Tanggal 6 Juni 2010 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS ditetapkan, sejak saat itu pula peraturan ini berlaku. Mau tidak mau peraturan yang menggantikan PP Nomor 30 Tahun 1980 ini harus dilaksanakan meskipun petunjuk pelaksanaan sesuai yang diamanatkan belum dibuat. Ketentuan pelaksanaan ini seharusnya dibuat oleh Kepala BKN. Ditunggu hingga 4 bulan ini ternyata belum terbit.
Ada catatan singkat tentang isi PP ini. Saya mencatatnya terutama yang ada kaitannya dengan lingkungan pemerintah kabupaten karena saya bekerja di situ. Untuk urusan propinsi atau pusat, maaf saja belum ada niat untuk mengkajinya.
Pertama, dalam hal jenis hukuman pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah. Seolah-olah PNS yang terkena hukuman ini dihukum 2 kali. Pertama ia diturunkan jabatannya, kemudian ia dipindahkan. Kenapa tidak dijadikan 1 saja, yakni diturunkan jabatannya.
Kedua, ketentuan dalam hal pelanggaran yang berdampak negatif terhadap unit kerja, instansi, dan pemerintah/negara. Hal ini masih multitafsir. Pertama, apa ukuran dampak negatif itu. Kedua, tidak dijelaskan pengertian antara unit kerja dan instansi. Di lingkup pemerintah kabupaten misalnya, ada sekolah, UPT, puskesmas, kantor, bagian, sekretariat, bidang, seksi, dinas. Mana yang termasuk unit kerja, mana yang termasuk instansi.
Ketiga, terjadi irisan kewenangan di antara pejabat yang berwenang menghukum. Hal ini bisa menjadi sengketa di kemudian hari. Saya beri satu contoh. Bupati berwenang menjatuhkan hukuman penundaan kenaikan pangkat terhadap pejabat eselon III ke bawah (berarti termasuk eselon IV). Sedangkan pejabat eselon II juga mempunyai kewenangan yang sama dalam menjatuhkan hukuman penundaan kenaikan pangkat terhadap pejabat eselon IV di lingkungannya. Kenapa tidak dipilih salah satu saja pejabat yang berwenangnya.
Keempat, atasan langsung berwenang menghukum. Kewenangan ini tidak karena mendapat delegasi atau pelimpahan, namun melekat pada jabatan. Pada eselon tertentu hukuman bisa sampai tingkat sedang. Ketidakpahaman dari para pejabat bisa menyebabkan bervariasinya jenis hukuman pada satu perbuatan yang dilakukan beberapa PNS yang berbeda tempat kerja.
Kelima, atasan langsung harus memeriksa bawahan yang terindikasi melakukan pelanggaran. Pemeriksaan tersebut dituangkan dalam bentuk berita acara. Mayoritas pejabat eselon tidak dibekali dengan ilmu pemeriksaan, pembuatan BAP, teknik interogasi, dan sebagainya. Belum lagi konsentrasi dari pejabat eselon dalam menjalankan tupoksinya. Sebagai gambaran saja, seorang Kepala Dinas PU misalnya yang sudah tidak muda lagi, berlatar belakang pendidikan Teknik Sipil harus melakukan pemeriksaan layaknya inspektur. Bisa tambah pusing dia.
Keenam, adanya tim pemeriksa yang beranggotakan atasan langsung, unsur kepegawaian, dan unsur pemeriksa. Adanya tim ini mereduksi peran Inspektorat sekaligus menambah pekerjaan BKD.
Ketujuh, adanya kewenangan atasan langsung untuk membebaskan sementara dari jabatan kepada bawahannya selama proses pemeriksaan bertentangan dengan peraturan tentang pengangkatan dalam jabatan. Prinsipnya siapa yang mengangkat dalam jabatan maka ia yang berwenang memberhentikan.
Kedelapan, kewenangan pejabat untuk memberhentikan PNS tidak sinkron dengan PP Nomor 9 Tahun 2003 (atau mungkin sudah dicabut, namun PP Nomor 53 Tahun 2010 tidak mencabutnya). Misalnya Bupati berwenang memberhentikan PNS Golongan IV/a (PP 53/2010), namun dalam PP Nomor 9 Tahun 2003 yang berwenang memberhentikan PNS golongan IV/a adalah Gubernur.
Kesembilan, aturan tentang izin perkawinan/perceraian tidak masuk dalam materi PP. Padahal pelanggaran terhadap izin perkawinan/perceraian diancam dengan PP Nomor 30 Tahun 1980, sedangkan PP ini telah dicabut.
Kesepuluh, ketentuan pelaksanaan dari Kepala BKN terlalu lama dibuat, padahal PNS berdisiplin tidak perlu menunggu petunjuk dari BKN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya