Sekeping Memori tentang Bosnia

Senin, 01 Desember 2025

Saya masih ingat betul, tahun-tahun itu adalah era di mana dunia terasa jauh lebih lambat. Tahun 1992 hingga 1995 saya masih duduk di bangku sekolah dengan seragam putih-biru dan putih-abu-abu. Berita dunia, bagi kami datang dari satu sumber utama, yaitu TVRI, atau dari lembaran koran yang saya baca di persewaan komik dan novel dekat Pasar Besar Kota Madiun. 


Saat itulah, di antara berita pembangunan desa dan lagu wajib nasional, muncul nama-nama asing: Sarajevo, Srebrenica, Bosnia, Yugoslavia. Ada perang di sana. Perang yang aneh, karena orang-orang yang berperang terlihat sama, berpakaian sama, tapi tiba-tiba saling membunuh karena identitas yang memisahkan mereka. Sebagai remaja Indonesia yang hidup nyaman di bawah sinar matahari khatulistiwa, sulit sekali mencerna mengapa perpecahan etnis dan agama bisa berujung pada kekejaman yang begitu terorganisir.


Saya tahu ada genosida, ada penembakan, ada konflik antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia. Semua terasa seperti narasi buku sejarah yang letaknya ribuan kilometer dari sini. Tapi, cerita itu benar-benar menjadi nyata, menjadi personal, ketika bertahun-tahun kemudian saya menonton film “Quo Vadis, Aida?” karya sutradara Jasmila Žbanić.


Film ini bukan hanya pelajaran sejarah. Ini adalah tamparan emosional yang memaksa kita melihat langsung ke lokasi tragedi. Film ini berlatar belakang Juli 1995, pada saat terjadinya Pembantaian Srebrenica, salah satu halaman paling gelap dalam sejarah Eropa pasca Perang Dunia II.


Karakter utama film tersebut adalah Aida Selmanagić, seorang penerjemah bahasa Inggris untuk pasukan penjaga perdamaian PBB di Srebrenica. Srebrenica saat itu adalah zona aman di bawah perlindungan PBB, tapi kenyataannya benteng itu lebih rapuh daripada yang dibayangkan siapa pun.


Aida bukan seorang tentara atau politisi. Dia seorang guru bahasa yang tiba-tiba didorong ke garis depan konflik, satu-satunya orang yang bisa menghubungkan teriakan ketakutan warga Bosnia dengan jargon birokrasi dan kehati-hatian para perwira Belanda dari PBB. Dia punya akses, dia punya informasi, tapi yang paling penting, dia punya suami dan dua putra yang harus diselamatkan.


Ketika pasukan Serbia Bosnia yang dipimpin Jenderal Ratko Mladić mengambil alih Srebrenica, ribuan warga sipil yang panik berbondong-bondong menuju markas PBB, berharap tembok biru dan bendera PBB bisa menjamin keselamatan mereka. Aida, dengan rompi birunya, bergerak di antara koridor yang kacau, berusaha keras menggunakan pengetahuannya dan koneksinya untuk mendapatkan tempat yang aman bagi keluarganya.


Bagian yang paling menghancurkan dari film ini adalah pergulatan Aida. Dia mendengar perintah rahasia, dia mengerti implikasi dari janji-janji kosong, dan dia tahu apa yang akan terjadi ketika para pria dipisahkan dari wanita dengan dalih interogasi.


Bayangkan posisi Aida. Dia memegang kunci, yaitu informasi yang bisa menyelamatkan atau membunuh, namun otoritasnya sangat terbatas. Dia menerjemahkan kebohongan yang manis dari Mladić kepada perwira PBB, sekaligus menerjemahkan keputusasaan warga kepada komandan yang cemas dan tidak berdaya. Saya menontonnya bernegosiasi, memohon, bahkan mencuri akses untuk memasukkan keluarganya ke dalam daftar pekerja PBB, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa bahkan PBB pun tidak dapat melindungi dirinya sendiri, apalagi puluhan ribu orang di luar.


Momentum ketika para pria—termasuk suami dan putranya—dipaksa keluar dari markas PBB menuju bus yang akan membawa mereka, konon ke tempat aman, adalah klimaks cerita. Saya tahu, sebagai penonton, apa yang menunggu mereka. Saya melihat adegan Aida berlari di sepanjang bus, mencoba berinteraksi, mencoba memastikan mereka tidak dilupakan. Itu bukan hanya adegan perpisahan. Itu adalah adegan keputusasaan total.


Film ini mengajarkan kepada saya bahwa genosida tidak terjadi dalam sekejap mata, melainkan melalui serangkaian keputusan kecil, melalui penolakan tanggung jawab, dan melalui kegagalan sistem internasional untuk bertindak. Kegagalan PBB, yang diwakili oleh tentara Belanda yang tak berdaya dan terperangkap, adalah kisah lain tentang bagaimana institusi besar bisa lumpuh oleh birokrasi dan ketakutan.


Setelah pembantaian, film ini melompat ke masa depan. Aida kembali ke Srebrenica, kota yang telah dicabik-cabik oleh perang dan kehilangan. Dia kembali sebagai guru, mencoba melanjutkan kehidupan di antara trauma masa lalu. Momen terakhirnya, saat ia berdiri di atas panggung dan melihat wajah-wajah murid dan orang tua mereka—beberapa adalah penyintas, beberapa adalah pelaku—adalah gambaran tentang bagaimana sebuah komunitas harus hidup berdampingan dengan trauma yang tak tersembuhkan.


Dulu, saat saya remaja, Bosnia hanyalah berita jauh di TVRI. Setelah menonton “Quo Vadis, Aida?”, Bosnia adalah wajah Aida yang dipenuhi air mata dan keringat, wajah seorang ibu yang gagal menyelamatkan keluarganya bukan karena dia tidak mencoba, tapi karena dunia saat itu menutup mata. Ini adalah pengingat personal bahwa perang, betapapun jauhnya, selalu meninggalkan luka yang sama, yaitu luka kemanusiaan.


Saya belum pernah ke Bosnia. Saat ini Bosnia dan kota-kotanya seperti Sarajevo, Srebenica, dan lain-lain mestinya sudah bangkit dari keterpurukan perang di tahun 90-an. Di sudut-sudut kota mungkin dipenuhi warung kopi yang dikunjungi penduduknya yang suka humor. Berdiskusi tentang politik, olahraga, atau sekadar menikmati matahari sore. Gunung-gunung indah yang dulu menjadi tempat penembak jitu, kini menjadi lokasi wisata ski dan jalur hiking.


Dan di tengah cerita kebangkitan itu, datanglah kabar yang sungguh membanggakan. Teman sekolah saya berkesempatan berkunjung ke Sarajevo, Bosnia untuk mementaskan kesenian Indonesia. Ini adalah simbol kuat dari koneksi budaya, di mana seni menjadi jembatan antara dua negara yang terpisah jauh, tetapi disatukan oleh rasa kemanusiaan.


Bosnia saat ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa meskipun sejarah meninggalkan bekas luka yang dalam, semangat manusia untuk bangkit, merayakan kehidupan, dan menyambut dunia luar akan selalu lebih kuat daripada puing-puing perang. Dan sungguh membanggakan, melihat teman saya dari Madiun menjadi bagian dari perayaan kehidupan di sana. 


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (144) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (56) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)