik, karena usia mudanya dan juga moralitas yang digunakan sebagai batu pijakannya. Gerakan mahasiswa tentu saja tidak berjalan sendiri dalam menumbuhkan alam demokrasi di negeri ini. Ia bagaikan bahan bangunan yang bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan pro demokrasi lain memperkuat pondasi bangunan. Jika dianalogikan dengan lari estafet maka gerakan mahasiswa (dalam kasus menumbangkan penguasa) merupakan pelari yang memasuki finish setelah sebelumnya pelari-pelari yang lain berjuang sekuat tenaga menyerahkan tongkat estafeta.
Dalam sejarahnya tidak begitu saja dengan mudah gerakan mahasiswa menemui jalan yang enak. Adalah sebuah kemestian perjuangan itu akan menemui banyak sekali perlawanan. Contoh di dalam kekuasaan Orde Baru barangkali bisa memberikan gambaran secara singkat. Pada mulanya mahasiswa diberikan tawaran untuk masuk ke dalam lingkar kekuasaan, yang akhirnya di dalam mahasiswa sendiri terjadi polarisasi. Ditambah lagi pemberlakuan NKK/BKK yang semakin mengkerdilkan potensi mahasiswa untuk berapresiasi memberdayakan masyarakatnya. Mahasiswa pun akhirnya menemui pilihan untuk bersikap pragmatis. Belum lagi pemaksaan pemberlakuan asas tunggal Pancasila, penangkapan dan pemenjaraan aktivis mahasiswa, penculikan, intimidasi dan teror.
Upaya pembungkaman terhadap gerakan mahasiswa, dan tentunya gerakan-gerakan pro demokrasi yang lain adalah sebuah kewajaran, namun tentu saja bukan berarti pembenaran. Telaah untuk mencari alasan penguasa melakukan itu agaknya berpangkal pada ideologi yang digunakan oleh Orde Baru, yakni ideologi pembangunan. Paling tidak dalam pembangunan ada prasyarat yang harus dipenuhi yakni stabilitas politik dan keamanan kemudian pembangunan ekonomi. Suara-suara kritis/protes pada masa itu dimaknai oleh penguasa sebagai hal yang mengganggu stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang sedang gencar-gencarnya. Dan selalu saja apa yang dilakukan oleh penguasa mendapatkan legitimasi dari peraturan perundangan yang memang sudah direkayasa untuk kepentingannnya. Kontrol dari lembaga legislatif tampaknya melemah, atau barangkali sudah tidak ada, kecuali sikapnya yang terkenal dengan 5 D (duduk, dengar, diam, dapat duit).
. Penguasa tampaknya lupa, atau memang pura-pura lupa ketika kebijakan yang ditempuhnya seringkali menimbulkan ketidakpuasan dari rakyat kecil dan lemah. Bahkan bangunan sistem ekonomi yang selalu dibanggakan ternyata ambruk begitu saja diterpa badai krisis moneter tahun 1997. Bukan berita baru kalau ada pejabat yang melakukan korupsi dan kesempatan yang luas bagi kalangan tertentu untuk melebarkan sayap bisnisnya dengan bantuan dan perlindungan pejabat.
Menarik sekali jika mencoba mencermati perkembangan gerakan mahasiswa sekarang ini. Ide-ide revolusi sistemik, pemerintahan rakyat miskin, dan lain-lain, ini merupakan tawaran segar yang tentu saja memerlukan telaah yang cukup mendalam. Salah satu di antara yang cukup menarik adalah prawacana atas student government (pemerintahan mahasiswa/negara mahasiswa). Ia diartikan sebagai pelembagaan kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa, namun tidak sama dengan negara, di mana konsepnya tidak terlepas dari teori negara. Kalau boleh di sini disederhanakan maka student government adalah gerakan mahasiswa yang dilembagakan/diformalkan.
Agaknya perlu diambil kesepakatan bersama seperti apakah format negara mahasiswa itu. Ada beberapa variasi yang bisa disampaikan mengenai strategi ini. Yang pertama student government merupakan bentuk pemerintahan yang mengambilalih kekuasaan sehingga unsur-unsur kekuasaan dan kekuatan negara akan dikuasai oleh mahasiswa, hal ini tak lepas dari keprihatinan semakin tidak jelasnya arah reformasi. Kemudian yang kedua student government diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan negara dengan masuk ke dalam sistem kekuasaan namun tidak seluruhnya. Sedangkan yang ketiga student government merupakan wadah gerakan mahasiswa itu sendiri yang di dalamnya mempunyai bentuk sama atau mirip dengan negara. Yang terakhir inilah yang barangkali menjadi entry point student government dalam patron reformasi. Selain dari segi formil/bentuk lembaga tersebut juga perlu dipikirkan bentuk materiil/substansi/prinsip dasarnya.
Student government mempunyai, paling sedikit, 5 prinsip dasar yakni moralitas, intelektualitas, politis, independen, dan sejajar. Masing-masing perlu dikritisi untuk memperoleh gambaran yang ideal tentang konsep yang sedang dibahas ini.
