Nama Ferry Irwandi tiba-tiba melesat ke puncak trending di platform X (dulu Twitter). Bukan karena prank atau drama, melainkan sebuah aksi heroik yang menggetarkan hati. Ia berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp10 miliar dalam waktu kurang dari 24 jam untuk korban banjir Sumatera. Sebuah angka yang fantastis, sebuah kecepatan yang mencengangkan, dan sebuah bukti nyata bahwa niat baik ketika dikemas dengan cara yang benar bisa melahirkan gelombang kebaikan yang tak terbendung.
Ferry Irwandi, pendiri Malaka Project dan seorang kreator konten yang dikenal kritis dan cerdas, menggunakan pengaruhnya secara maksimal. Melalui akun Instagram-nya, @irwandiferry, ia mengumumkan keberhasilan fundraising di platform KitaBisa yang mencapai angka Rp 10.374.064.800 dari 87.605 donatur. Bayangkan, puluhan ribu orang, dalam satu hari, bergerak serempak menyalurkan rezeki mereka. Ini bukan lagi sekadar donasi, ini adalah manifestasi kolektif dari empati warganet Indonesia.
Keberhasilan Ferry ini bukan sekadar tentang angka, tapi tentang pilihan peran yang tepat. Warganet di X ramai-ramai memberikan apresiasi tinggi. Bagi mereka, langkah Ferry sebagai kreator konten untuk menggalang dana adalah langkah yang paling strategis dan berdampak di tengah situasi bencana. Seorang kreator konten memiliki kekuatan untuk memviralkan isu, menyentuh emosi publik, dan menciptakan ajakan yang massif. Dan Ferry membuktikan ia menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan.
Sangat wajar jika kemudian muncul perbandingan. Dalam trending topic yang sama, warganet lantas menarik garis kontras yang tajam antara aksi Ferry dengan tindakan salah satu figur publik lain: Zulhas, seorang menteri di kabinet Presiden Prabowo.
Ketika Ferry memilih beraksi dari Jakarta dengan jari-jarinya, memfokuskan energinya untuk mengumpulkan sumber daya, Zulhas malah memilih datang langsung ke lokasi bencana. Sekilas, kehadiran pejabat di lokasi mungkin terlihat sebagai bentuk perhatian. Namun, di mata warganet yang kritis, kehadiran tersebut dinilai sebagai tindakan pencitraan yang tidak penting. Aksi-aksi seperti memikul karung beras di depan kamera atau mengepel lumpur sisa banjir bukannya mendapat simpati, malah menuai cibiran.
Mengapa? Karena seorang menteri memegang posisi dan kapasitas yang jauh lebih besar dan vital daripada sekadar menjadi relawan dadakan. Kapasitas seorang menteri adalah membuat kebijakan, mengalokasikan anggaran negara, dan menggerakkan institusi birokrasi untuk menangani bencana secara sistematis dan jangka panjang. Warganet berargumen, waktu dan energi yang dihabiskan untuk pencitraan seharusnya digunakan untuk rapat koordinasi darurat, memastikan logistik tiba tepat waktu, atau merancang strategi pemulihan pasca-bencana.
Di era sekarang seorang kreator konten memiliki dua modal utama yang sangat berharga, yaitu kepercayaan (trust) dan jangkauan (reach). Dengan track record sebagai kreator konten yang dipercaya, ia membangun kredibilitas yang membuat ribuan orang tanpa ragu mendonasikan uang mereka dalam sekejap. Mereka percaya, dana tersebut akan disalurkan dengan transparan dan bertanggung jawab.
Sedangkan dari sisi jangkauan, kekuatan algortima media sosial memungkinkan pesan kreator konten tentang donasi mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan pasang mata dalam hitungan menit. Ini adalah kecepatan dan efisiensi yang sulit ditandingi oleh media konvensional atau bahkan himbauan formal dari birokrasi. Keberhasilan ini memberikan pesan penting kepada semua influencer dan kreator konten, bahwa platform adalah megafon raksasa, maka gunakan untuk tujuan yang benar.
Banjir akan surut, lumpur akan mengering, dan karung beras akan habis. Namun, yang paling dibutuhkan oleh korban bencana adalah dana untuk membangun kembali hidup, membeli kebutuhan sandang pangan, dan memulihkan trauma. Inilah fokus yang dipilih oleh Ferry Irwandi.
Di sisi lain, kisah ini juga menjadi pengingat dan tamparan keras. Bencana adalah momen untuk menunjukkan kepemimpinan sejati, bukan sekadar akting di depan kamera. Kepemimpinan sejati diukur dari kebijakan yang dikeluarkan, dana yang dikucurkan, dan kecepatan institusi bergerak, bukan dari seberapa bersih baju yang dipakai saat mengepel lantai berlumpur.
Ferry Irwandi membuktikan bahwa solidaritas sipil yang dimotori oleh kreator konten bisa menjadi kekuatan penyelamat yang tak terduga. Total donasi Rp10 miliar dalam 24 jam adalah pengingat bahwa hati nurani bangsa ini sangatlah kaya. Pelajaran terbesar dari kisah ini sederhana, “Lakukan apa yang menjadi peranmu, lakukan dengan tulus, dan dampaknya akan melampaui segala bentuk pencitraan.”

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya