Sejarah pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan adalah sejarah tentang ambisi yang berulang, proyek-proyek pembangunan nasional, dan “bongkar pasang” kurikulum. Kurikulum sebagai jantung sistem pendidikan secara inheren mencerminkan kebutuhan politik, ekonomi, dan ideologis sebuah bangsa pada masa tertentu. Namun, frekuensi dan sifat perubahan kurikulum yang seringkali bersifat ad-hoc telah menciptakan pola ketidakstabilan. Pola historis inilah yang kini kembali terlihat dalam polemik seputar peluncuran modul edukasi gizi sebagai komponen wajib pendamping program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dianggap berpotensi mengacaukan kurikulum dan menambah beban guru.
Sejak Kurikulum Rencana Pelajaran 1947, yang berfokus pada pembentukan karakter manusia merdeka, hingga Kurikulum Merdeka saat ini, setiap pergantian selalu membawa mandat baru. Di era Orde Lama, kurikulum diarahkan untuk mendukung semangat revolusi. Kemudian, pada masa Orde Baru kurikulum berubah menjadi alat pembangunan, menekankan keterampilan praktis, dan pendidikan moral Pancasila. Kurikulum 1975, 1984, dan 1994, misalnya, terus-menerus menyesuaikan diri dengan arah pembangunan jangka panjang. Setiap perubahan menuntut guru untuk beradaptasi dengan konsep, materi, dan metodologi baru.
Siklus ini menunjukkan bahwa kurikulum di Indonesia sering kali berfungsi sebagai wadah untuk menyuntikkan kebijakan eksternal, bukan sekadar kerangka pedagogis murni. Ketika pemerintah memiliki visi atau program prioritas—seperti wajib belajar, penanaman ideologi, atau kini, perbaikan gizi—sistem pendidikan menjadi saluran implementasi paling efektif. Namun, ini menciptakan dua masalah utama, yaitu pertama, beban guru yang bertambah dan kedua, integritas kurikulum yang tergerus.
Polemik modul edukasi gizi MBG mencerminkan dengan tepat masalah kedua. Modul tersebut, yang disusun oleh Kemendikdasmen dan diluncurkan oleh Wamen Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq, bertujuan mulia untuk mengintegrasikan pemahaman gizi. Namun, kritik keras datang dari pihak profesional. Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Imam Zanatul Haeri, secara fundamental menyoroti bahwa materi modul tersebut tidak memiliki landasan hukum dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Capaian Pembelajaran. Capaian Pembelajaran adalah rujukan kurikulum nasional utnuk menjamin konsistensi materi ajar. Ketika sebuah materi dipaksakan masuk tanpa fondasi Capaian Pembelajaran, ia menjadi intervensi kebijakan yang tidak memiliki landasan pedagogis maupun relevansi struktural dengan tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Ini secara langsung mengganggu stabilitas kurikulum yang telah diperjuangkan.