Tantangan Tata Kelola Impor Beras

Minggu, 07 Desember 2025

Isu pangan, khususnya beras, selalu menjadi urat nadi politik dan stabilitas ekonomi di Indonesia. Belakangan ini, perhatian publik mengarah ke temuan mengejutkan, yaitu masuknya 250 ton beras secara ilegal melalui Sabang, dengan indikasi serupa di Batam, tanpa persetujuan pemerintah pusat. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di tengah klaim stok beras nasional yang melimpah dan instruksi tegas presiden mengenai larangan impor. Menanggapi temuan ini, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, telah melancarkan ancaman serius untuk mencopot pejabat Kementan, termasuk di level Direktur Jenderal, jika terbukti terlibat dalam praktik kecurangan impor ilegal. 


Skandal ini bukan sekadar pelanggaran ekonomi, melainkan cerminan dari tantangan integritas tata kelola pangan yang telah berakar dalam sejarah panjang Indonesia. Oleh karena itu, janji Menteri Pertanian selain dicatat tebal, juga harus diikuti dengan penegasan bahwa investigasi yang akan dilakukan harus berjalan fair.


Untuk memahami mengapa impor beras ilegal dengan skala 250 ton tersebut terjadi, kita perlu melihat ke belakang. Sejak kemerdekaan, impor beras telah menjadi polemik dan sebuah ironi bagi Indonesia, suatu negara agraris yang semestinya mampu berswasembada.


Sebagaimana diuraikan dalam sejarah, upaya menjaga kedaulatan pangan melalui pemenuhan kebutuhan beras sudah dilakukan sejak Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947). Program swasembada beras yang dicanangkan oleh I.J. Kasimo pada 1948 bertujuan mulia, salah satunya untuk menghemat devisa. Namun, tantangan berupa pertambahan penduduk dan fluktuasi produksi selalu memaksa pemerintah mengambil jalan impor. Dalam perjalanannya di era 1950-an, kebijakan impor ini seringkali diwarnai intrik, mulai dari penunjukan lisensi tunggal kepada pihak tertentu (seperti Kian Guan Concer) hingga pembukaan tender yang mendorong perusahaan nasional membangun jaringan di negara pengimpor.


Pola ini menunjukkan bahwa komoditas beras, sejak dulu telah menjadi lahan basah yang melibatkan mekanisme perizinan yang sentralistik dan membuka celah bagi pemburu rente. Kasus impor ilegal pada November 2025 ini, yang diduga memanfaatkan status free trade zone (FTZ) untuk mengakali aturan impor, merupakan evolusi kontemporer dari pola lama tersebut. Jika dahulu permainan terjadi pada penentuan kuota impor resmi, kini celah itu dieksploitasi melalui manipulasi status kawasan pabean untuk memasukkan barang yang dilarang.


Ancaman Amran Sulaiman untuk mencopot pejabat hingga level Dirjen menggarisbawahi satu fakta krusial, bahwa lolosnya 250 ton beras mustahil hanya ulah “tikus pelabuhan” atau pejabat rendahan. Volume sebesar itu memerlukan jaringan logistik, koordinasi pabean, dan perlindungan politik yang terorganisasi. Ini adalah ciri khas dari apa yang sering disebut mafia pangan.


Penyalahgunaan status FTZ, yang seharusnya untuk mendukung industri ekspor, menjadi modus operandi yang hanya bisa dijalankan dengan persetujuan atau pembiaran dari pihak yang memiliki otoritas perizinan dan pengawasan tinggi di kementerian terkait, pelabuhan, dan bea cukai. Oleh karena itu, janji Menteri Pertanian untuk membersihkan internal kementeriannya adalah langkah yang patut diapresiasi, tetapi juga harus dilihat dengan kewaspadaan. Ancaman pencopotan tidak boleh berhenti pada level wacana atau hanya menumbalkan satu atau dua pejabat untuk meredam kegaduhan publik.


Kekuatan janji Menteri Pertanian terletak pada eksekusi janji tersebut. Publik menuntut penegasan bahwa investigasi harus berjalan fair. Keadilan dalam kasus ini berarti menjangkau seluruh rantai komando, dari pelaksana lapangan di Sabang hingga pemegang kebijakan perizinan di Jakarta. Keterbukaan harus menjadi prinsip utama. Seluruh proses pemeriksaan, baik internal Kementan maupun penegakan hukum (Bea Cukai, Kepolisian) harus transparan. Siapa saja importir yang terlibat? Siapa saja pejabat yang memberikan fasilitas atau membiarkan? Dan bagaimana mekanisme penyalahgunaan FTZ itu dirancang? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini harus diungkap secara jelas kepada publik.


Kasus impor beras ilegal 250 ton melalui Sabang dan Batam adalah alarm keras bagi integritas tata kelola pangan nasional. Hal ini mengingatkan kita bahwa masalah impor beras di Indonesia bukan hanya soal defisit produksi atau ketidakmampuan bernegara.


Janji Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, untuk mencopot pejabat yang terlibat, adalah langkah yang wajib ditindaklanjuti. Namun, publik menunggu lebih dari sekadar janji. Penegasan penting yang perlu ditebalkan adalah tuntutan investigasi yang adil, terbuka, dan tanpa kompromi. Hanya dengan memutus mata rantai keterlibatan pejabat tinggi dan mafia, Indonesia dapat benar-benar mengamankan kedaulatan pangannya dan mengakhiri ironi sejarah bahwa beras, sebagai makanan pokok, terus-menerus menjadi alat politik dan komoditas penyelewengan. Keberhasilan investigasi ini akan menjadi tolok ukur serius bagi komitmen pemerintah dalam membersihkan birokrasi.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (153) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) hukum (58) keluarga (58) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)