Setiap tanggal 29 November, Aparatur Sipil Negara (ASN) merayakan Hari Ulang Tahun Korps Pegawai Republik Indonesia (HUT Korpri). Seragam batik biru menjadi penanda solidaritas jutaan abdi negara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Perayaan yang seharusnya bukan sekadar rutinitas upacara, melainkan momen penting untuk merefleksikan kembali posisi strategis Korpri dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Namun, merefleksikan Korpri hari ini berarti menempatkannya di bawah kacamata teori birokrasi klasik Max Weber. Sosiolog Jerman ini memimpikan birokrasi sebagai sebuah mesin yang beroperasi berdasarkan prinsip rasionalitas, legalitas, dan impersonalitas. Dalam konteks Korpri, ini berarti ASN harus bekerja secara profesional, sesuai aturan, dan melayani semua orang tanpa memandang kepentingan pribadi atau politik.
Sayangnya, realitas di lapangan sering menciptakan jurang lebar antara cita-cita Weberian dan praktik keseharian, yang ditandai dengan ancaman politik, kriminalisasi, dan ketidakadilan ekonomi.
Prinsip utama birokrasi Weber adalah impersonalitas atau ketidakberpihakan. Pegawai digaji dan diangkat berdasarkan kompetensi, bukan loyalitas personal kepada atasan atau partai politik. Korpri secara eksplisit mengadopsi prinsip ini melalui doktrin netralitas ASN. Namun, di era desentralisasi birokrasi justru rentan terhadap politisasi. Kepala daerah sebagai pejabat politik adalah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang berwenang menentukan promosi dan demosi para ASN.
Inilah awal dari masalah. Ketika pergantian kepemimpinan daerah terjadi, tak jarang terjadi perombakan jabatan secara masif. Kasus yang sering mengemuka, misalnya, adalah pencopotan pejabat eselon II di beberapa daerah, seperti yang pernah terjadi di Pati dan Ponorogo. Agus Eko Wibowo diberhentikan oleh Bupati Pati dari jabatan eselon II Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan, sedangkan Gulang Winarno diberhentikan oleh Bupati Ponorogo dari jabatan eselon II Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Keduanya menjadi staf biasa di Dinas Perpustakaan masing-masing kabupaten.
Pejabat-pejabat yang dicopot, meskipun mungkin kompeten, kerap diyakini menjadi korban bersih-bersih politik karena dianggap tidak mendukung dalam kampanye kepala daerah terpilih atau terafiliasi dengan rezim sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa di banyak tempat, idealisme impersonalitas telah digantikan oleh realitas patronase politik. ASN terpaksa memasang radar politik yang sensitif demi mengamankan posisi mereka, padahal energi tersebut seharusnya dicurahkan sepenuhnya untuk pelayanan publik. Ketika jabatan tidak lagi ditentukan oleh prestasi sebagaimana rasionalitas Weber, tetapi oleh kedekatan atau kebencian politik, integritas institusi birokrasi akan runtuh.
Teori Birokrasi Weber yang lain adalah prinsip legalitas yang mengharuskan ASN untuk bertindak sesuai aturan tertulis dan prosedur yang jelas. Ironisnya, legalitas inilah yang kini menjadi sumber ketakutan terbesar bagi sebagian, bahkan banyak ASN. Di satu sisi, mereka dituntut inovatif dan cepat melayani, di sisi lain tumpukan regulasi yang tumpang tindih berpotensi menjerat mereka ke ranah hukum. Ketakutan akan kriminalisasi telah menyebabkan sindrom “birokrasi nihil risiko”, sebuah kondisi di mana ASN lebih memilih menunda keputusan penting daripada mengambil risiko dituntut karena kesalahan prosedural.
Sayangnya, risiko yang dihadapi ASN tidak selalu berakhir di persidangan. Kasus pembunuhan tragis ASN adalah contoh ekstrem bagaimana perjuangan menegakkan legalitas dan kebenaran bisa berujung fatal. Paulus Iwan Boedi Prasetyo, ASN Pemkot Semarang, dilaporkan hilang sehari sebelum ia dijadwalkan memberi keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi. Beberapa minggu kemudian jasadnya ditemukan di dekat pantai dalam kondisi yang mengenaskan. Kejadian semacam ini mengirimkan pesan mengerikan kepada seluruh korps: bahwa berintegritas dan jujur bisa mengancam nyawa.
Hari Korpri harus menjadi seruan keras bahwa negara harus menyediakan perlindungan hukum nyata bagi ASN yang berani melaporkan korupsi dan mengambil keputusan strategis dengan itikad baik. Jika integritas dihukum dan ketakutan dipelihara, maka rasionalitas birokrasi hanya akan menjadi catatan kaki yang dilupakan.
Prinsip Weberian lainnya adalah remunerasi yang jelas sebagai balasan atas pengabdian penuh waktu. Ini menjamin bahwa pegawai akan fokus pada tugasnya, dan secara tidak langsung berfungsi sebagai pencegahan terhadap korupsi.
Namun, sistem remunerasi tambahan di Indonesia, melalui Tunjangan Kinerja (Tukin) di pusat dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) di daerah, menciptakan ketidakadilan ekonomi yang masif. Seorang ASN yang bekerja di instansi pusat yang kaya atau di Pemda yang makmur bisa mendapatkan total penghasilan berkali-kali lipat dari ASN di daerah lain yang memiliki beban kerja serupa. Kesenjangan ini melanggar idealisme Korpri sebagai korps yang satu dan setara.
Dampaknya? Terjadi “brain drain” birokrasi, di mana ASN yang paling kompeten dan berprestasi berbondong-bondong mengajukan pindah ke instansi dengan Tukin/TPP tinggi. Akibatnya, daerah-daerah yang paling membutuhkan ASN berkualitas (daerah 3T) justru kehilangan sumber daya manusianya. Sistem remunerasi yang tidak merata ini pada akhirnya tidak memberi penghargaan pada kompetensi, tetapi pada letak geografis instansi.
Hari Korpri seharusnya bukan hanya tentang peringatan atau sekadar pertandingan olah raga antar dinas, tetapi tentang kebangkitan untuk mengembalikan Korpri ke jalur idealnya. Para ASN sudah memberikan loyalitas dan tenaga. Kini, saatnya sistem memberikan apa yang menjadi hak mereka, yaitu berikan kepastian netralitas, suatu jaminan politik bahwa karier tidak akan diganggu gugat oleh pergantian kekuasaan. Berikutnya adalah perlindungan hukum sebagai perisai hukum yang tegas bagi ASN yang berintegritas. Dan terakhir, kesejahteraan merata dengan penerapan sistem penggajian yang adil (seperti single salary system yang sering didengungkan) untuk menghilangkan diskriminasi Tukin/TPP.
Jika tiga jaminan ini dipenuhi, maka batik biru Korpri tidak hanya akan menjadi seragam yang dikenakan saat upacara, tetapi simbol dari birokrasi rasional dan profesional. Sebuah mesin pelayanan yang bekerja tanpa takut, tanpa berpihak, dan dengan martabat yang setara di seluruh pelosok Republik.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya