Menimbang Kemungkinan Kudeta Oleh Militer

Selasa, 08 Juni 2010

Tulisan ini dibuat saat saya masih menjadi mahasiswa FH UGM. Pernah disampaikan dalam diskusi Lingkar Studi Sosial KAMMI UGM 25 Januari 2003. Selamat menikmati.

MENIMBANG KEMUNGKINAN KUDETA OLEH MILITER

Dalam sejarah bangsa-bangsa kita akan menemukan perubahan-perubahan besar dan cepat yang sering dianggap sebagai revolusi. Jalaludin Rakhmat menyebut ada 7 jalan menuju perubahan besar dan cepat tersebut. Pertama, coup d’etat atau kudeta, di mana perubahan terjadi dengan sangat tiba-tiba, cepat, tetapi hanya terbatas pada pemerintahan saja secara inkonstitusional. Kedua, pemberontakan, sebagai aktivitas kekerasan yang diarahkan kepada pemerintah untuk menghasilkan perubahan secara parsial. Ketiga, perlawanan atau mutiny, yaitu penolakan untuk taat dari kelompok yang subordinat tanpa disertai dengan visi yang jelas mengenai perubahan yang diperlukan.
Keempat adalah putsch, yaitu pengambilalihan kekuasaan oleh tentara atau beberapa perwira tentara yang memegang komando angkatan bersenjata. Kelima, perang saudara, yang biasanya dilatarbelakangi oleh permusuhan antar agama dan etnis sehingga terjadi konflik dan saling menghancurkan. Keenam, perang kemerdekaan, yakni perjuangan untuk membebaskan negeri dari kekuatan eksternal yang dilakukan rakyat negeri tersebut untuk memperoleh kemerdekaan. Dan terakhir, ketujuh adalah kerusuhan atau social unrest, yang mana ini terjadi karena timbulnya frustasi dan kekecewaan yang terwujud dalam perusakan secara spontan dan tidak mempunyai fokus yang begitu jelas.
Dalam kondisi pemerintahan yang dinahkodai oleh Ratu Megawati “Soehartoputri” ini kita bisa mendapatkan berbagai cita-cita yang dituangkan dalam agenda reformasi telah jauh dari pelaksanaan. Ketidakberpihakan pemimpin terhadap kondisi rakyatnya yang semakin merana membuat rakyat di mana-mana melakukan perlawanan, aksi-aksi pemogokan, dan demonstrasi turun ke jalan. Dengan melihat hal-hal seperti tersebut maka tidak menutup kemungkinan wacana tentang kudeta yang kira-kira dilakukan oleh militer menjadi sesuatu yang relevan.
Kudeta berasal dari bahasa Perancis, cupo d’etat, artinya perebutan kekuasaan negara dengan kekuatan senjata terhadap pemerintahan yang sah. Sejarah seringkali membuktikan bahwa kudeta terjadi di negara yang sedang berkembang yang institusi politiknya sangat lemah. Hal ini disebabkan karena elit-elit nasionalnya terjebak dengan kultur untuk mementingkan dirinya sendiri, mementingkan kelompoknya tanpa mau berempati terhadap penderitaan rakyat. Para pejabat negara terlihat memamerkan kemewahan, sedangkan di saat yang sama masyarakat sedang menderita kelaparan luar biasa. Itu pun masih ditambah dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, padahal rakyat sudah tidak sanggup mempunyai daya beli.
