Kekerasan yang Terulang

Minggu, 28 Desember 2025

Di antara kisah sejarah dunia, ada momen-momen yang berfungsi sebagai pengingat. Dari Jembatan Edmund Pettus di Alabama pada Maret 1965 hingga kolong jembatan layang Pejompongan di Jakarta pada Agustus 2025, misalnya. Keduanya berjarak waktu puluhan tahun dan lokasi ribuan kilometer. Esensi lukanya sama. Pertarungan warga sipil berhadapan dengan aparat keamanan negara.


Kita akan berjalan menyusuri kisah Minggu Berdarah (Bloody Sunday) di Kota Selma, seperti dikisahkan dalam sejarah dan divisualisasikan oleh film Selma, lalu menariknya ke dalam gejolak Demo Agustus 2025 di Indonesia. Sebuah peristiwa yang dipicu oleh isu kesejahteraan rakyat dan berakhir tragis.


Pada 7 Maret 1965, kota kecil Selma, Alabama, menjadi titik perjuangan hak sipil di Amerika Serikat. Warga Afro-Amerika yang dipimpin oleh tokoh seperti Dr. Martin Luther King Jr. dan John Lewis menuntut hak dasar yang dirampas, yaitu hak untuk memilih. Mereka memutuskan untuk aksi damai dengan berjalan kaki dari Selma menuju Montgomery.


Film Selma, garapan sutradara Ava DuVernay, dengan detail sinematik yang kuat, menunjukkan betapa heroiknya aksi ini. Luther King sadar, kekerasan aparat adalah senjata moral yang efektif. Barisan rapi yang terdiri dari ratusan pengunjuk rasa, yang tidak membawa apa-apa selain harapan, berhenti di ujung Jembatan Edmund Pettus.

Para Penjaga Kehormatan

Sabtu, 27 Desember 2025

Siapa yang tidak terpesona oleh pesona Samurai? Sosok ksatria berbaju zirah, dengan rambut terikat rapi, dan sebilah katana yang dihunus dengan mematikan, adalah ikon utama sejarah Jepang. Citra ini diabadikan dengan indah dalam film seperti The Last Samurai (2003), di mana Kapten Nathan Algren (Tom Cruise) dari Amerika terseret ke dalam konflik antara modernisasi Kaisar Meiji dengan tradisi Samurai yang dipimpin oleh Katsumoto.


Film ini menggambarkan epilog yang dramatis. Pertempuran terakhir antara semangat ksatria yang didasari kode etik Bushido (Jalan Ksatria) melawan senapan dan artileri modern. Meskipun akhir cerita Samurai di film itu menyedihkan, ia meninggalkan warisan abadi tentang kesetiaan, kehormatan, dan pengorbanan.


Untuk memahami Samurai, kita harus kembali ke sejarah panjang Jepang. Mengutip referensi National Geographic, evolusi Samurai tidaklah instan, melainkan sebuah proses yang membentang dari abad ke-12 hingga abad ke-19.


Awalnya, di Periode Kamakura (1185-1333), Samurai lebih dikenal sebagai pemanah berkuda (Yumitori). Mereka adalah prajurit yang direkrut oleh klan bangsawan dan berfungsi sebagai pengawal dan penegak hukum di provinsi-provinsi jauh dari Kyoto. Mereka adalah kekuatan militer yang membantu menstabilkan wilayah, dan dari sinilah hierarki Shogun (Panglima Tertinggi) muncul, yang secara efektif memerintah Jepang di balik tahta Kaisar.

Mengapa Ada Pertarungan?

Jumat, 26 Desember 2025

 “My name is Maximus Decimus Meridius, Commander of the Armies of the North, General of the Felix Legions.”


Begitulah kalimat ikonik yang dilontarkan oleh Maximus (diperankan Russell Crowe) dalam film epik Gladiator (2000). Kisah jenderal gagah yang dikhianati dan dipaksa menjadi budak petarung di arena Romawi ini bukan sekadar fiksi. Ia mewakili gambaran paling dramatis tentang kehidupan seorang gladiator. Mereka adalah para ksatria yang dipaksa bertarung hingga mati demi kepuasan kaisar dan sorakan massa.


Film ini menancapkan citra betapa megah sekaligus brutalnya tontonan gladiator di Colosseum. Suatu arena kematian yang bisa menampung 50.000 penonton. Bagi kita di abad ke-21, pertarungan gladiator terlihat sangat biadab. Namun, di zaman Romawi Kuno, inilah hiburan paling populer, sebuah cerminan kekuatan dan kekayaan kekaisaran, yang pada akhirnya perlahan-lahan runtuh.


Gladiator berasal dari tradisi Etruria kuno. Awalnya sebagai bagian dari ritual pemakaman, di mana pertumpahan darah dipercaya dapat menghormati arwah bangsawan yang meninggal. Namun, seiring waktu, fungsi ini bergeser sepenuhnya menjadi tontonan publik yang disponsori oleh para elit politik. Tujuannya sederhana, yaitu menerapkan prinsip panem et circenses (roti dan sirkus). Memberi makan rakyat miskin (panem) dan memuaskan mereka dengan hiburan spektakuler (circenses) agar teralihkan dari masalah politik atau ekonomi yang melanda kekaisaran.


Para gladiator sendiri datang dari berbagai latar belakang. Ada budak, tawanan perang, atau kriminal yang dihukum mati. Mereka dilatih di sekolah khusus dengan disiplin keras sehingga menjadi aset berharga bagi pemiliknya. Ada berbagai kelas gladiator dengan senjata khas, seperti Retiarius dengan jaring dan trisula atau Murmillo dengan helm berbentuk ikan. Meskipun status sosial mereka rendah dan nyawa mereka sering di ujung pedang, para gladiator yang sukses bisa menjadi superstar.

Jimat: Antara Baju Perang, Senjata Bambu, dan Meja Diplomasi

Kamis, 25 Desember 2025

Di negeri kita, kisah tentang jimat—benda bertuah yang dipercaya memiliki kekuatan gaib—bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah sepotong mozaik sejarah, perpaduan antara spiritualitas, harapan, dan siasat bertahan hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Dari medan perang yang berlumur darah hingga meja perundingan yang penuh intrik, jimat hadir sebagai simbol, penguat mental, bahkan—dalam beberapa kasus—sebagai ujian filosofis. 


Ketika Indonesia merdeka pada 1945, perjuangan tak berhenti. Peluru Belanda berseliweran, sementara senjata di tangan para pejuang seringkali hanya berupa bambu runcing. Dalam kondisi serba terbatas ini, harapan tak jarang disandarkan pada hal-hal yang melampaui logika. Mayoritas masyarakat grass-root yang ikut berjuang kala itu sangat percaya pada hal-hal mistik.


Letnan Jenderal (Purn.) Soegih Arto, dalam otobiografinya, mengakui fenomena ini. Banyak pemuda pejuang di masa revolusi yang getol mencari jimat—benda bertuah yang diikatkan di leher, kepala, atau dijadikan sabuk—dengan harapan dapat menjadi kebal dari tembakan peluru atau sabetan bayonet. Mereka berusaha bertahan dengan cara apa pun, termasuk cara yang berbau klenik, dan Soegih Arto menilai, “Dapatkah mereka dipersalahkan? Saya rasa tidak. Mereka berjuang dengan kemampuan dan keyakinan mereka sendiri”.


Pusat “amunisi” spiritual terkenal pada masa itu salah satunya adalah Kyai Haji Subkhi dari Parakan, Temanggung, yang masyhur dengan julukan Kyai Bambu Runcing. Kyai kharismatik ini, yang usianya sudah lebih dari 80 tahun saat revolusi, menjadi tumpuan harapan. Ia tidak hanya mengajar agama, tetapi juga memperkuat mental para pejuang dengan cara yang unik.

Skandal di Pusaran Kekuasaan

Rabu, 24 Desember 2025

Skandal perselingkuhan, terutama yang melibatkan pejabat publik, adalah item berita yang tak pernah basi. Ia memiliki daya pikat yang kuat. Ia perpaduan antara kekuasaan, moralitas yang dipertanyakan, dan kisah cinta terlarang yang selalu menarik untuk dikupas. Di balik citra formal, jas rapi, dan jabatan tinggi, tersembunyi drama-drama pribadi. Entah itu terjadi di istana Mataram kuno, di markas Nazi Jerman, atau di gedung pemerintahan modern Indonesia.


Skandal ini bukan sekadar urusan ranjang. Melainkan cerminan dari kompleksitas kekuasaan, yang seringkali menjadi pemicu utama timbulnya rasa. Rasa bahwa status tinggi membebaskan seseorang dari aturan moral biasa.


Jika kita mundur jauh ke belakang, skandal perselingkuhan di lingkungan pejabat atau bangsawan bukanlah hal baru. Di Kesultanan Mataram, kisah-kisah asmara terlarang seringkali berujung tragis, bahkan memicu konflik internal. Salah satu kisah yang paling menggemparkan adalah yang melibatkan Putra Mahkota Mataram, yaitu Pangeran Adipati Anom (kelak menjadi Amangkurat II) di masa pemerintahan ayahnya (Amangkurat I), sekitar tahun 1671. Ia dikenal sebagai sosok yang sering tergila-gila pada wanita.


Suatu malam yang berdarah, terjadi insiden yang menimpa Raden Dobras, salah satu kerabat keraton. Konon, Raden Dobras dibunuh dan mayatnya ditemukan di sumur. Dalam persidangan yang digelar, Pangeran Adipati Anom menuduh adiknya, Pangeran Singasari, sebagai pembunuh. Pangeran Singasari membantah. Ia mengaku hanya membunuh seorang pencuri yang masuk rumahnya tanpa mengenal pencuri tersebut.

Ketika Nalar “Di-Reset” Paksa

Selasa, 23 Desember 2025

Sebuah ironi pahit terjadi di Desa Gunungsari, Kabupaten Madiun, pada 20 Desember 2025. Sebuah diskusi dan bedah buku berjudul “#Reset Indonesia” dibubarkan oleh aparat. Kejadian ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan cermin retak demokrasi kita yang seolah sedang berjalan mundur, menjauh dari cita-cita literasi dan kebebasan berpendapat. 


Bayangkan, di sebuah tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh bagi gagasan, sekelompok orang berkumpul bukan untuk merencanakan makar atau menikmati musik ala sound horeg, melainkan untuk mengupas isi buku. Namun, kehadiran mereka justru disambut oleh barisan aparat yang meminta acara dihentikan. Alasannya klasik, tidak ada izin. Padahal, jika kita menilik lebih dalam, tindakan ini bukan hanya mencederai semangat literasi, tapi juga menabrak norma hukum.


Melihat pembubaran diskusi buku di Madiun membawa ingatan kita pada era kelam di mana buku dianggap lebih berbahaya daripada senjata. Indonesia punya sejarah panjang tentang fobia terhadap kertas dan tinta.


Dahulu, para pendiri bangsa kita adalah para kutu buku. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir merupakan sosok yang hidup di antara tumpukan literatur. Bagi mereka, buku sebagai jendela untuk merancang Indonesia yang merdeka. Namun, ironinya, setelah merdeka, ketakutan terhadap pikiran yang berbeda justru sering muncul. Kita ingat bagaimana karya Pramoedya Ananta Toer, “Bumi Manusia”, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung di era Orde Baru dengan tuduhan menyebarkan paham terlarang. Lucunya, di balik pelarangan resmi itu, dikabarkan istri Presiden Soeharto (Ibu Tien) sendiri mengagumi karya tersebut.

Keadilan yang Tercecer

Di sudut-sudut sejarah hukum Indonesia, ada cerita yang selalu membuat kita menahan napas dan merenung. Kisah Sengkon dan Karta. Dua petani sederhana asal Bekasi, yang pada tahun 1970-an harus merasakan dinginnya lantai penjara karena dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan. Kisah mereka bukan hanya tentang salah tangkap, tetapi tentang kelemahan fundamental sistem hukum yang kadang tergesa-gesa, abai, dan rentan salah dalam menempatkan kebenaran.


Kisah pilu ini bermula pada tahun 1974, ketika sebuah perampokan disertai pembunuhan terjadi di Desa Gabus, Bekasi. Kepolisian segera bertindak. Dan, entah berdasarkan petunjuk apa, menetapkan Sengkon dan Karta sebagai tersangka utama. Kedua petani ini, dengan segala keterbatasan pendidikan dan daya tawar, segera diproses.


Apa yang terjadi selanjutnya adalah proses hukum yang penuh dengan kejanggalan. Sengkon dan Karta disiksa selama interogasi agar mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Di bawah tekanan dan ancaman, Karta akhirnya membuat pengakuan palsu. Pengakuan ini, yang seharusnya diperlakukan skeptis oleh hakim, justru menjadi dasar kuat bagi jaksa untuk menuntut.


Dalam persidangan, meskipun Karta mencabut pengakuannya dan bersikeras bahwa ia dan Sengkon tidak bersalah, pengadilan tidak bergeming. Pengadilan Negeri Bekasi menjatuhkan vonis berat. Sengkon dihukum 7 tahun sedangkan Karta 12 tahun penjara. Alasannya klise namun mengerikan. Keyakinan hakim lebih didasarkan pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang diperoleh di bawah tekanan daripada fakta dan alibi yang disampaikan dalam persidangan.

Hati Ibu yang Tak Terbatas

Senin, 22 Desember 2025

“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu...”

Petikan lirik lagu “Ibu” karya Iwan Fals di atas selalu berhasil menyentuh relung hati terdalam siapa pun yang mendengarnya. Suara parau Iwan Fals seolah mewakili deru napas seorang ibu yang tak pernah lelah berjalan demi masa depan buah hatinya. Lagu ini bukan sekadar melodi, melainkan sebuah potret tentang pengorbanan. Di sana, kita melihat sosok yang rela menjadi pijakan agar anaknya bisa memetik bintang. Hati seorang ibu ibarat sebuah semesta yang luas. Ia menyimpan duka dengan rapi dan membagikan bahagia dengan cuma-cuma.

Namun, di Indonesia, makna “Ibu” memiliki dimensi yang jauh lebih besar daripada sekadar urusan domestik atau kasih sayang di meja makan. Jika kita menilik sejarah, Hari Ibu yang kita rayakan setiap tanggal 22 Desember memiliki akar perjuangan yang sangat kuat. Banyak yang mengira Hari Ibu di Indonesia sama dengan Mother’s Day di Barat. Padahal, sejarah mencatat bahwa Hari Ibu lahir dari semangat emansipasi dan politik. 

Pada 22-25 Desember 1928, untuk pertama kalinya digelar Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Kala itu, para ibu dari berbagai organisasi berkumpul bukan untuk membahas resep masakan atau arisan rutin bulanan, melainkan untuk membicarakan nasib bangsa, pendidikan bagi perempuan, dan hak-hak dalam perkawinan. Mereka sadar bahwa ibu adalah fondasi peradaban. Jika ibunya cerdas dan berdaya, maka bangsa ini akan merdeka dengan kepala tegak. Itulah mengapa perayaan Hari Ibu di Indonesia sebenarnya perayaan atas kekuatan intelektual dan semangat juang perempuan.

Semangat dari tahun 1928 itu tidak pernah padam. Ia terus mengalir dalam nadi perempuan-perempuan hebat masa kini yang membawa perubahan nyata bagi masyarakat.

Kisah Pilu Sang Air Bah

Minggu, 21 Desember 2025

Pulau Sumatera. Mendengar namanya saja, yang terbayang adalah hamparan hijau tak bertepi, gunung-gunung perkasa, dan lautan yang menyimpan sejuta pesona. Ia adalah permata Indonesia. Namun, di balik pesona itu, Sumatera menyimpan kisah duka yang rutin berulang, sebuah pertunjukan kolosal antara manusia dan kekuatan alam yang dinamakan banjir. Khususnya, banjir bandang atau yang akrab disebut galodo di Ranah Minang. Bukan hanya isapan jempol, tapi warisan bencana yang sudah tercatat sejak zaman baheula.


Coba kita tengok ke satu lokasi ikonik: Lembah Anai, Sumatera Barat. Saya belum berkesempatan berkunjung ke sana, tapi kita bisa melihat keindahannya di platform media sosial. Kawasan cagar alam yang dilalui jalan raya utama Padang-Bukittinggi ini terkenal dengan air terjunnya yang memesona. Ia seperti bingkai lukisan alam yang indah, namun sayangnya, bingkai ini menyimpan memori air bah yang mengerikan.


Anda mungkin mengira bencana alam hebat yang memutus jalur transportasi dan menghanyutkan apa saja di Lembah Anai baru terjadi belakangan ini. Eits, jangan salah! Merujuk pada catatan sejarah, Lembah Anai sudah jadi langganan amukan sungai sejak era kolonial Belanda. Bayangkan, jauh sebelum kita lahir, pada tahun 1892 dan kembali lagi di 1904, Lembah Anai sudah pernah dilanda banjir besar.


Dulu, Lembah Anai adalah jalur urat nadi modernisasi. Jalan raya dan jalur kereta api, yang dibangun dengan susah payah oleh pemerintah Kolonial, melewati ngarai yang eksotis ini. Tapi, apa yang terjadi? Air bah yang datang dari luapan Sungai Anai dan Singgalang, diperparah oleh hujan deras, menghancurkan segalanya.

Jerat Hukum

Sabtu, 20 Desember 2025

Kita hidup di zaman yang serba ironis. Di satu sisi, semua orang bicara tentang investasi, pertumbuhan ekonomi, dan birokrasi yang ramping. Di sisi lain, para pengambil keputusan, mulai dari pejabat daerah hingga direktur BUMN, merasa seolah-olah sedang berjalan di ladang ranjau. Salah ambil keputusan, ujungnya bukan untung, melainkan borgol.


Inilah inti dari perbincangan menarik antara Profesor Rhenald Kasali dengan Alex Marwata, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga seorang mantan Hakim. Acara siniar Rhenald Kasali di kanal YouTube pada 14 Desember 2025 ini menyimpulkan satu hal, yaitu Indonesia sedang menghadapi darurat penegakan hukum, di mana nalar bisnis dan administrasi sering kali keliru diterjemahkan menjadi pasal pidana korupsi.


Masalah utama ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Intinya, pasal-pasal ini menjerat siapa pun yang melakukan perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang kemudian dianggap merugikan negara.


Dalam setiap urusan bisnis—apalagi pengadaan barang dan jasa—adalah hal yang mutlak bahwa kedua belah pihak harus untung. Inilah yang disebut prinsip win-win. Kalau perusahaan swasta (vendor) menyediakan barang atau jasa untuk pemerintah, mustahil mereka tidak mengambil untung. Jika vendor untung 10% dan itu wajar dalam standar bisnis, apakah keuntungan tersebut otomatis berarti negara dirugikan?

Ayah: Cinta Pertama Anak

Jumat, 19 Desember 2025

Ada sebuah melodi yang jika terdengar di sore hari yang mendung, seketika mampu menarik paksa ingatan kita pada sosok pria dengan garis wajah yang tegas namun menyimpan kelelahan. Ialah lagu “Titip Rindu Buat Ayah” karya musisi Ebiet G. Ade. Melalui liriknya, Ebiet memotret ayah bukan sebagai pahlawan super yang tak terkalahkan, melainkan sebagai manusia biasa yang “keringatnya mengucur deras dan napasnya kadang tersengal” demi memikul beban keluarga.


Lagu itu sebuah pengakuan jujur tentang cinta yang sering kali tidak tersampaikan lewat kata-kata. Ayah, dalam tradisi kita, sering kali menjadi sosok yang paling sedikit bicaranya namun paling banyak pengorbanannya. Lirik “di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa” seolah menjadi pengingat bahwa di balik ketenangan seorang ayah, ada badai yang ia redam sendiri agar anak-anaknya tetap bisa tidur nyenyak. Cinta ayah adalah cinta yang sunyi, yang tidak menuntut balasan, dan sering kali baru kita pahami maknanya justru saat kita sendiri telah beranjak dewasa.


Jika lagu Ebiet memberikan kita ruang untuk merenung, film “The Pursuit of Happyness” memberikan kita visualisasi yang nyata tentang sejauh mana seorang ayah sanggup berkorban. Film yang diangkat dari kisah nyata Chris Gardner ini adalah monumen bagi ketulusan cinta seorang ayah.


Berlatar di San Francisco, Amerika Serikat tahun 1981, kita diperkenalkan pada Chris Gardner (diperankan oleh Will Smith), seorang salesman cerdas namun kurang beruntung. Ia menghabiskan seluruh tabungannya untuk membeli stok alat pemindai kepadatan tulang portabel. Masalahnya, alat itu dianggap sebagai barang yang tidak terlalu dibutuhkan oleh para dokter.

Anak-anak yang Mengubah Dunia

Kamis, 18 Desember 2025

Pernahkah Anda membayangkan bahwa seorang remaja yang putus sekolah karena kemiskinan bisa menjadi pahlawan bagi seluruh desanya? Atau seorang gadis kecil yang sedang berlibur di pantai bisa menyelamatkan ratusan nyawa hanya karena ia mengingat pelajaran geografinya? Sering kali, kita terjebak dalam pola pikir bahwa perubahan besar hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa dengan gelar panjang atau kekuasaan politik yang besar. Namun, sejarah membuktikan bahwa keberanian tidak mengenal usia, dan inovasi sering kali lahir dari seorang anak.


Kisah tentang William Kamkwamba, yang diabadikan dalam film berjudul “The Boy Who Harnessed the Wind”, adalah pengingat yang sangat kuat tentang hal ini. Berlatar di Malawi, sebuah negara di Afrika yang dilanda kekeringan hebat pada awal tahun 2000-an, film ini membawa kita ke dalam realitas yang menyesakkan dada. Kelaparan merajalela, tanah retak-retak, dan harapan seolah menguap bersama air yang hilang dari sumur-sumur desa.


William, yang saat itu masih remaja, terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya tidak mampu membayar biaya pendidikan. Namun, alih-alih menyerah pada nasib, ia menyelinap ke perpustakaan sekolah. Di sana, ia menemukan sebuah buku fisika tua dengan gambar kincir angin di sampulnya. Dengan bahasa Inggris yang terbatas, ia mencoba memahami konsep energi. William memiliki ide gila. Jika ia bisa membangun kincir angin, maka ia bisa memutar pompa air dan menyirami ladang keluarganya.


Meski dianggap aneh dan gila oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan sempat diragukan oleh ayahnya sendiri, William terus mengais barang rongsokan. Ia menggunakan rangka sepeda bekas, kipas traktor tua, dan pipa plastik untuk merakit mimpinya. Ketika kincir angin itu akhirnya berputar dan lampu kecil di atasnya menyala, ia tidak hanya menghasilkan listrik. Ia menghasilkan harapan. Air mulai mengalir ke ladang, dan desa itu selamat dari kelaparan. William membuktikan bahwa sains, jika digabungkan dengan kegigihan, adalah senjata paling ampuh melawan kemiskinan.

Hotel Rwanda dan Ingatan Borneo

Rabu, 17 Desember 2025

Film “Hotel Rwanda” (2004) bukan sekadar tontonan biasa. Film ini ibarat pukulan telak ke ulu hati, sebuah pengingat tentang apa yang terjadi ketika kebencian etnis dibiarkan merajalela. Disutradarai oleh Terry George, film ini menceritakan kisah nyata Paul Rusesabagina (diperankan dengan memukau oleh Don Cheadle), seorang manajer hotel di Kigali, Rwanda, yang mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan lebih dari seribu pengungsi Hutu dan Tutsi selama genosida Rwanda, Afrika pada tahun 1994.


Dengan gaya bahasa yang lugas namun menggugah, film ini membawa kita melihat kengerian genosida dari balik tembok Hotel des Mille Collines. Paul, yang merupakan seorang bersuku Hutu beristri suku Tutsi, menggunakan koneksi dan kecerdikannya untuk menjaga hotelnya beserta para pengungsi di dalamnya agar tetap aman dari milisi Interahamwe yang beringas. Ia bukan seorang pahlawan bersenjata, melainkan orang biasa yang melawan kegilaan dengan akal sehat dan secercah kemanusiaan.


Salah satu aspek paling menyayat dari film ini adalah bagaimana ia menunjukkan rapuhnya perdamaian dan betapa cepatnya masyarakat bisa tergelincir ke dalam jurang kekerasan massal. Perpecahan antara etnis Hutu dan Tutsi, yang pada dasarnya dipicu oleh politik kolonial yang menekankan perbedaan fisik dan kelas, meledak menjadi pembantaian yang merenggut nyawa hampir satu juta orang dalam waktu kurang dari seratus hari. Film ini dengan gamblang menampilkan bagaimana propaganda media (melalui Radio Télévision Libre des Mille Collines) meracuni pikiran, mengubah tetangga menjadi algojo, dan kemanusiaan menjadi barang langka.


Namun, di tengah kegelapan itu, Paul Rusesabagina bersinar terang. Tindakannya menunjukkan bahwa di saat-saat paling gelap, pilihan untuk berbuat baik selalu ada. Ia mengajarkan kita bahwa keberanian sejati sering kali bukan tentang mengangkat senjata, melainkan tentang memilih untuk melindungi yang lemah, bahkan ketika seluruh dunia memilih untuk berpaling. Ini sebuah kritik pedas terhadap keengganan komunitas internasional untuk campur tangan dalam konflik tersebut.

Keberanian dan Kebebasan Pers

Selasa, 16 Desember 2025

Bila ada dua tokoh yang mewakili spektrum perjuangan jurnalisme Indonesia, mereka adalah Aristides Katoppo dan Herawati Diah. Keduanya adalah arsitek pilar keempat demokrasi, namun dengan gaya dan medan juang yang berbeda. Aristides Katoppo merupakan simbol perlawanan, sementara Herawati Diah adalah cerminan kecerdasan dan ketekunan.


Aristides Katoppo, sang “lawan tanding rezim Orde Baru”, adalah sosok yang membuat tidur penguasa tak nyenyak. Ia wartawan berdarah Bugis-Minahasa yang punya insting tajam dan keberanian luar biasa. Sebagai pemimpin redaksi harian Sinar Harapan, Tides (panggilan akrabnya) menjadikan pers bukan sekadar penyampai berita, tapi juga agen kontrol sosial yang vokal.


Bayangkan, di tengah era Orde Baru yang represif, Tides berani menulis tanpa kompromi. Ketika kekuasaan berusaha membungkam, Tides melawan. Sinar Harapan dibredel pada 1986. Alih-alih menyerah, Tides yang berjiwa petualang memilih jalan lain. Ia menjadi peneliti dan penulis buku. Langkahnya ini seolah berteriak, “Kalian boleh membungkam surat kabarku, tapi kalian tidak bisa membungkam penaku.” Tides mengajarkan bahwa keberanian jurnalis bukan sekadar ketidaktakutan, melainkan kegigihan mencari cara lain untuk menyampaikan kebenaran.


Di sisi lain, berdiri Herawati Diah, seorang jurnalis perempuan yang memancarkan kecerdasan dan pesona. Herawati adalah putri pejuang kemerdekaan dan penerus jejak sang ibu, Siti Alimah, yang merupakan wartawati era 1920-an. Herawati, yang pernah berkuliah di New York dan menjadi wartawan Antara di jaman penjajahan Jepang, adalah pelopor jurnalisme modern Indonesia.

Keadilan dalam Pungutan Negara

Senin, 15 Desember 2025

Perdebatan mengenai keadilan dalam sistem perpajakan merupakan isu universal dan abadi. Di Indonesia, isu ini kembali mengemuka melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni (sebagai kebutuhan pokok) tidak layak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan-Pedesaan (PBB-PP) secara berulang. Fatwa ini menuntut reformasi yang mendasar, mengoreksi praktik pungutan tahunan atas aset statis yang tidak dikomersialkan. Untuk memahami validitas argumen keadilan ini, ada baiknya kita meninjau kembali sejarah perpajakan, mulai dari sistem yang berorientasi pada produktivitas di kerajaan kuno Nusantara hingga praktik-praktik pungutan yang paling unik dan bahkan absurd di peradaban dunia.


Pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, khususnya di Jawa pada periode abad ke-9 hingga ke-15 Masehi, sumber pendapatan negara didasarkan pada prinsip penguasaan raja atas tanah. Istilah drabya haji, yang berarti “milik raja”, menunjukkan bahwa raja berhak atas sebagian hasil bumi yang dikelola rakyat. Pajak pada masa ini bersifat lebih terfokus pada hasil produktif dan aktivitas komersial. Pajak tanah dikenakan berdasarkan luas garapan (sawah, kebun, rawa) dan dibayar dalam bentuk emas atau perak. Ini adalah pungutan atas aktivitas menghasilkan kekayaan. Pajak juga dikenakan pada usaha, keahlian, dan perdagangan (misalnya, pesinden, dalang, pedagang), serta Pajak Orang Asing (warga kilalang).


Meskipun sistem ini bersifat feodalistik, namun intinya adalah pungutan dikenakan pada aktivitas ekonomi yang menghasilkan surplus atau pada penggunaan hak istimewa (hak menggarap tanah). Bahkan ketika raja memberikan keringanan (sima), tujuan utamanya adalah menjaga kestabilan kas negara, bukan membebani kebutuhan primer rakyat secara berulang tanpa adanya transaksi atau keuntungan.


Berbeda dengan kondisi di era Nusantara kuno, sejarah dunia dipenuhi dengan contoh-contoh pajak yang dikenakan atas hal-hal yang sama sekali tidak produktif, bahkan terhadap aspek kebutuhan asas atau eksistensi. Dua contoh mencolok adalah pajak atas air seni dan pajak jendela.

Warisan Abadi Penjaga Pilar Demokrasi

Minggu, 14 Desember 2025

Menjadi wartawan itu unik. Kadang tak direncanakan, tapi kemudian menjadi panggilan yang tak bisa ditolak bahkan hingga akhir hayat. Tengok saja kisah Rosihan Anwar, sang “Ayatullah Pers” Indonesia. Profesi wartawan, di mata Rosihan, awalnya tak punya daya tarik, bahkan dipandang rendah pada zaman kolonial. Gaji kecil, dicap bodoh, dan kurang ajar. Tapi, rupanya takdir punya rencana lain. Jalan yang konon “salah” itu justru membawanya meliput langsung Jenderal Sudirman yang bergerilya pasca-Agresi Militer Belanda II. Sebuah liputan yang monumental dan menjawab rasa penasaran publik.


Rosihan Anwar, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946, adalah prototipe wartawan yang tak kenal menyerah. Ia sempat merasakan kurungan besi di zaman penjajahan Jepang. Korannya, Pedoman, dibredel rezim Orde Baru. Namun hal itu justru membuatnya makin kritis dalam menulis. Instingnya tak pernah mati, bahkan di usia senja ia masih mengecek lokasi menjelang peristiwa penyerbuan kantor PDI, dan esoknya menuliskan fakta itu di harian Kompas. Rosihan membuktikan, kerja wartawan bukan sekadar mencari nafkah, tapi juga menjadi pelaku sekaligus pencatat sejarah.


Di sisi lain peta pers Indonesia, berdiri tegak sosok Ani Idrus, seorang jurnalis perempuan lintas zaman yang tak kalah pemberani dari Rosihan. Ani Idrus, lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 1919, sudah gemar menulis sejak belia, bahkan tulisan pertamanya dimuat saat ia berusia 12 tahun. Jauh sebelum era emansipasi ramai dibicarakan Ani Idrus sudah menggunakan pena sebagai alat perjuangan.


Melihat pengalaman masa kecilnya yang sarat diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat yang kental adat matrilineal, di mana kekerasan dalam rumah tangga menjadi realitas pahit, Ani Idrus bertekad menyadarkan kaumnya. Melalui cerpen-cerpennya dengan nama pena Lady Andy, ia selalu menyerukan agar perempuan berani membela haknya dan mengejar kemajuan diri. Tulisan-tulisannya, baik di Seruan Kita, Waspada, maupun majalah Dunia Wanita, tak hanya tajam menghadapi Belanda, tapi juga fokus pada masalah-masalah perempuan.

Pahlawan Kejujuran di Dua Era

Sabtu, 13 Desember 2025

Jika ada satu penyakit abadi yang menggerogoti negeri ini, ia bernama rasuah atau korupsi. Rasuah, yang lahir dari perpaduan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia ternyata sudah menjadi perhatian sejak ratusan tahun silam. Uniknya, di tengah-tengah lautan nestapa itu selalu ada beberapa individu langka yang berani menantang arus. Mereka adalah para pendekar yang memilih jalan sunyi integritas.


Mari kita singkap kisah dua figur heroik dari dua babak sejarah yang berbeda: Simon Hendrik Frijkenius dari zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang kolaps dan Priyatna Abdurrasyid seorang jaksa pemberani di masa awal Republik Indonesia. Kisah mereka, meskipun terpisah oleh waktu menunjukkan satu benang merah, yaitu melawan rasuah adalah sebuah pertempuran yang mahal, sunyi, dan sering kali tak berujung bahagia.


Bayangkan VOC di penghujung abad ke-18. Perusahaan dagang raksasa ini tidak sedang karam karena serangan musuh, melainkan karena ulah tikus-tikus di dalam lumbungnya sendiri. Defisit keuangan mencapai puluhan juta gulden. Emas 40 ton hilang dari kas negara di Batavia. Intinya, para pegawai VOC yang bergaji kecil justru menjadi kaya raya karena menyelewengkan dana dan memanfaatkan monopoli demi kepentingan pribadi. Mereka adalah hama yang menggerogoti kompeni yang termahsyur itu.


Untuk mengatasi bencana ini, pada tahun 1791 VOC mengirimkan dua figur penting sebagai Commissaris-Generaal (Komisaris Tinggi) ke Hindia Timur, salah satunya adalah Simon Hendrik Frijkenius. Frijkenius adalah seorang pelaut sejati. Lahir di Utrecht pada tahun 1747, ia dikenal memiliki integritas tinggi dan sangat dihormati. Ia bukan sekadar birokrat. Ia adalah orang jujur yang ditugaskan dalam misi penyelamatan yang hampir mustahil. Ia tiba di Batavia pada November 1793 dengan harapan bisa membantu secara efisien untuk memperbaiki VOC.

Drama Abadi Rasuah

Jumat, 12 Desember 2025

Ada satu drama yang diputar berulang di panggung sejarah Indonesia, tak peduli siapa yang jadi sutradara atau berganti masa. Judulnya: “Rasuah”. Ini bukan sekadar cerita tentang uang negara yang hilang, melainkan kisah kompleks tentang kekuasaan, keserakahan, dan perjuangan para ksatria jujur yang harus berhadapan dengan tembok tebal bernama impunitas.


Jika kita telusuri, upaya memberantas rasuah di Indonesia ini seperti mencoba menampung air dengan keranjang. Lembaga demi lembaga lahir dengan semangat membara, namun tak lama kemudian layu dan dibubarkan, sering kali karena ulah kekuasaan itu sendiri. Sejak era kemerdekaan, pemerintah sadar betul bahwa rasuah adalah penyakit akut. Di masa Orde Lama, munculah beberapa inisiatif yang awalnya terlihat menjanjikan.


Pada 1959, Presiden Soekarno mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Dipimpin tokoh sekaliber Sultan Hamengku Buwono IX, Bapekan menerima laporan rasuah dari masyarakat, mulai dari serdadu hingga sastrawan. Mereka sempat membongkar kasus rasuah besar di Jawatan Bea Cukai. Namun, siapa sangka, langkah Bapekan justru terhenti ketika mulai menyentuh kasus sensitif, seperti dugaan rasuah proyek Asian Games 1962. Presiden Soekarno tiba-tiba membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi.


Di waktu yang sama, Menteri Keamanan Nasional sekaligus KASAD Jenderal A.H. Nasution membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). Tujuannya mulia, yaitu mendata kekayaan pejabat, terutama yang datang dari kalangan militer setelah nasionalisasi perusahaan Belanda. PARAN sempat menemukan banyak praktik salah urus dan rasuah. Akan tetapi, mereka terbentur kenyataan pahit. Banyak pejabat yang membangkang dan langsung berlindung di bawah kuasa Presiden. PARAN pun layu ketika jabatan Nasution digantikan oleh Ahmad Yani.

Kontroversi Penyaluran Dana Desa

Kamis, 11 Desember 2025

Dana Desa yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan puncak dari semangat desentralisasi fiskal pasca-reformasi, yang bertujuan untuk memandirikan desa sebagai subjek pembangunan. Dengan anggaran triliunan rupiah yang dialokasikan langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Dana Desa dirancang untuk memutus mata rantai sentralisasi pembangunan yang terjadi selama puluhan tahun. Namun, kontroversi terbaru mengenai penyaluran Dana Desa Tahap II yang disyaratkan dengan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) telah menyingkap sebuah ketegangan struktural yang laten, yaitu antara cita-cita otonomi fiskal lokal dengan praktik komando politik dari pusat. Konflik ini bukanlah isu administratif belaka, melainkan manifestasi terkini dari dilema sejarah perimbangan keuangan Indonesia yang tak pernah tuntas.


Gagasan desentralisasi dan perimbangan keuangan bukanlah barang baru dalam sejarah tata kelola Indonesia. Sejak era kolonial, isu ini telah diperdebatkan sehingga memunculkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Regulasi tersebut hanya amandemen (tambahan) parsial terhadap Regerings Reglement 1854. Pasca-kemerdekaan, sistem perimbangan keuangan mulai didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956. Meskipun aturan ini meletakkan dasar-dasar desentralisasi, implementasinya seringkali timpang, di mana sumbangan pemerintah pusat masih menjadi bagian terbesar dari penerimaan daerah, sebuah kondisi yang bertentangan dengan prinsip otonomi sejati.


Sistem ekonomi sentralistik mencapai puncaknya sepanjang Orde Baru. Dalam rezim ini, ketimpangan antara pusat dan daerah dilebarkan dengan kekuasaan fiskal dan politik terpusat di Jakarta. Reformasi 1998 menjadi titik balik. Keran desentralisasi dibuka kembali melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara umum, tujuan utama otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing daerah.


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Undang-Undang ini berusaha menerapkan konsep money follow function dan mengembalikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom. Momentum ini kemudian berlanjut ke level pemerintahan terendah dengan lahirnya Undang-Undang Desa, yang memberikan mandat keuangan berupa Dana Desa untuk dikelola berdasarkan kebutuhan dan hasil Musyawarah Desa. Dalam konteks sejarah ini, Dana Desa adalah upaya progresif untuk menghilangkan pola sentralistik lama.

Integritas dan Dompet Imajinasi

Rabu, 10 Desember 2025

Indonesia adalah negeri yang dianugerahi pemimpin-pemimpin dengan jiwa yang luhur. Mereka mewariskan kepada kita bukan hanya kemerdekaan, tetapi juga pelajaran abadi tentang bagaimana menjadi manusia yang bermartabat. Kekuatan sejati mereka terletak pada dua hal yang tak terpisahkan, yaitu integritas dan kesederhanaan. Integritas adalah kesatuan moral yang tak tergoyahkan, sedangkan kesederhanaan merupakan gaya hidup yang menolak nafsu material.


Dalam deretan tokoh bangsa yang patut dijadikan panutan, nama Agus Salim dan Mohammad Natsir berdiri tegak sebagai mercusuar moral. Keduanya adalah intelektual ulung, politisi berprinsip, dan diplomat handal yang memilih jalan hidup bersih, jauh dari kemilau harta dan kekuasaan. Kisah hidup mereka mengajarkan bahwa kekayaan paling hakiki seorang pemimpin bukanlah pada saldo rekening, melainkan pada kejernihan hati.


Agus Salim, yang dijuluki The Grand Old Man, karena kecerdasan dan kelihaiannya di panggung diplomasi internasional, adalah potret sempurna seorang negarawan yang berpegang pada prinsip. Integritas beliau begitu kuat. Dengan kehidupan keluarga yang bersahaja tidak pernah menggoyahkan pengabdiannya pada negara.


Bayangkan, seorang diplomat ulung yang mampu bernegosiasi dengan berbagai bangsa dan menguasai sembilan bahasa asing, ternyata hidup dalam kesederhanaan. Kisah kehidupan keluarga Agus Salim yang berpindah-pindah rumah kontrakkan bukanlah hal yang aneh. Beliau selalu menolak memanfaatkan jabatan dan koneksi politik untuk mencari keuntungan atau kemewahan.

Kekuatan Konten Kreator di Tengah Bencana

Selasa, 09 Desember 2025

Nama Ferry Irwandi tiba-tiba melesat ke puncak trending di platform X (dulu Twitter). Bukan karena prank atau drama, melainkan sebuah aksi heroik yang menggetarkan hati. Ia berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp10 miliar dalam waktu kurang dari 24 jam untuk korban banjir Sumatera. Sebuah angka yang fantastis, sebuah kecepatan yang mencengangkan, dan sebuah bukti nyata bahwa niat baik ketika dikemas dengan cara yang benar bisa melahirkan gelombang kebaikan yang tak terbendung.


Ferry Irwandi, pendiri Malaka Project dan seorang kreator konten yang dikenal kritis dan cerdas, menggunakan pengaruhnya secara maksimal. Melalui akun Instagram-nya, @irwandiferry, ia mengumumkan keberhasilan fundraising di platform KitaBisa yang mencapai angka Rp 10.374.064.800 dari 87.605 donatur. Bayangkan, puluhan ribu orang, dalam satu hari, bergerak serempak menyalurkan rezeki mereka. Ini bukan lagi sekadar donasi, ini adalah manifestasi kolektif dari empati warganet Indonesia.


Keberhasilan Ferry ini bukan sekadar tentang angka, tapi tentang pilihan peran yang tepat. Warganet di X ramai-ramai memberikan apresiasi tinggi. Bagi mereka, langkah Ferry sebagai kreator konten untuk menggalang dana adalah langkah yang paling strategis dan berdampak di tengah situasi bencana. Seorang kreator konten memiliki kekuatan untuk memviralkan isu, menyentuh emosi publik, dan menciptakan ajakan yang massif. Dan Ferry membuktikan ia menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan.


Sangat wajar jika kemudian muncul perbandingan. Dalam trending topic yang sama, warganet lantas menarik garis kontras yang tajam antara aksi Ferry dengan tindakan salah satu figur publik lain: Zulhas, seorang menteri di kabinet Presiden Prabowo.

Menanam Harapan dari Kisah Wangari Maathai

Senin, 08 Desember 2025

Pernah dengar nama Wangari Maathai? Kalau belum, Anda harus tahu. Kisahnya bukan sekadar cerita tentang seorang ilmuwan, politikus, atau pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2004. Wangari Maathai adalah simbol nyata bahwa satu orang, yang berani menanam pohon dan menyuarakan kebenaran, bisa mengubah nasib bangsanya dan dunia.


Mari kita terbang sejenak ke Kenya pada tahun 1970-an. Saat itu, Wangari, seorang perempuan pertama dari Afrika Timur yang meraih gelar doktor, kembali ke tanah airnya. Ia terkejut. Hutan-hutan yang dulu hijau dan lebat telah berganti menjadi lahan gersang. Pohon-pohon ditebang habis untuk kepentingan industri dan lahan pertanian, mengakibatkan tanah longsor, kekeringan, dan yang paling parah, kemiskinan dan kelaparan. Sumber air mengering, dan perempuan-perempuan desa harus berjalan semakin jauh hanya untuk mencari kayu bakar dan air bersih.


Wangari melihat akar masalahnya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kemiskinan dan ketidakberdayaan perempuan. Ia sadar, menanam pohon bukan cuma urusan botani, tetapi juga urusan politik, ekonomi, dan hak asasi manusia. Pada tahun 1977, Wangari Maathai mendirikan Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement/GBM). Filosofinya sederhana tapi revolusioner, “Menanam pohon adalah menanam harapan.”


Gerakan ini dimulai dengan mengajak perempuan-perempuan desa untuk menanam bibit pohon. Mereka diberi insentif kecil untuk setiap bibit yang hidup. Ini adalah solusi yang cerdas. Lingkungan pulih, dan perempuan desa mendapatkan penghasilan, meningkatkan harga diri, serta mendapatkan kembali kendali atas lingkungan mereka.

Tantangan Tata Kelola Impor Beras

Minggu, 07 Desember 2025

Isu pangan, khususnya beras, selalu menjadi urat nadi politik dan stabilitas ekonomi di Indonesia. Belakangan ini, perhatian publik mengarah ke temuan mengejutkan, yaitu masuknya 250 ton beras secara ilegal melalui Sabang, dengan indikasi serupa di Batam, tanpa persetujuan pemerintah pusat. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di tengah klaim stok beras nasional yang melimpah dan instruksi tegas presiden mengenai larangan impor. Menanggapi temuan ini, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, telah melancarkan ancaman serius untuk mencopot pejabat Kementan, termasuk di level Direktur Jenderal, jika terbukti terlibat dalam praktik kecurangan impor ilegal. 


Skandal ini bukan sekadar pelanggaran ekonomi, melainkan cerminan dari tantangan integritas tata kelola pangan yang telah berakar dalam sejarah panjang Indonesia. Oleh karena itu, janji Menteri Pertanian selain dicatat tebal, juga harus diikuti dengan penegasan bahwa investigasi yang akan dilakukan harus berjalan fair.


Untuk memahami mengapa impor beras ilegal dengan skala 250 ton tersebut terjadi, kita perlu melihat ke belakang. Sejak kemerdekaan, impor beras telah menjadi polemik dan sebuah ironi bagi Indonesia, suatu negara agraris yang semestinya mampu berswasembada.


Sebagaimana diuraikan dalam sejarah, upaya menjaga kedaulatan pangan melalui pemenuhan kebutuhan beras sudah dilakukan sejak Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947). Program swasembada beras yang dicanangkan oleh I.J. Kasimo pada 1948 bertujuan mulia, salah satunya untuk menghemat devisa. Namun, tantangan berupa pertambahan penduduk dan fluktuasi produksi selalu memaksa pemerintah mengambil jalan impor. Dalam perjalanannya di era 1950-an, kebijakan impor ini seringkali diwarnai intrik, mulai dari penunjukan lisensi tunggal kepada pihak tertentu (seperti Kian Guan Concer) hingga pembukaan tender yang mendorong perusahaan nasional membangun jaringan di negara pengimpor.

Modul Edukasi Gizi

Sabtu, 06 Desember 2025

Sejarah pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan adalah sejarah tentang ambisi yang berulang, proyek-proyek pembangunan nasional, dan “bongkar pasang” kurikulum. Kurikulum sebagai jantung sistem pendidikan secara inheren mencerminkan kebutuhan politik, ekonomi, dan ideologis sebuah bangsa pada masa tertentu. Namun, frekuensi dan sifat perubahan kurikulum yang seringkali bersifat ad-hoc telah menciptakan pola ketidakstabilan. Pola historis inilah yang kini kembali terlihat dalam polemik seputar peluncuran modul edukasi gizi sebagai komponen wajib pendamping program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dianggap berpotensi mengacaukan kurikulum dan menambah beban guru.


Sejak Kurikulum Rencana Pelajaran 1947, yang berfokus pada pembentukan karakter manusia merdeka, hingga Kurikulum Merdeka saat ini, setiap pergantian selalu membawa mandat baru. Di era Orde Lama, kurikulum diarahkan untuk mendukung semangat revolusi. Kemudian, pada masa Orde Baru kurikulum berubah menjadi alat pembangunan, menekankan keterampilan praktis, dan pendidikan moral Pancasila. Kurikulum 1975, 1984, dan 1994, misalnya, terus-menerus menyesuaikan diri dengan arah pembangunan jangka panjang. Setiap perubahan menuntut guru untuk beradaptasi dengan konsep, materi, dan metodologi baru.


Siklus ini menunjukkan bahwa kurikulum di Indonesia sering kali berfungsi sebagai wadah untuk menyuntikkan kebijakan eksternal, bukan sekadar kerangka pedagogis murni. Ketika pemerintah memiliki visi atau program prioritas—seperti wajib belajar, penanaman ideologi, atau kini, perbaikan gizi—sistem pendidikan menjadi saluran implementasi paling efektif. Namun, ini menciptakan dua masalah utama, yaitu pertama, beban guru yang bertambah dan kedua, integritas kurikulum yang tergerus.


Polemik modul edukasi gizi MBG mencerminkan dengan tepat masalah kedua. Modul tersebut, yang disusun oleh Kemendikdasmen dan diluncurkan oleh Wamen Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq, bertujuan mulia untuk mengintegrasikan pemahaman gizi. Namun, kritik keras datang dari pihak profesional. Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Imam Zanatul Haeri, secara fundamental menyoroti bahwa materi modul tersebut tidak memiliki landasan hukum dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Capaian Pembelajaran. Capaian Pembelajaran adalah rujukan kurikulum nasional utnuk menjamin konsistensi materi ajar. Ketika sebuah materi dipaksakan masuk tanpa fondasi Capaian Pembelajaran, ia menjadi intervensi kebijakan yang tidak memiliki landasan pedagogis maupun relevansi struktural dengan tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Ini secara langsung mengganggu stabilitas kurikulum yang telah diperjuangkan.

Nestapa Kemayoran, Polemik Morowali

Jumat, 05 Desember 2025

Bandara Kemayoran, yang dibuka resmi pada tahun 1940, bukan sekadar infrastruktur penerbangan. Ia adalah penanda sejarah Indonesia modern. Dibangun pada masa kolonial Belanda, bandara ini menjadi bandara internasional pertama di Hindia Belanda, dan setelah kemerdekaan ia menjelma sebagai pintu gerbang utama Republik Indonesia ke dunia. Keberadaannya mengukuhkan Jakarta sebagai kota metropolitan dan menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting, mulai dari pendaratan tokoh-tokoh proklamasi hingga masuknya pesawat-pesawat berbadan lebar generasi awal. Namun, kejayaan ini berakhir pada tahun 1985.


Bandara Kemayoran dibangun di atas lahan rawa dan persawahan yang mulanya dimiliki oleh seorang Mayor VOC, Isaac de l’Ostal de Saint-Martin, yang kemudian menjadi asal-usul nama wilayahnya. Di bawah pengelolaan Koninklijk Nederlansch-Indischa Luchtvaart Maatschappij (KNILM) dan kemudian Angkasa Pura, Kemayoran mencapai puncak kemasyhurannya. Ia menjadi tempat singgah pesawat-pesawat dunia dan bahkan diabadikan dalam komik legendaris Tintin, “Penerbangan 714 ke Sydney”, yang menampilkan arsitektur terminal dan menara pengawasnya secara akurat. Menara Air Traffic Control (ATC) Kemayoran adalah yang pertama di Indonesia, bahkan di Asia, dan kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya.


Di bawah Presiden Soekarno, bandara ini juga menjadi medium ekspresi kebudayaan nasional. Beliau memerintahkan seniman-seniman dari organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) untuk menciptakan karya-karya relief yang menghiasi ruang tunggu bandara, seperti relief Sangkuriang dan Manusia Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur tidak hanya dipandang dari sisi fungsional, tetapi juga sebagai wahana identitas bangsa.


Namun seiring waktu, Kemayoran mulai kewalahan. Peningkatan frekuensi penerbangan, posisi bandara yang semakin dikepung oleh permukiman padat penduduk, dan lokasinya yang terlalu dekat dengan Bandara Halim Perdanakusuma (untuk penerbangan internasional) menuntut adanya solusi yang lebih memadai. Puncak kejayaan bergeser ketika penerbangan internasional dialihkan ke Halim Perdanakusuma pada tahun 1974, dan akhirnya, seluruh operasional dipindahkan ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng pada tahun 1985.

Refleksi Abdi Negara

Kamis, 04 Desember 2025

Setiap tanggal 29 November, Aparatur Sipil Negara (ASN) merayakan Hari Ulang Tahun Korps Pegawai Republik Indonesia (HUT Korpri). Seragam batik biru menjadi penanda solidaritas jutaan abdi negara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Perayaan yang seharusnya bukan sekadar rutinitas upacara, melainkan momen penting untuk merefleksikan kembali posisi strategis Korpri dalam sistem pemerintahan Indonesia.


Namun, merefleksikan Korpri hari ini berarti menempatkannya di bawah kacamata teori birokrasi klasik Max Weber. Sosiolog Jerman ini memimpikan birokrasi sebagai sebuah mesin yang beroperasi berdasarkan prinsip rasionalitas, legalitas, dan impersonalitas. Dalam konteks Korpri, ini berarti ASN harus bekerja secara profesional, sesuai aturan, dan melayani semua orang tanpa memandang kepentingan pribadi atau politik.


Sayangnya, realitas di lapangan sering menciptakan jurang lebar antara cita-cita Weberian dan praktik keseharian, yang ditandai dengan ancaman politik, kriminalisasi, dan ketidakadilan ekonomi.


Prinsip utama birokrasi Weber adalah impersonalitas atau ketidakberpihakan. Pegawai digaji dan diangkat berdasarkan kompetensi, bukan loyalitas personal kepada atasan atau partai politik. Korpri secara eksplisit mengadopsi prinsip ini melalui doktrin netralitas ASN. Namun, di era desentralisasi birokrasi justru rentan terhadap politisasi. Kepala daerah sebagai pejabat politik adalah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang berwenang menentukan promosi dan demosi para ASN.

Harga Mahal Kerusakan Lingkungan

Rabu, 03 Desember 2025

Bencana banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatra adalah tragedi yang harus dipandang bukan sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai titik kulminasi dari kebijakan ekonomi yang kurang tepat. Di tengah duka mendalam dan kerugian materi yang masif, analisis dari lembaga lingkungan dan ekonomi menemukan benang merah yang sama. Bencana ini adalah wujud atas eksploitasi lingkungan yang tidak bertanggung jawab.


Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara tegas menyatakan bahwa bencana ini bukan semata-mata produk dari siklon tropis atau curah hujan ekstrem. Menurut Arie Rompas dari Greenpeace, bencana dipicu oleh daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin terdegradasi. Manajer Walhi Melva Harahap menambahkan, aktivitas ekonomi yang bersifat eksploitatif, khususnya yang melibatkan izin konsesi berskala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), telah memperparah degradasi tersebut.


Pernyataan dari kedua lembaga lingkungan ini menegaskan bahwa kita telah meruntuhkan pertahanan alami kita sendiri. Hutan alam adalah infrastruktur pencegah bencana terbaik. Pohon dengan akar-akarnya yang kuat dan hutan yang kaya humus berfungsi sebagai spons raksasa yang menahan laju air hujan, menyerap kelebihan air, dan melepaskannya perlahan ke sungai.


Ketika hutan alam diganti menjadi perkebunan monokultur seperti sawit, maka kemampuan ekosistem untuk menahan laju air hujan berkurang drastis. Monokultur memiliki sistem akar yang dangkal dan struktur tanah yang lebih padat, membuat air mengalir cepat di permukaan, membawa material tanah, lumpur, dan sisa-sisa tebangan. Inilah yang mengubah hujan biasa menjadi banjir bandang yang merusak dan mematikan.

Korpri: Menilik Sejarah, Menjawab Tantangan

Selasa, 02 Desember 2025

Setiap tanggal 29 November, jutaan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia, yang tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia atau Korpri, memperingati hari jadi organisasi mereka. Hari tersebut bukan sekadar momentum upacara dengan seragam batik biru berlambang pohon hayat. Lebih dari itu, Hari Korpri adalah saatnya melakukan refleksi mendalam, sudah sejauh mana korps ini menjalankan perannya sebagai abdi negara dan abdi rakyat?


Jika ditarik ke belakang, sejarah Korpri sangat lekat dengan dinamika politik Indonesia. Korpri secara resmi didirikan pada 29 November 1971 melalui Keppres Nomor 82 Tahun 1971. Namun, jauh sebelum itu, cikal bakalnya sudah dipersiapkan untuk tujuan yang sangat spesifik, yaitu menyatukan seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bawah satu wadah tunggal.


Masa Orde Baru adalah babak paling signifikan dalam sejarah Korpri. Saat itu, Korpri didesain sebagai instrumen politik untuk menerapkan prinsip monoloyalitas, yaitu kesetiaan tunggal kepada negara, yang saat itu diartikan sebagai kesetiaan kepada pemerintah dan Golongan Karya (Golkar).


Sebagaimana dicatat oleh Ben Mboi dalam “Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja”, keberadaan Korpri menjadi bagian dari strategi “tiga jalur” pendukung Golkar: ABRI, Korpri, dan Golkar itu sendiri. Menteri Dalam Negeri kala itu, Amir Machmud, bahkan dijuluki “buldoser” karena perannya dalam menggiring birokrasi sipil untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971. Pembentukan Kokar (Korps Karyawan) di berbagai departemen, yang kemudian dilebur ke dalam Korpri, secara sengaja dirancang untuk kepentingan politik ini. Intinya, Korpri didirikan sebagai penjaring suara masif yang melumpuhkan dukungan elektoral terhadap partai-partai lain.

Sekeping Memori tentang Bosnia

Senin, 01 Desember 2025

Saya masih ingat betul, tahun-tahun itu adalah era di mana dunia terasa jauh lebih lambat. Tahun 1992 hingga 1995 saya masih duduk di bangku sekolah dengan seragam putih-biru dan putih-abu-abu. Berita dunia, bagi kami datang dari satu sumber utama, yaitu TVRI, atau dari lembaran koran yang saya baca di persewaan komik dan novel dekat Pasar Besar Kota Madiun. 


Saat itulah, di antara berita pembangunan desa dan lagu wajib nasional, muncul nama-nama asing: Sarajevo, Srebrenica, Bosnia, Yugoslavia. Ada perang di sana. Perang yang aneh, karena orang-orang yang berperang terlihat sama, berpakaian sama, tapi tiba-tiba saling membunuh karena identitas yang memisahkan mereka. Sebagai remaja Indonesia yang hidup nyaman di bawah sinar matahari khatulistiwa, sulit sekali mencerna mengapa perpecahan etnis dan agama bisa berujung pada kekejaman yang begitu terorganisir.


Saya tahu ada genosida, ada penembakan, ada konflik antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia. Semua terasa seperti narasi buku sejarah yang letaknya ribuan kilometer dari sini. Tapi, cerita itu benar-benar menjadi nyata, menjadi personal, ketika bertahun-tahun kemudian saya menonton film “Quo Vadis, Aida?” karya sutradara Jasmila Žbanić.


Film ini bukan hanya pelajaran sejarah. Ini adalah tamparan emosional yang memaksa kita melihat langsung ke lokasi tragedi. Film ini berlatar belakang Juli 1995, pada saat terjadinya Pembantaian Srebrenica, salah satu halaman paling gelap dalam sejarah Eropa pasca Perang Dunia II.

Kisah Lama yang Selalu Baru

Minggu, 30 November 2025

Kita hidup di negara yang lucu. Di satu sisi nilai-nilai ketimuran dan keagamaan begitu kental. Di sisi lain, isu korupsi yang secara prinsip bertentangan dengan semua nilai itu seolah menjadi kisah lama yang tak pernah usai. Beberapa hari lalu, saya menonton sebuah diskusi yang jujur saja membuat hati saya campur aduk, antara miris, kesal, dan terinspirasi. Yaitu perbincangan antara dr. Richard Lee dan Pak Novel Baswedan, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Topiknya berat: korupsi di Indonesia. Namun, cara mereka membongkarnya terasa begitu personal hingga saya merasa perlu menuliskan refleksi ini.


Inti dari diskusi tersebut, terutama saat menyentuh isu korupsi kuota haji, memberikan tamparan yang sangat keras. Bagaimana tidak? Haji adalah bagian rukun Islam, sebuah panggilan spiritual yang didamba setiap muslim. Tapi, di balik kesucian ibadah itu ternyata ada tangan-tangan yang tega bermain curang, menjual kuota, dan mengeruk keuntungan pribadi. Pak Novel Baswedan sempat menyinggung, bagaimana mungkin orang yang mengurus urusan agama, yang kita anggap memiliki keimanan tinggi, justru berbuat korupsi?


Ironi ini adalah puncaknya. Jika urusan ibadah suci saja bisa dikomersialkan dan dikorupsi, di mana lagi kita bisa menaruh kepercayaan? Ini bukan sekadar mencuri uang negara, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah spiritual dan harapan jutaan umat yang mengantre belasan hingga puluhan tahun. Bagi saya, kasus ini bukan lagi sekadar kasus hukum, melainkan penanda bahwa ada sesuatu yang sangat keropos di dalam hati nurani kita bersama.


Salah satu poin paling menarik yang diangkat oleh Pak Novel adalah pandangannya bahwa korupsi adalah sebuah “sakit mental”. Beliau menganalogikannya dengan teman yang kecanduan narkoba; bukannya dibiarkan dan diberi narkoba terus, kita justru harus berupaya menyelamatkannya, direhabilitasi, diproses, agar dia sembuh.

Bersih dan Membersihkan

Sabtu, 29 November 2025

Pernahkah Anda membayangkan memimpin sebuah perusahaan yang bergerak di industri paling maskulin dan “basah” di Indonesia? Bayangkan mengelola 17.000 pulau dan kapal feri yang besar serta menghadapi budaya kerja yang kental, birokratis, serta “mafia” yang terbiasa dengan uang tunai miliaran rupiah per hari.


Itulah arena pertarungan Ira Puspadewi, Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Dalam obrolan santai di podcast, Ira membuka kisah perjalanannya yang jauh dari kata biasa, dari masa kecil yang keras hingga menjadi CEO yang tegas. Ini bukan hanya cerita tentang transformasi BUMN, tetapi tentang bagaimana ketahanan diri dan strategi yang cerdas bisa mengubah lautan yang penuh badai.


Kisah Ira Puspadewi dimulai dari sebuah kisah masa kecil yang tak terlupakan. Ia adalah anak bungsu dari 11 bersaudara. Ayahnya meninggal saat ia berusia tujuh tahun, meninggalkan sang Ibu sebagai pendidik tunggal.


Satu hari, Ira kecil mogok sekolah. Reaksi ibunya sungguh luar biasa. Dalam momen itu, sang Ibu membawanya ke sekolah sambil memegang sebilah golok di tangan. “Kalau kamu tidak sekolah, hidupmu tidak akan berubah,” tegas sang Ibu.

Dana Desa di Persimpangan Jalan

Jumat, 28 November 2025

Bagi puluhan ribu desa di seluruh penjuru nusantara, Dana Desa seolah kepingan surga yang turun ke bumi. Ini adalah anggaran langsung dari APBN yang seharusnya menjadi bahan bakar untuk membangun jalan, irigasi, dan segala mimpi di pelosok negeri. Program ini adalah simbol otonomi daerah yang sangat kita banggakan.


Namun, di balik optimisme pembangunan terselip isu klasik yang tak pernah usai: korupsi. Kita disajikan pemandangan yang kontras dan cukup menggelitik antara klaim seorang menteri dan data statistik yang bicara terus terang. Ibaratnya, satu orang bilang cuaca cerah tapi termometer di tangan orang lain menunjukkan suhu sedang mendidih.


Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, tampil dengan nada meyakinkan. Ketika disinggung soal tumpukan kasus korupsi Dana Desa yang sedang ditangani Kejaksaan Agung, ia langsung menangkis. Katanya, kasus-kasus itu adalah warisan masa lalu, bukan terjadi di era kepemimpinannya saat ini. Sebuah penolakan yang cukup wajar. 


Menteri Yandri bahkan mengklaim bahwa di bawah kendalinya pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa sudah jauh lebih baik. Ia tak hanya mengandalkan mata dan telinga sendiri. Kejaksaan Agung digandeng dalam kerja sama pengawasan. Bukan hanya itu, Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) pun disebut memiliki sistem pelaporan internal yang bisa diandalkan untuk menindaklanjuti persoalan di lapangan.

Ketika Kiai, Beras, dan Banjir Menjadi Berita

Kamis, 27 November 2025

Selamat datang kembali para pembaca yang budiman, dalam ringkasan kejadian yang sempat mewarnai panggung nasional kita beberapa hari ini. Jika kita ibaratkan drama Korea, pekan ini adalah episode klimaks dengan plot twist di mana-mana. Dari urusan internal organisasi keagamaan terbesar, kontroversi impor pangan yang bikin pusing kepala, sampai bencana alam yang sayangnya luput dari sorotan utama. Semuanya menyajikan tontonan yang sayang untuk dilewatkan, meskipun isinya bikin kita menggelengkan kepala.


Pekan terakhir bulan November 2025 ini, panggung politik internal organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), memanas. Jika sebelumnya kita berharap ada “gencatan senjata” setelah mediasi dari kiai sepuh Ponpes Lirboyo, ternyata drama ini berlanjut.


Bermula dari surat pemecatan yang dikeluarkan oleh Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada Ketua Umum PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf. Alasannya cukup berat, dugaan pelanggaran serius, yaitu mengundang sosok pendukung zionis dalam acara NU. Sebuah isu yang sangat sensitif dan berpotensi membelah umat.


Uniknya, ini bukan akhir. Gus Yahya menolak mentah-mentah surat pemecatan tersebut. Argumennya adalah syuriyah tidak punya kewenangan untuk memecat Ketua Umum. Hehehe… Kita punya dua kubu dengan tafsiran aturan yang berbeda, menciptakan kehebohan yang sayangnya disaksikan oleh publik.