* Student government berpatron pada gerakan moral
Sebelum ide gerakan mahasiswa ini kita kembangkan lebih jauh agaknya kita perlu lebih bijaksana untuk bercermin pada diri kita sendiri dahulu. Gerakan mahasiswa, terlepas dari ideologinya, dilahirkan dan dibesarkan oleh mahasiswa itu sendiri yang sedikit banyak terpengaruh oleh suasana lingkungan dan latar belakang akademis. Dengan kata lain mahasiswa adalah unsur dari gerakan mahasiswa.
Secara umum masyarakat memandang mahasiswa sebagai bagian kecil dari komunitas terdidik dari bangsa ini. Tapi yang menggelikan tidak semua mahasiswa, namun mungkin cukup banyak, yang kurang menyadari anugerah yang telah disandangnya. Sebuah ironi ketika mahasiswa meneriakkan slogan-slogan moralitas tatkala mahasiswa yang lain kelakuannya tidak bermoral. Sex bebas, aborsi, pergaulan tanpa batas, narkoba, ayam kampus, tindak pidana adalah fenomena yang tak bisa begitu saja dihilangkan dari ingatan. Jika mahasiswa seperti ini yang diberi kesempatan memegang kendali, apa jadinya ?
* Student government berpatron pada gerakan intelektual
Gerakan mahasiswa yang berkarakter intelektual memang diharapkan menghasilkan rumusan dan solusi konkret permasalahan bangsa sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Jika harapan ini terlaksana maka sebuah kebahagiaan bagi masyarakat. Mahasiswa menjadi bagian komunitas yang peduli terhadap rakyat yang miskin dan tertindas.
Namun celakanya konsep pendidikan yang ditawarkan saat ini lebih mementingkan kebutuhan prakmatis. Hasilnya adalah mahasiswa berlomba-lomba untuk menyelesaikan studinya sebelum batas akhir yang seringkali membawa dampak pada keengganan mahasiswa untuk ikut dalam pergumulan membicarakan masyarakat yang teraniaya, apalagi berorganisasi.
* Student government merupakan gerakan politik
Sebagai gerakan politik mempunyai arti menjalankan fungsi kontrol (oposisi) terhadap kebijakan, baik kampus maupun negara. Hal ini akan lebih berarti jika ada jalinan antar gerakan mahasiswa, paling tidak kalau ada isu/musuh bersama biasanya mahasiswa bisa bersatu. Turunnya Presiden Soeharto tahun 1998 merupakan salah satu contoh betapa kuatnya gerakan mahasiswa tatkala bersatu. Namun pasca lengsernya beliau, gerakan mahasiswa tidak lagi mempunyai kesamaan terutama dalam hal strategi apa yang akan digunakan dalam melaksanakan agenda reformasi.
Bahkan gerakan mahasiswa mengalami polarisasi pada dua kubu yang berseberangan, yang tak jarang bentrok secara fisik, antara pro Gusdur dan anti Gusdur.
* Student government bersifat independen
Independen mempunyai arti tidak terpengaruh kepentingan kelompok tertentu terutama di luar mahasiswa. Sejarah Orde Lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan dengan menggarap mahasiswa. Tak heran jika pada masa itu ada anggapan jika HMI adalah alat perjuangan dari Masyumi, PNI dengan GNMI-nya, PKI dengan CGMI-nya.
Masa-masa awal Orde Baru pasca tumbangnya Presiden Soekarno di beberapa lembaga formal intra kampus, terutama UI telah terjadi pertentangan yang cukup hebat antara aktivis-aktivis mahasiswa yang berhaluan indenpenden dengan mereka yang berafiliasi kepada lembaga ekstra kampus. Hal ini barangkali menjadi perdebatan yang terus-menerus mengenai peran dari lembaga-lembaga ekstra kampus ini.
* Student government sejajar dengan pihak manapun
Hal ini adalah sebuah keberanian dari gerakan mahasiswa yang akan menjadi bahasa perjuangannya. Sehingga dengan pihak manapun gerakan mahasiswa mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Hal ini membutuhkan keterlibatan mahasiswa secara luas. Namun apa dikata, jika ternyata mahasiswa , bahkan secara umum, bersikap apatis, masa bodoh terhadap kondisi kampusnya. Perlu energi yang besar untuk merubah paradigma berpikir. Sehingga untuk menghadapi pihak-pihak di luar maka mahasiswa harus mengatasi kondisi internal mereka sendiri. Jadi membutuhkan energi dua kali.
Agaknya perjuangan gerakan mahasiswa memang harus menemui banyak tantangan. Sungguh mulia cita-cita yang ingin ia capai. Secara vertikal ia menjadi oposan yang bersuara vokal di hadapan penguasa, sedangkan dalam tataran horisontal ia turut berjuang memberdayakan rakyatnya. Keprihatinan adalah pijakan awal, diri sendiri adalah gerbang, sedangkan masyarakat adalah arena perjuangan. Seperti pada awal tulisan, ‘perjuangan memang melelahkan’, namun semoga tidak menjemukan.

Tulisan ini dibuat saat saya kuliah di FH UGM. Menanggapi tulisan Maryati yang berjudul ”Student Government dalam Patron Reformasi”. Saat itu ia menjadi Presiden Partai Bunderan, partai pemenang Pemira UGM, sedangkan saya menjadi Presiden Partai Humaniora.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)