Dalam konteks Indonesia kudeta itu sendiri bisa dibedakan menjadi 2 dimensi. Pertama kudeta yang diartikan dengan pengambilan kekuasaan dari pemerintahan yang sah secara ilegal yang didukung dan dilakukan oleh militer secara seketika, dan inilah yang seringkali terjadi di negara-negara berkembang. Kudeta versi pertama ini dinamakan kudeta jalan cepat. Kedua, kudeta jalan lambat. Kudeta jalan lambat ini tidak bisa dilepaskan dengan konsep dwi fungsi militer. Dalam jalan kedua ini maka militer melakukan pengambilan kekuasaan dengan cara diam-diam (lambat-lambat). Berbagai posisi politik yang dulunya dipegang oleh militer namun karena tuntutan reformasi 1998 diserahkan kepada sipil, bukan tidak mungkin akan direbut kembali oleh militer karena dianggap elit sipil tidak becus mengurus negara. Meskipun konsep dwi fungsi militer telah dihapuskan dalam sistem kenegaraan kita, namun segala kemungkinan bisa saja terjadi. Saat ini pun militer masih bercokol di parlemen, dan bahkan beberapa partai politik besar berisikan mantan tokoh-tokoh militer yang sudah cukup lama terdoktrin dwi fungsi militer.
Ada beberapa hal fundamental yang bisa melatarbelakangi terjadinya kudeta oleh militer (pra kondisi). Pertama, isu KKN dan pelanggaran HAM yang menimpa para perwira militer semakin menguat bergulir di era reformasi. Hal ini tidak mungkin terjadi ketika pemerintahan masih berada dalam genggaman rezim Orde Baru, karena ia sendiri didukung oleh kekuatan militer. Rakyat semakin berani menuntut agar militer yang pernah melakukan dosa-dosa penindasan terhadap rakyat segera diajukan ke mejau hijau. Maka hal inilah yang menyebabkan militer meradang.
Kedua, kegagalan pemerintahan sipil untuk mendapatkan dukungan dari rakyat walaupun ia lahir secara legitimate. Pemerintahan sipil dianggap tidak mampu mengatasi kehancuran perekonomian negara, bahkan malah melindungi konglomerat hitam yang menguras harta negara. Keamanan dan ketertiban yang menjadi idaman setiap orang tidak dinikmati oleh rakyat. Kerusuhan Ambon, Maluku, Aceh, Papua, menjadi contoh yang paling nyata.
Ketiga, institusi militer merasa dirugikan oleh sipil. Posisi-posisi penting dan strategis yang dahulu dikuasai oleh militer sekarang secara terpaksa harus diserahkan kepada sipil. Rakyat menghendaki agar militer kembali ke barak untuk lebih berkonsentrasi dalam menjaga pertahanan negara yang memang rapuh. Pengalaman jaman Orde Baru, rakyat merasa dikekang kebebasannya dalam berkreasi, beraspirasi, dan beroposisi karena menghadapi tindak represif aparat militer. Aparat militer sudah bukan menjadi alat negara yang melindungi rakyat namun berubah menjadi alat penguasa untuk melibas rakyatnya sendiri.
Keempat, keengganan militer untuk melepaskan konsep dwi fungsinya. Militer tidak mau sekedar menjadi katalisator dan stabilisator oleh pemerintahan sipil, namun ingin tetap mempertahakan status quonya sebagai dinamisator dan modernisator. Kekuasaan kursi politik, jabatan-jabatan strategis, dan lain-lain menjadi incaran para militer. Sejak jaman mantan presiden Soeharto, militer mendapatkan kekuasaan politik luar biasa, jabatan di parlemen, kabinet, gubernur, bupati dan walikota, hingga di tingkat-tingkat yang lebih kecil, seperti Babinsa.
Kelima, kerusuhan yang meluas. Berbagai kerusuhan yang terjadi di tanah air, memberikan keabsahan kepada militer untuk terlibat secara lebih besar dalam menanganinya. Di satu sisi militer pun menganggap bahwa pemerintahan sipil tidak mampu mengendalikan anrkisme massa yang semakin meluas. Namun ada satu hal yang patut menjadi kecurigaan, bahwa kerusuhan yang terjadi di masyarakat itu telah diskenario oleh pihak militer sendiri untuk lebih memungkinkan ia masuk kembali ke dunia politik.