Dari Kereta Api Terakhir Hingga Puncak Bukit Karang

Rabu, 26 November 2025

Siapa sih yang tidak suka kisah pahlawan? Sejak kecil, kita dijejali narasi tentang sosok super yang datang menyelamatkan dunia. Namun, dalam dunia nyata, terutama di balik layar lebar yang menceritakan sejarah, kepahlawanan itu jauh lebih kompleks, lebih membumi, dan kadang, lebih menyakitkan. Ia tidak selalu mengenakan jubah, tapi seringkali seragam yang lusuh dan penuh lumpur.


Untuk benar-benar memahami spektrum heroisme, mari kita dudukkan dua film yang seolah berada di kutub berlawanan: “Kereta Api Terakhir” (1981) dari Indonesia dan “Hacksaw Ridge” (2016) dari Hollywood. Keduanya bercerita tentang perang, tapi mendefinisikan keberanian dengan cara yang sangat berbeda, namun pada intinya tetap sama.


Saya menonton film “Kereta Api Terakhir” saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Menonton bersama teman-teman satu sekolah di gedung bioskop dekat Alun-alun Kota Madiun. Membayangkan peristiwa heroik pertempuran para prajurit. Seru. Tegang. Sekaligus kocak dengan ulah Sersan Tobing. Seorang tentara yang lucu, pemberani, serta jago bernyanyi dan bermain gitar. 


Lagu “Rindu Lukisan” yang didendangkan Sersan Tobing seakan melambangkan kerinduan rekannya, Letnan Firman, yang mendamba kekasih pujaan hati. “Mengapa mendusta seribu kata. Mengapa membisu seribu bahasa. Mungkinkah bulan merindukan kumbang. Dapatkah kumbang mencapai rembulan”. Cinta Letnan Firman kepada seorang gadis penumpang kereta memberi romansa di tengah perjalanan yang mencekam.

Hari Guru di Tengah Realita

Selasa, 25 November 2025

Hari Guru Nasional adalah hari di mana kita, para murid, orang tua, dan seluruh bangsa, serentak menoleh ke belakang, mengenang jasa para pendidik yang tak terhitung. Kita menyebut mereka Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, sebuah julukan yang indah sekaligus ironis. Di satu sisi, ia meninggikan status guru ke langit, mensejajarkannya dengan pejuang kemerdekaan. Di sisi lain, julukan itu kerap digunakan sebagai pembenaran untuk mengabaikan kesejahteraan mereka di bumi.


Di Indonesia, menjadi seorang guru bukan sekadar profesi. Itu adalah panggilan, sebuah pengabdian suci yang diwarisi dari semangat reformis pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Filosofi luhur yang beliau tanamkan: Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun kemauan), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), adalah cetak biru ideal bagi setiap pendidik. Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus memerdekakan, memberdayakan, dan membimbing, bukan mengekang.


Namun, bagaimana idealisme Ki Hajar Dewantara berhadapan dengan realita yang keras dan terkadang miris di lapangan? Jawabannya terbentang dari pelosok negeri hingga ruang periksa penegak hukum.


Kisah pengorbanan guru seringkali melampaui batas nalar. Salah satu yang sempat viral dan membuat kita menahan napas adalah cerita tentang guru yang berjuang melintasi medan sulit, bahkan mempertaruhkan nyawa, hanya untuk memastikan anak didiknya tidak kehilangan satu hari belajar.

Menelusuri Dinamika NU

Senin, 24 November 2025

Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Ia adalah sebuah samudra sejarah, tempat berkumpulnya jiwa-jiwa revolusioner, pemikir ulung, dan para pejuang yang bergerak lincah di persimpangan antara tradisi pesantren dan modernitas negara bangsa. Menjelajahi NU adalah menelusuri garis keturunan dan sebuah sanad yang menghubungkan api perjuangan para pendiri dengan badai internal yang melanda hari ini.


Mari kita tarik napas sejenak dan menyelami dua potret ketokohan dari masa lalu NU yang luar biasa dinamis: Sang Reformer Muda KH Abdul Wahid Hasyim dan Sang Ulama Teguh KH Abdul Chalim.


Membicarakan KH Abdul Wahid Hasyim adalah berbicara tentang visi dan keberanian. Putra pendiri NU, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini adalah anomali di masanya. Bayangkan, seorang kiai muda yang tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga fasih berbahasa Inggris, akrab dengan pergerakan global, dan membawa semangat modernisasi ke dalam struktur NU yang masih tradisional.


Wahid Hasyim adalah simbol transisi. Ketika Indonesia bergejolak, ia berdiri di garda depan, menjadi salah satu pejuang muda NU yang paling vokal. Keterlibatannya dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menjadi bukti bahwa suara pesantren memiliki tempat vital dalam merumuskan dasar negara. Dialah yang memastikan NU tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga arsitek masa depan bangsa.

Absurditas Keadilan

Minggu, 23 November 2025

Indonesia adalah negeri yang penuh dengan paradoks. Ia adalah jantung yang berdetak paling keras, namun sekaligus labirin terhebat. Di tengah hiruk-pikuknya, kita dapat menemukan segalanya. Dari kekayaan yang tak terperikan hingga kemiskinan yang menyayat hati. Dari kekuasaan yang absolut hingga kerentanan yang fatal. Dan kini, kita mendapati satu lagi keanehan yang nyaris mustahil. Seorang terpidana yang hilang entah ke mana, padahal pengacaranya sendiri bersaksi bahwa ia, sang terpidana, tak ke mana-mana, masih tenang di Indonesia.


Ia seorang aktivis sekaligus pemimpin organisasi relawan presiden, baik Presiden Jokowi maupun Presiden Prabowo. Sering tampil di media untuk membela keras kebijakan pemerintah, area perjuangannya pun berbuah manis. Ganjaran jabatan sebagai komisaris independen perusahaan BUMN bidang pangan pun diraihnya. Itu pada tahun 2025, di era pemerintahan yang baru terbentuk. Berselang lima tahun sejak vonis bersalah dari hakim diputuskan. 


Kasus sang terpidana, yang divonis satu tahun enam bulan penjara atas fitnah terhadap mantan Wakil Presiden pada September 2019, adalah drama surealis tentang keberadaan. Bertahun-tahun sejak vonis itu dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, dan kejaksaan masih terus mendalilkan satu alasan yang sama: posisi sang terpidana belum ditemukan.

Drama Hukum dan Politik

Sabtu, 22 November 2025

Panggung politik Indonesia adalah ring tinju yang tak pernah sepi, tempat para petarung, baik yang mengenakan jubah teknokrat maupun jaket politikus. Mereka saling beradu strategi. Dalam beberapa waktu terakhir, dua figur yang tak henti menjadi bahan perbincangan, seringkali disorot karena isu-isu yang menyerempet ke ranah hukum dan politik, adalah Ira Puspadewi dan Tom Lembong.


Bukan hanya prestasi mereka yang disorot, tetapi juga berbagai dugaan dan isu korupsi yang dituduhkan. Kasus-kasus yang mengelilingi kedua tokoh ini—satu di kancah BUMN, satu lagi di panggung kebijakan—menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana hukum ditegakkan (atau dimanfaatkan) di tengah pusaran kepentingan politik yang panas.


Ira Puspadewi dikenal sebagai profesional tangguh yang berhasil memimpin dua perusahaan pelat merah yang sangat vital bagi publik. Badan Umum Milik negara (BUMN) tersebut adalah KAI Commuter dan ASDP Indonesia Ferry. BUMN, dalam konteks Indonesia, adalah area abu-abu. Secara bisnis ia harus mencari untung, tetapi secara politik ia adalah aset strategis dan, seringkali, dianggap “ladang basah” bagi para pemburu rente.

Gizi, Kekuasaan, dan Pelatihan Tiga Bulan

Jumat, 21 November 2025

Kontroversi mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) memanas. Awalnya, drama ini dipicu oleh Wakil Ketua DPR RI, Cucun Syamsurijal, yang viral lantaran dianggap arogan menepikan peran ahli gizi. Dalam sebuah forum, ketika seorang profesional menyampaikan masukan teknis mengenai kolaborasi Badan Gizi Nasional (BGN) dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), respons Cucun justru menohok: ahli gizi tak diperlukan. Ia berpendapat, pekerjaan itu bisa digantikan oleh lulusan SMA yang hanya diberi pelatihan singkat selama tiga bulan.


Pernyataan ini sontak memicu gelombang kritik, sebab meremehkan disiplin ilmu yang membutuhkan studi bertahun-tahun seolah menyamakan resep masakan rumahan dengan ilmu bedah klinis. Mengubah waktu, biaya, dan dedikasi yang dihabiskan para profesional untuk menguasai bidang tersebut, menjadi sebuah “pelatihan tiga bulan” sama saja dengan menyamakan pelatihan P3K (Pertologan Pertama pada Kecelakaan) dengan menjadi dokter bedah. Reaksi keras ini bukan sekadar pembelaan profesi, melainkan bentuk kekhawatiran publik terhadap kualitas sebuah program bernilai triliunan rupiah. Publik sadar, gizi bukan soal kenyang, melainkan soal presisi ilmiah.


Sangkalan paling tajam datang dari ahli gizi ternama, dokter Tan Shot Yen. Dengan tegas, ia membongkar ilusi pelatihan tiga bulan itu. Menurut dr. Tan, peran ahli gizi dalam MBG sangat spesifik dan tidak bisa digeneralisasi. Seorang ahli gizi SPPG harus mampu menganalisis status gizi anak-anak di sekolah yang dilayani, apakah mereka menderita stunting atau justru mengalami obesitas.

KUHAP Baru dalam Bayang-bayang Kekhawatiran

Kamis, 20 November 2025

18 November 2025, palu sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengetuk, menandai satu babak baru dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih akrab disingkat RUU KUHAP, resmi disahkan menjadi undang-undang. Ketua DPR, Puan Maharani, memberikan penekanan bahwa aturan baru ini akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026.


Mendengar kata “KUHAP”, mungkin kening kita sedikit berkerut. Ini memang bukan topik sepopuler film Hollywood atau skor pertandingan sepak bola. Namun, bagi kita semua, KUHAP adalah jantung dari proses keadilan. Ia adalah buku panduan yang mengatur dari mana polisi boleh memulai penyelidikan, bagaimana jaksa menuntut, sampai pada putusan hakim di pengadilan. Singkatnya, ia adalah pagar pembatas antara kekuasaan negara dan hak-hak warga negara.


Justifikasi utama yang dikemukakan oleh para pengambil keputusan terdengar sangat logis. UU KUHAP yang lama sudah berusia 44 tahun—sejak disahkan pada tahun 1981. Bayangkan, ketika UU itu dibuat, internet bahkan belum menjadi barang konsumsi publik. Kejahatan siber, pencucian uang lintas negara, atau bahkan sekadar cara penanganan bukti digital, tentu belum terpikirkan secara mendalam.

Utang Moral Bangsa kepada Guru

Rabu, 19 November 2025

Kasus ini bermula dari laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Polres Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada 2021 atas dugaan punggutan liar (pungli) komite sekolah. Saat itu, Rasnal menjabat sebagai kepala sekolah, sedangkan Abdul Muis menjabat sebagai bendahara Komite Sekolah di sekolah yang sama. Keduanya bersama orang tua siswa sepakat mengadakan dana sumbangan komite sekolah sebesar Rp20 ribu per bulan dari siswa yang sifatnya tidak wajib. Dana tersebut bakal dipergunakan untuk mendukung kegiatan sekolah, di antaranya untuk penghasilan bagi guru honorer. 


Niat baik menolong guru tersebut ternyata membawa mereka berhadapan dengan hukum, ditetapkan tersangka oleh kepolisian, dan disidang di pengadilan. Keduanya sempat divonis bebas oleh hakim pengadilan, tapi jaksa mengajukan kasasi. Pada 2023, melalui putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis bebas pengadilan sebelumnya dan menjatuhkan keduanya vonis penjara setahun. Berdasarkan putusan MA ini, pada 2025 keduanya diberhentikan secara tidak hormat sebagai ASN.


Kisah pilu dua guru ASN yang divonis penjara lantas dipecat tersebut telah mengguncang hati nurani publik Indonesia. Menurut vonis hakim, kesalahan fatal mereka adalah karena memungut iuran sukarela. Suatu tindakan yang bahkan disetujui oleh komite sekolah dengan tujuan mulia, yaitu membantu memberikan penghasilan bagi sepuluh guru honorer yang telah mengabdi tanpa bayaran selama sepuluh bulan. Kasus ini bukan sekadar anomali hukum. Ia adalah cerminan kegagalan sistem pendidikan nasional yang berulang. Sebuah tragedi modern yang menemukan bayangan suramnya dalam perjuangan yang telah lama dikisahkan oleh Andrea Hirata dalam novel ikoniknya, Laskar Pelangi.

Ambisi Digitalisasi Pendidikan

Selasa, 18 November 2025

Pendidikan adalah investasi paling krusial bagi masa depan bangsa, namun perjalanannya di Indonesia seringkali diwarnai ambisi besar yang disertai kontroversi dan mungkin pengabaian terhadap masalah fundamental. Dalam satu dekade terakhir, digitalisasi pendidikan dasar dan menengah telah menjadi program unggulan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, menelan anggaran triliunan rupiah untuk pengadaan perangkat keras. Namun, saat kebijakan ini bertransformasi dari era laptop Chrome menjadi era layar lebar, muncul pertanyaan mendasar: apakah angka gigantis dalam belanja perangkat keras ini benar-benar menjawab masalah utama pendidikan kita, ataukah ia sekadar mengalihkan perhatian dari jurang pemerataan kualitas yang semakin menganga?


Periode awal digitalisasi di bawah kepemimpinan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, ditandai dengan program pengadaan komputer jinjing berbasis Chrome secara besar-besaran. Tujuan program ini mulia, yakni menutup kesenjangan teknologi dan mempersiapkan peserta didik menghadapi era digital. Triliunan rupiah digelontorkan untuk membeli perangkat yang didistribusikan ke sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri. Sayangnya, program ambisius ini tidak berjalan mulus. Alih-alih menuai pujian, program ini justru tersandung masalah hukum. Ironi pahit muncul ketika Nadiem Makarim, sosok yang merintis program ini, kini harus berhadapan dengan konsekuensi hukum sebagai mantan menteri yang terseret dalam kasus pengadaan perangkat tersebut. Kontroversi ini tidak hanya mencoreng citra program, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang efektivitas pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan yang begitu besar.


Meski demikian, ganti rezim dan menteri tidak menghentikan arus digitalisasi. Program tersebut dilanjutkan dengan istilah dan perangkat yang berbeda. Kini, fokus bergeser dari perangkat personal siswa ke perangkat kelas yang komunal. Layar lebar dihadirkan di depan kelas sebagai alat bantu pengajaran yang diklaim lebih interaktif dan efektif. Anggaran yang digelontorkan pun tak kalah fantastis. Disebutkan bahwa untuk pengadaan perangkat ini saja, sekitar Rp2 triliun telah dibelanjakan pada tahun 2025, dengan rencana penambahan 1 juta unit lagi untuk tahun 2026. Presiden Prabowo menyebutnya sebagai salah satu program digitalisasi sekolah terbesar di dunia.

Membaca Ulang Amanat Konstitusi terhadap Polri

Senin, 17 November 2025

Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat wajah-wajah perwira polisi aktif yang tiba-tiba muncul di berbagai lembaga sipil. Mulai dari kementerian, BUMN, hingga badan-badan negara non kepolisian lainnya. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai penugasan di luar struktur Polri, telah lama menjadi perdebatan sengit di ruang publik. Apakah ini sebuah pengabdian yang melebar atau justru sebuah celah hukum yang menggerus profesionalisme dan netralitas institusi kepolisian?


Perdebatan panjang itu akhirnya menemukan titik terang melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan yang dibacakan pada 13 November 2025 secara fundamental mengubah peta karier bagi setiap anggota Polri yang berkeinginan menyeberang ke jabatan sipil. Inti dari putusan ini sangat sederhana, namun dampaknya luar biasa. Polisi aktif yang ingin menduduki jabatan di luar institusi kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu dari dinas Polri.


Mengapa putusan ini penting? Mari kita telisik ke belakang, tepatnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Pasal 28 ayat (3) UU Polri sudah jelas menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Kontroversi Gelar Pahlawan

Minggu, 16 November 2025

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghormatan tertinggi negara atas jasa luar biasa seorang individu. Namun, ketika gelar ini disematkan kepada figur yang memiliki warisan sejarah kompleks, seperti Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia, kontroversi pun tak terhindarkan. Polemik ini bukan hanya sekadar perdebatan moral, melainkan cerminan dari pergulatan bangsa Indonesia dalam menafsirkan dan mendamaikan masa lalunya yang terluka.


Kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto berakar pada dualitas warisannya. Di satu sisi, pendukungnya menyoroti perannya sebagai “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang masif selama 32 tahun masa Orde Baru (Orba). Mereka juga mengingat jasanya dalam pertempuran kemerdekaan dan kontribusinya dalam mengatasi krisis politik di akhir masa Orde Lama. 


Di sisi lain, penolakan keras datang dari kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia (HAM), dan korban Orba. Bagi mereka, gelar pahlawan bagi Soeharto adalah pengkhianatan terhadap keadilan sejarah. Mereka menudingnya bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terstruktur, serta pembungkaman kebebasan berpendapat. Menyandingkan jasa pembangunan dengan cacat moral dan etika kekuasaan ini menciptakan dilema etis yang mendalam.

Refleksi Keadilan di Indonesia

Sabtu, 15 November 2025

Drama Korea, Stranger (dikenal juga sebagai Forest of Secrets), pertama kali tayang pada tahun 2017 dan dengan cepat diakui sebagai salah satu serial thriller kriminal terbaik. Bukan sekadar kisah pembunuhan misterius, drama ini adalah gambaran cermat terhadap korupsi institusional yang menggerogoti sistem hukum Korea Selatan, khususnya di lembaga kejaksaan dan kepolisian. Dengan lakon Hwang Si-mok sebagai jaksa yang apatis secara emosional dan Han Yeo-jin sebagai letnan polisi yang gigih, menyajikan sebuah narasi film yang gelap, cerdas, dan sayangnya, mungkin relevan untuk direfleksikan dalam konteks hukum di Indonesia.


Inti dari Stranger adalah pencarian kebenaran di tengah kekuasaan yang busuk. Kisah dimulai ketika Jaksa Hwang Si-mok, seorang pria yang kehilangan kemampuan merasakan emosi akibat operasi otak, menemukan dirinya terlibat dalam kasus pembunuhan yang awalnya terlihat sederhana. Namun, penyelidikan yang dilakukan Hwang Si-mok dan Han Yeo-jin secara perlahan membuka tabir konspirasi yang jauh lebih besar. Pembunuhan itu ternyata hanyalah puncak gunung es dari sebuah jaringan korupsi terstruktur yang melibatkan pejabat tinggi kejaksaan, kepolisian, dan konglomerat besar. Jaringan tersebut berupa sistem patronase elit yang memastikan impunitas bagi para pelaku kejahatan kelas atas.


Kekuatan utama drama ini terletak pada kritik tajamnya terhadap kejaksaan. Di Korea Selatan, jaksa memiliki kekuasaan investigasi yang luar biasa. Mereka tidak hanya menuntut, tetapi juga memimpin penyelidikan. Kekuasaan ganda ini menjadi celah utama korupsi. Kejaksaan di Stranger dikisahkan bukanlah penjaga keadilan, melainkan sarang dari intrik politik, suap, dan pengkhianatan. Para pejabat jaksa senior digambarkan menggunakan wewenang mereka untuk menutupi kejahatan kolega, memanipulasi bukti, dan memperdagangkan informasi demi keuntungan pribadi. Mereka membentuk "hutan rahasia" di mana keadilan tersesat dan kekuasaan menjadi satu-satunya mata uang.

Ketika Amanah Jadi Komoditas

Jumat, 14 November 2025

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjaring Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Jumat, 7 November 2025.  Dua hari berselang KPK menetapkan bupati tersebut sebagai tersangka kasus suap jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di Pemkab Ponorogo. KPK juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka, yaitu Sekretaris Daerah, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), dan rekanan RSUD Ponorogo. 


Penangkapan Bupati Ponorogo bersama jajaran pejabatnya oleh KPK atas praktik jual beli jabatan adalah kabar yang menyakitkan namun tidak mengejutkan. Kasus ini, yang memperlihatkan birokrasi diperlakukan sebagai pasar lelang jabatan, merupakan manifestasi nyata dari tesis yang pernah diulas oleh sejarawan besar, Ong Hok Ham, dalam kumpulan esai klasiknya, “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang”.


Ong Hok Ham menganalisis bagaimana mitos kekuasaan tradisional Jawa, khususnya konsep wahyu kedaton (legitimasi spiritual atau moral pemimpin), terus berinteraksi dengan politik modern. Ketika wahyu itu diyakini melingkupi seorang pemimpin, ia bertindak dengan etika dan kewibawaan. Namun, kasus Ponorogo menunjukkan bahwa wahyu itu telah hilang.


Jual beli jabatan adalah indikasi dari ketiadaan wahyu moral seorang pemimpin. Jabatan publik, yang seharusnya diemban sebagai amanah spiritual dan etika pelayanan, diubah menjadi aset finansial yang dapat diperjualbelikan kepada penawar tertinggi. Jabatan, yang seharusnya diisi berdasarkan meritokrasi (kualifikasi, kompetensi, kinerja, dan kedisiplinan) justru diperlakukan layaknya komoditas lelang bagi mereka yang mampu membayar.

 

Label

kepegawaian (173) coretan (167) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) hukum (62) pustaka (62) keluarga (59) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)