Film “Hotel Rwanda” (2004) bukan sekadar tontonan biasa. Film ini ibarat pukulan telak ke ulu hati, sebuah pengingat tentang apa yang terjadi ketika kebencian etnis dibiarkan merajalela. Disutradarai oleh Terry George, film ini menceritakan kisah nyata Paul Rusesabagina (diperankan dengan memukau oleh Don Cheadle), seorang manajer hotel di Kigali, Rwanda, yang mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan lebih dari seribu pengungsi Hutu dan Tutsi selama genosida Rwanda, Afrika pada tahun 1994.
Dengan gaya bahasa yang lugas namun menggugah, film ini membawa kita melihat kengerian genosida dari balik tembok Hotel des Mille Collines. Paul, yang merupakan seorang bersuku Hutu beristri suku Tutsi, menggunakan koneksi dan kecerdikannya untuk menjaga hotelnya beserta para pengungsi di dalamnya agar tetap aman dari milisi Interahamwe yang beringas. Ia bukan seorang pahlawan bersenjata, melainkan orang biasa yang melawan kegilaan dengan akal sehat dan secercah kemanusiaan.
Salah satu aspek paling menyayat dari film ini adalah bagaimana ia menunjukkan rapuhnya perdamaian dan betapa cepatnya masyarakat bisa tergelincir ke dalam jurang kekerasan massal. Perpecahan antara etnis Hutu dan Tutsi, yang pada dasarnya dipicu oleh politik kolonial yang menekankan perbedaan fisik dan kelas, meledak menjadi pembantaian yang merenggut nyawa hampir satu juta orang dalam waktu kurang dari seratus hari. Film ini dengan gamblang menampilkan bagaimana propaganda media (melalui Radio Télévision Libre des Mille Collines) meracuni pikiran, mengubah tetangga menjadi algojo, dan kemanusiaan menjadi barang langka.
Namun, di tengah kegelapan itu, Paul Rusesabagina bersinar terang. Tindakannya menunjukkan bahwa di saat-saat paling gelap, pilihan untuk berbuat baik selalu ada. Ia mengajarkan kita bahwa keberanian sejati sering kali bukan tentang mengangkat senjata, melainkan tentang memilih untuk melindungi yang lemah, bahkan ketika seluruh dunia memilih untuk berpaling. Ini sebuah kritik pedas terhadap keengganan komunitas internasional untuk campur tangan dalam konflik tersebut.
Kisah tragis di Rwanda, meskipun terpisah ribuan kilometer dan berbeda konteks sejarah, membangkitkan ingatan akan konflik serupa yang pernah merobek keharmonisan di Indonesia, khususnya konflik etnis antara Dayak dan Madura di Pulau Borneo atau Kalimantan.
Konflik yang mencapai puncaknya pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, terutama di Sambas (1999) dan Sampit (2001), adalah salah satu babak paling kelam dalam sejarah modern Indonesia. Konflik ini bukanlah peristiwa tunggal, melainkan akumulasi dari ketegangan sosial-ekonomi, perebutan sumber daya, dan perbedaan budaya yang sudah lama mengakar. Apalagi, diperparah oleh isu migrasi dan ketidakadilan agraria.
Para pendatang Madura, yang datang melalui program transmigrasi atau inisiatif mandiri, sering kali mendiami wilayah baru dengan pola hidup dan ekonomi yang berbeda dari penduduk asli Dayak. Gesekan kecil, yang pada mulanya hanya berupa perselisihan antarindividu atau antarkeluarga, akhirnya tereskalasi menjadi kekerasan komunal besar.
Meskipun genosida di Rwanda jauh lebih terorganisir dan masif dibandingkan dengan kerusuhan komunal di Kalimantan, terdapat beberapa persamaan mendasar yang dapat kita tarik. Pertama, struktur kelompok yang berbeda. Baik di Rwanda maupun di Kalimantan, terdapat identitas kelompok yang jelas. Di Rwanda ada Hutu dan Tutsi sedangkan di Kalimantan ada Dayak dan Madura. Ketegangan kemudian dieksploitasi dan diperkuat oleh narasi yang membedakan “kita” dan “mereka”.
Kedua, pemicu kecil yang meledak besar. Baik pembunuhan di Rwanda maupun perselisihan kecil di Kalimantan berfungsi sebagai percikan api yang membakar sumbu dendam dan ketidakpercayaan yang sudah menumpuk. Dan, ketiga, keterlibatan massa. Kedua konflik melibatkan partisipasi massa yang luas dalam aksi kekerasan, bukan hanya aktor negara atau milisi. Kebencian, begitu dilepaskan, menyebar dengan cepat dan tak terkendali.
Jika di Rwanda kita memiliki Paul Rusesabagina yang berdiri sebagai tembok pertahanan kemanusiaan di sebuah hotel, maka di Kalimantan, upaya meredam konflik juga melibatkan banyak “pahlawan” lokal: tokoh adat Dayak, ulama Madura, pemuda, dan aparat keamanan yang berani mengambil risiko untuk menghentikan pembantaian dan mengajak dialog. Mereka menolak pilihan pembalasan dan memilih jalan perdamaian.
Namun, yang paling penting dari kisah-kisah ini adalah pelajaran pencegahan. “Hotel Rwanda” mengajarkan kita bahwa institusi internasional gagal. Konflik Kalimantan mengajarkan kita bahwa institusi lokal dan negara terlambat bertindak. Kedua peristiwa ini adalah pengingat bahwa kebencian etnis tidak pernah datang tiba-tiba. Ia laksana bara yang dipelihara dalam diam, dan film ini, serta ingatan akan Sampit, adalah sirene peringatan yang tak boleh diabaikan.
Indonesia, dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya, harus terus berjuang memastikan bahwa keragaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kita harus terus melawan narasi yang memecah-belah, memastikan keadilan sosial-ekonomi yang merata (terutama dalam isu tanah dan sumber daya), dan yang terpenting, mendidik generasi muda untuk menghargai setiap perbedaan. Hanya dengan terus-menerus merawat dialog dan mengedepankan empati, kita dapat memastikan bahwa kisah-kisah tragis seperti yang dialami Rwanda dan Kalimantan tetap terkunci dalam buku sejarah, dan tidak pernah terulang kembali dalam kehidupan nyata.
“Hotel Rwanda” adalah film yang penting, bukan hanya karena ia mendokumentasikan kengerian, tetapi karena ia memaksa kita melihat diri kita sendiri, melihat potensi kegelapan yang ada dalam setiap masyarakat, dan yang lebih penting, melihat potensi keberanian dalam diri orang biasa seperti Paul Rusesabagina.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya