Peranan BPD dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik di Desa (Bagian 3)

Kamis, 10 Juni 2010


Jaman otonomi yang merupakan produk dari proses reformasi dan sekaligus momentum tumbangnya rejim Orde Baru, pada dasanya menawarkan skema perubahan penting. Perubahan yang dimaksud adalah mengubah skema sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi) dan mengubah dari pendekatan top down menjadi bottom up. Dalam UU No 22 Tahun 1999 Pasal 1 (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Nampak bahwa aspirasi yang berkembang selama ini, mengarah pada krtitik atas penyeragaman desa, yang pada gilirannya, mematikan institusi lokal, mulai didengar secara relatif, yang diwujudkan dengan pengakuan atas hak asal-usul desa, kendati hal ini masih menimbulkan pertanyaan mengingat institusi yang ditawarkan menjadi wajib untuk diwujudkan di tingkat desa.
M. Ryas Rasid, ketika masih menjabat sebagai Dirjen PUOD, menyampaikan suatu pandangan kritis mengenai UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.[1] Pertama masalah penyeragaman desa-desa. Kedua, proses depowering. Ketiga, pemerintah desa menjadi alat mobilisasi. Keempat, otonomi desa tidak diakui secara tegas. Kelima, menegedepankan kekuasaan. Dengan prespektif ini, dapat dilihat bahwa pencabutan UU No 5 Tahun 1979 dengan UU No 22 Tahun 1999 merupakan bentuk refleksi dan koreksi atas proses yang salah. Dalam perubahan ini yang paling utama adalah: (1) adanya tendensi untuk mengakhiri sentralisasi dan (2) mengembangkan desa menjadi wilayah yang otonom.
Penempatan posisi desa yang otonom, dengan sendirinya memberikan peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung, dan merealisasikan kepentingan masyarakat setempat. Desa dalam hal ini tidak lagi menjadi organisasi kekuasaan terendah, kendati masih terdapat peluang kontrol yang besar dari kabupaten. Hal yang masih menjadi tantangan adalah bagaimana pemerintah pusat membuka ruang politik yang lebih besar sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas kritis rakyat desa.[2]
Berbeda dengan skema di jaman Orde Baru, skema pemerintahan desa di jaman otonomi, lebih ditandai oleh suatu skema yang lebih otonom, di mana desa tidak menjadi bawahan langsung kecamatan. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 1999, pemerintahan desa akan terdiri dari Pemerintah Desa, yakni Kepala Desa dan perangkatnya, dan Badan Perwakilan Desa (BPD) atau nama lain, yang merupakan parlemen di tingkat desa. Adapun hal yang paling penting dari skema perubahan ini adalah terjadinya pemisahan fungsi legislasi dari eksekutif. Pemisahan ini menjadi tegas dengan tidak adanya klausul mengenai posisi Kepala Desa di institusi BPD.[3]
Maka pembentukan BPD (parelemen desa) ini menjadi mempunyai arti penting. Bahwa dengan adanya BPD, berarti mulai diakui perlunya suatu pemisahan antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif, hal mana yang pada masa Orde Baru, kedua fungsi tersebut diasatukan. Selain itu dengan keberadaan BPD berarti tersedia saluran bagi rakyat untuk mengaktualisasikan pikiran, aspirasi, dan kepentingannya untuk dapat diperjuangkan oleh wakil rakyat. Berarti pula suara rakyat mendapatkan tempat. Keberadaan BPD dengan demikian mernjadi instrumen positif untuk mendorong demokrasi.[4]
Adanya mekanisme kontrol melalui sebuah lembaga perwakilan, tidak semata dengan terwujudnya lembaga BPD. Melainkan sangat ditentukan pula dari proses pembentukannya serta bagaimana kapasista kerja dari anggota BPD tersebut sesudahnya. Kesadaran politik masyarakat terutama dalam hal peran serta, menentukan kebijakan yang akan diambil, sangat dibutuhkan.
Selain fungsi kontrol, BPD juga berfungsi sebagai badan legislatif, membuat serta menetapkan segala bentuk peraturan di tingkat desa. Fungsi lain dari lembaga perwakilan adalah sebagai wadah untuk menampung aspirasi rakyat pemilih.
Untuk itu kemudian BPD bertugas utama:
1. Membuat peraturan desa bersama pemerintah desa serta menetapkannya.
2. Menerima pertanggungjawaban pemerintah desa terhadap pelaksanaan peraturan desa yang telah ditetapkan.
3. Memilih, mengangkat, serta menetapkan Kepala Desa melalui mekanisme pemilihan langsung.[5]
Sedangkan kewenangan BPD meliputi:
1. Meminta pertanggungjawaban pemerintahan desa sebelum waktunya.
2. Menolak pertanggungjawaban pemerintah desa.
3. Memberhentikan Kepala Desa atas kehendak masyarakat desa.
4. Menolak segala campur tangan lembaga supra desa (eksternal)[6]
Jika membayangkan tata pemerintahan di mana BPD berada di dalamnya, sebenarnya sudah terdefinisi dengan lebih jelas. BPD akan berfungsi sebagai sebuah lembaga yang mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa, kemudian akan dilaksanakan sepenuhnya oleh Kepala Desa sebagai eksekutif, melalui sebuah mekanisme kontrol dari BPD, hingga pada penerimaan laporan pertanggungjawaban pelaksana kepada BPD. Dengan demikian kelembagaan BPD akan mengatur soal-soal:
1. Mekanisme penampungan serta penggalian aspirasi rakyat pemilihnya.
2. Mekanisme pembuatan peraturan agar aspirasi yang diterima tadi dapat direalisasikan.
3. Mekanisme melakukan kontrol agar pelaksanaan dari aspirasi tersebut dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
4. Mekanisme penerimaan pertanggungjawaban dari hasil-hasil yang telah dilaksanakan.
Selain tugas rutin tersebut di atas, BPD juga akan mengatur soal pemilihan Kepala Desa baru untuk menggantikan Kepala Desa lama yang telah memasuki akhir masa jabatannya, dan atau yang telah diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya karena suatu hal. Pengaturan lainnya adalah soal pemberhentian Kepala Desa dari jabatannya, baik karena telah berakhir masa jabatannya, atau pun karena suatu hal.
Secara umum, segala urusan yang menyangkut soal desa tidak lepas dari perhatian BPD, dan seterusnya akan diwujudkan dalam bentuk peraturan-peraturan desa. Dengan demikian, kapasitas kelembagaan BPD diharapkan dapat menguasai segala hal terkait dengan pengembangan desa, yang secara umum dapat dibagi dalam badan-badan kepengurusan sendiri, seperti urusan pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan rakyat, dan angaran/keuangan desa.
Sebagai prinsip dasar yang perlu diperhatikan , bahwa lembaga perwakilan tersebut adalah milik rakyat, maka rakyatlah yang akan menentukan urusan-urusan apa saja yang sebaiknya diatur dalam kerja-kerja BPD.
Ada sebagian masyarakat yang mempersoalkan hubungan antara BPD dan pemerintah desa yang disebutkan sebagai mitra, namun di sisi lain Kepala Desa akan bertanggunjawab kepada BPD. Baik atau tidaknya Kepala Desa, yang telah diwakili dalam laporan pertanggungjawaban, akan sangat tergantung dari penilaian BPD. Yang dengan demikian, posisi Kepala Desa juga akan ditentukan sampai sejauh mana pertanggungjawaban Kepala Desa dapat diterima dengan baik oleh BPD. BPD akan memiliki kewenangan menjatuhkan Kepala Desa, sementara Kepala Desa tidak dapat membubarkan BPD.
Hubungan mitra antara BPD dan pemerintah desa lebih sesuai dalam hal pembuatan peraturan desa. Tentunya antara pembuat dan pelaksana harus didapati kesepakatan, karena bagaimana pun sebuah peraturan tidak hanya hitam di atas putih, melainkan harus direalisasikan dalam pelaksanaannya. Ketika Kepala Desa merasa tidak mampu menjalankan dan merasaa belum menyetujui peraturan desa yang telah ditetapkan oleh BPD, misalnya, maka BPD memiliki tanggubng jawab untuk memikirkan proses selanjutnya.
Persoalan yang paling sering muncul di setiap desa, karena memang menjadi substansi dari keberadaan BPD itu sendiri adalah persoalan perwakilan. Pentingnya asal perwakilan dari masing-masing anggota BPD, sebenarnya ingin dikaitkan pada jaminan bahwa keputusan atau pun peraturan yang akan dibuat oleh BPD tidak menyimpang dari aspirasi masyarakat. Prinsip dasar dari sistem perwakilan ini adalah:
1. Anggota BPD bukanlah jabatan fungsional, melainkan jabatan politis, oleh karena itu persyaratan paling utama sebagai anggota BPD adalah benar-benar dipercaya oleh pemiliknya.
2. Anggota BPD harus jelas mewakili kepentingan siapa. Prinsip ini dapat dijadikan sebagai pegangan agar dalam pelaksanaan teknisnya memiliki arahan yang kelas.[7]
Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik maka perlu dibangun adanya partisipasi yang menyeluruh dan saling menguatkan antara BPD dan pemerintah desa.
Pentingnya mewujudkan tata pemerintahan yang baik adalah karena selama masa Orde Baru di tingkat desa hanya dikembangkan pemerintah yang baik (Good Government) saja dan belum menyertakan partisipasi masyarakat sehingga transparasi kepada masyarakat belum ada.
Dalam hal ini perlu dijelaskan perbedaan antara makna pemerintah (government) dan tata pemerintahan (governance). Kalau pemerintah (government) lebih berkaitan dengan lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan mengemban fungsi mengelola administrasi pemerintahan. Di tingkat desa konsep pemerintah (government) merujuk pada Kepala Desa beserta perangkat desa.
Kalau tata pemerintahan (governance) lebih menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik-baiknya antara elemen yang ada. Di tingkat desa konsep tata pemerintahan merujuk pada pola hubungan antara pemerintah desa, kelembagaan politik, dan lembaga lain yang ada di desa seperti lembaga ekonomi dan lembaga sosial dalam upaya menciptakan kesepakatan bersama menyangkut proses pemerintahan. Hubungan yang diidealkan adalah sebuah hubungan yang seimbang dan proporsional.
Selain itu pentingnya menegakkan tata pemerintahan yang baik (good governance) adalah karena pada waktu ini tengah dilaksanakan otonomi daerah di mana desa dijadikan titik penting dalam otonomi daerah. Otonomi daerah tanpa adanya penciptaan tata pemerintahan yang baik akan menyebabkan pemerintah desa terlalu otonom (karena dengan UU yang baru pemerintah desa tidak bertanggung jawab kepada Camat dan Bupati). Jika tidak dikembangkan pola hubungan yang baik dari semua kelembagaan desa, maka pemerintah desa akan tidak ada yang mengontrol. Dengan adanya penerapan tata pemerintahan yang baik diharapkan pemerintah desa yang sudah otonom dari pemerintahan di atasnya, tidak terlalu bebas dalam berhubungan dengan masyarakat serta masyarakat memiliki tempat untuk ikut serta terlibat dan mengawasi jalannya pengelolaan pemerintahan desa.
Ciri dari tata pemerintahan yang baik adalah:
1. Mengikutsertakan semua.
2. Transparan.
3. Efektif dan adil.
4. Menjamin adanya supremasi hukum.
5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsesus masyarakat.
6. Memperhatikan kepentingan masyarakat yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keptusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.[8]
Untuk itulah peran BPD sebagai lembaga yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa sangat dibutuhkan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik di desa, karena BPD bagian dari unsur di dalamnya.
Kesimpulan
Dari paparan sebagai mana tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Keberadaan Lembaga BPD sebagai lemmbaga perwakilan rakyat yang terpisah dari lembaga eksekutif (pemerintah desa) memungkinkan perannya sebagai pengontrol atas pelaksanaan kebijakan desa dapat berjalan dengan efektif.
2. Berkaitan dengan prinsip tata pemerintahan yang baik maka semua orang mempunyai suara dan terlibat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun malalui Lembaga Perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Di sinilah peran BPD sangat diperlukan sebagai penampung dan penyalur aspirasi warga masyarakat.


[1] Chistina, Anita, dkk, Jaman Daulat Rakyat Dari Otonomi Daerah Ke Demokratisasi, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal 220
[2] Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara Kajian Kritis atas Kebijakan Otonomi Daerah, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal 100-101
[3] Christina, op.cit., hal 221
[4] Prof. Dr. Suhartono, dkk., op.cit., hal 156-157
[5] Team Work Lapera, Politik Pemberdayaan Jalan Menuju Otonomi Desa, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal 103
[6] Ibid, hal 104
[7] Ibid, hal 110
[8] Joko Purnomo, dkk, op.cit., hal 25

2 komentar:

hersy mengatakan...

kajian peran BPD terhadap sikap demokrasi warga masyarakat bagaimana Pa?

wurianto saksomo mengatakan...

iya kapan2 dibikin kajiannya.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)