Tambahan Jatah Pangan

Sabtu, 19 Maret 2011

Bulan Maret ini saya tersenyum, bibir mengembang kiri kanan seimbang, hati bersyukur, lisan pun tak lupa bersyukur. Saya sebenarnya belum menyadari ketika awal bulan uang gaji yang saya terima berubah. Pun tidak memperhatikan nominal di tanda terima. Tidak ada pengumuman sebelumnya. Baru tahu tatkala teman-teman bercerita jika gaji yang diterimanya bertambah. Oh ya? Saya cek. Benar juga. Ada tambahan 28.200 rupiah. Itu di slip gaji saya. Saya tidak mengurusi berapa besar yang diterima orang lain.

Kabarnya kenaikan ini adalah untuk jatah tunjangan beras. Saya dapat tunjangan empat. Saya sendiri sebagai pegawai, satu istri, dan dua anak. Anak saya yang ketiga tidak mendapatkan tunjangan beras, padahal ia juga makan nasi, bukan batu. Tapi memang begitulah aturannya. Satu istri sudah, dua anak cukup, keluarga berencana, demikian saran pemerintah.

Bagi saya nominal 28.200 rupiah sudah amat disyukuri. Bila dibagi empat maka masing-masing jiwa mendapatkan 7.050 rupiah per bulan. Untuk beli beras bisa dapat 1 kg. Kecil barangkali bagi orang lain, namun tetap berharga bagi keluarga kami. Kenaikan bahan pokok demikian menggila. Saya tahu persis karena tiap akhir bulan sayalah yang berbelanja kebutuhan rumah tangga. Saya kasih contoh. Minyak goreng yang biasanya berharga 18 ribu rupiah, kini telah mencapai angka 25 ribu rupiah.

Maka tiap bulan kami harus pandai-pandai mengatur keuangan. Penghasilan saya sebagai pegawai negeri sipil menjadi sumber utama pendapatan. Meskipun istri bergelar sarjana dari universitas negeri di Surabaya, ia bukan pekerja kantoran yang bergaji tetap. Jaman sekarang susah mendapatkan lowongan kerja kalau tidak punya koneksi dan fulus banyak. Maka jadilah ia berwiraswasta di rumah, sekalian bisa mengawasi anak-anak yang semuanya masih balita. Siapa tahu malah bisa menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran yang semakin merajalela.

Saya sendiri hanyalah staf biasa golongan tiga yang belum mempunyai jabatan apa pun. Saya kurang berambisi dengan perebutan jabatan eselon beberapa waktu lalu. Geli saya, saat mendengar polah tingkah manusia yang ingin menjadi pejabat. Gegap gempita, tempik sorak, hiruk pikuk, hingar bingar, hura-hura, huru-hara, lintang pukang, centang perenang, desas-desus, syak prasangka, kabar burung menyeruak. !@#$%^&*()_+=<>/... Of the record deh.

Saya sadari saya hanyalah pendatang, meskipun KTP saya sudah tercatat di sini. Biarlah warga asli yang memimpin daerahnya sendiri. Terserahlah primodialisme meraja, toh rakyat yang merasakan. Saya pun bukan anak pejabat aktif, bapak ibu pensiunan sejak belasan tahun lalu, sedang mertua tukang kayu yang sempat jadi veteran perang angkatan 45. Biarlah kota ini dipimpin oleh anak-anaknya orang penting. Saya tak tertarik dengan politik. Biarlah pengurus parpol menempatkan kader-kadernya di segenap penjuru dinas sebagai imbal balas pemilu. Saya ingin berusaha profesional, menjadi pegawai bukan karena imbal jasa atau janji-janji manis politik.  

Gaji saya tak sampai 3 juta. Ya kira-kira 3,8551757 persen dari gaji presiden negeri tercinta ini. Bila gaji beliau Rp 62.497.800 hitung saja sendiri uang yang saya terima tiap bulannya. Cukuplah untuk hidup sederhana dan menyisihkan uang untuk menabung. Di awal bulan selalu saya prioritaskan alokasi untuk zakat. Perlu saya syukuri karena masih banyak pekerja yang membanting tulang memeras keringat namun dibayar di bawah UMR.

Anda pasti tahu Gayus Tambunan. Pegawai kantor pajak yang terkena kasus hukum. Diberitakan kekayaannya bermilyar rupiah. Mustahil kalau itu didapatkan dari gaji tiap bulan belaka. Golongannya satu tingkat di bawah saya. Dia III/a, saya III/b. Istri Gayus juga PNS. Sama dengan saya, istrinya pegawai daerah dan golongannya sama dengan saya. Saya dan Gayus pun sebaya. Kami sama-sama lulus SMA tahun 1997. Ia ikut tes STAN, saya pun juga ikut. Ia memilih jurusan pajak, saya pun juga memilihnya. Namun harapan saya menjadi pegawai pajak kandas, karena saya gagal dalam seleksi. Gayus pun melenggang ke Kampus Bintaro Tangerang, saya pun meluncur ke Kampus Bulaksumur Jogja. Kalau lulus mungkin kami sekelas, hehehe.... Namun itulah roda nasib. Jadilah ia adik kelas Khairiansyah Salman, auditor BPK yang turut mengungkap kasus suap anggota KPU. Sedangkan saya, jadilah adik kelas Denni Indrayana, staf khusus Presiden sekaligus sekretaris Satgas Anti Mafia Pajak.

Jadilah ia di usia kepala tiga menjadi milyuner. Sedangkan saya jutawan saja belum tentu. Jika ia punya rumah kluster di kawasan elit Bintaro, rumah saya RSS bertipe 36 di pinggiran kota. Jika ia punya mobil mewah beberapa biji, kendaraan saya Supra Fit keluaran enam tahun lalu. Jika ia rekreasi hingga ke luar negeri, cukuplah bagi saya sekeluarga piknik ke alun-alun menikmati jajanan pedagang kaki lima.

Meski demikian saya tetap bersyukur bisa menjadi pegawai. Tanpa sogok, tanpa suap, tanpa calo, tanpa pungli, tanpa joki, tanpa jampi-jampi. Meski penghasilan saya tidak sebesar Gayus saya masih tetap bersyukur. Masih banyak orang yang belum bekerja. Mereka juga sarjana seperti saya. Buktinya tiap kali ada rekrutmen CPNS, berbondong-bondong masyarakat berebut. Maka, sekecil apa pun tambahan gaji, bagi kami sudah merupakan anugerah terindah yang pernah kami miliki yang diberikan Allah.

Pandai-pandailah bersyukur, maka akan Kami tambah nikmatmu. Namun jika engkau ingkar, maka sungguh siksa Kami sangat pedih. Demikian Sang Maha Raja Diraja Penguasa Alam Semesta berfirman.
   

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)