Jika kelima pra kondisi itu telah bisa terpenuhi, baik salah satu maupun seluruhnya maka militer mempunyai kesempatan emas untuk menguasai/merebut kekuasaan. Namun pra kondsi seperti yang dikemukakan di atas belum cukup untuk menentukan parameter keberhasilan militer. Ada 4 hal yang harus dibutuhkan oleh militer. Pertama adalah dukungan seluruh rakyat. Karena rakyatlah yang paling merasakan setiap pergantian kekuasaan di negeri ini, maka segala hal harus memperhatikan suara rakyat. Kedua, dukungan internasional, karena tanpa dukungan tersebut maka pemerintahan yang baru akan kesulitan dalam eksistensinya.
Kebutuhan ketiga berupa keloyalan prajurit terhadap instruksi pimpinan kudeta. Jika terjadi pro kontra di kalangan militer maka yang terjadi adalah perang saudara di dalam militer sendiri. Dan seperti pepatah, jika gajah dan gajah saling bertengkar maka semut kecil yang mati terinjak. Artinya rakyat juga yang akhirnya menjadi korban. Dan terakhir, keberanian para militer untuk melakuan manuver terutama perwira yang ikut menjadi bagian dari gerakan kudeta, karena resiko dari kegagalan kudeta adalah hukuman yang sangat berat.
Sekarang jika dikaitkan dengan kondisi yang ada dan juga pengguliran wacana revolusi oleh beberapa gerakan pro demokrasi, maka isu kudeta ini ada keterkaitannya. Revolusi oleh sebagian kalangan diyakini sebagai solusi untuk menuju Idonesia yang lebih demokratis. Dengan adanya jalan revolusi ini maka segala bentuk dan sistem kenegaraan yang tercipta salama ini akan diruntuhkan. Salah satu contoh adalah pemerintah dan kabinetnya akan dijatuhkan. Jika ini terjadi maka kemungkinan negara akan mengalami kevakuman, karena memang jalan yang dipakai ini tidak diatur di dalam konstitusi. Ia adalah cara yang ilegal dan inkonstitusional untuk berusaha menyelamatan negara.
Dalam kondisi seperti ini ada 2 kemungkinan, yaitu terbentuknya dewan presidium atau kemungkinan terjadinya chaos. Pembentukan dewan presidium ini pun juga masih pro dan kontra. Belum ada parameter yang pasti siapa saja dan kriteria seperti apa bagi mereka yang dianggap pantas masuk ke dalam dewan ini. Apalagi jika walaupun kemudian telah terbentuk dewan tersebut, tidak menutup kemungkinan person-person yang ada membawa kepentingannya masing-masing. Andaikata ini yang terjadi maka semakin rusaklah kondisi ketatanegaraan Indonesia. Dan ini membuka peluang besar bagi militer untuk merebut kembali kendali negara.
Jika akhirnya militer yang menduduki posisi-posisi strategis negara maka sejarah Orde Represif Militer akan kembali terulang. Penyeragaman dan indoktrinasi versi penguasa akan menjadi santapan rakyat sehari-hari. Belum lagi budaya kritik oleh masyarakat akan dianggap sebagai tindakan subversif yang hanya pantas diberi imbalan hukuman penjara atau mati. Perundingan perdamaian akan digantikan dengan letusan senjata api, diskusi bersama akan dilawan dengan popor senapan. Reformasi yang pernah digulirkan tahun 1998 hanya menjadi cerita sejarah dalam buku-buku di bangku sekolah.
Ustadz Hasan Al Banna menegaskan dalam Risalah Da’watuna tentang prinsip-prinsip demokrasi yang diinginkan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin tentang militer ini. Hendaknya militer itu menjauhkan diri dari politik dan mengkhususkan diri dalam bidang pertahanan dan keamanan negara dari invasi asing. Hendaknya pemerintah yang berkuasa tidak diperkenankan meminta bantuan militer baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memaksakan kehendaknya dan mengukuhkan kekuasaannya atau untuk memberikan ancaman dengan menghalangi rakyat dari kebebasan-kebebasan mereka secara umum. Ikhwan juga menuntut diaturnya dalam UU untuk mencegah masuknya intervensi militer dalam aktivitas-aktivitas umum dan pemilihan umum.
Tugas kita bersama untuk menjaga kelangsungan negeri ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)