“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu...”
Petikan lirik lagu “Ibu” karya Iwan Fals di atas selalu berhasil menyentuh relung hati terdalam siapa pun yang mendengarnya. Suara parau Iwan Fals seolah mewakili deru napas seorang ibu yang tak pernah lelah berjalan demi masa depan buah hatinya. Lagu ini bukan sekadar melodi, melainkan sebuah potret tentang pengorbanan. Di sana, kita melihat sosok yang rela menjadi pijakan agar anaknya bisa memetik bintang. Hati seorang ibu ibarat sebuah semesta yang luas. Ia menyimpan duka dengan rapi dan membagikan bahagia dengan cuma-cuma.
Namun, di Indonesia, makna “Ibu” memiliki dimensi yang jauh lebih besar daripada sekadar urusan domestik atau kasih sayang di meja makan. Jika kita menilik sejarah, Hari Ibu yang kita rayakan setiap tanggal 22 Desember memiliki akar perjuangan yang sangat kuat. Banyak yang mengira Hari Ibu di Indonesia sama dengan Mother’s Day di Barat. Padahal, sejarah mencatat bahwa Hari Ibu lahir dari semangat emansipasi dan politik.
Pada 22-25 Desember 1928, untuk pertama kalinya digelar Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Kala itu, para ibu dari berbagai organisasi berkumpul bukan untuk membahas resep masakan atau arisan rutin bulanan, melainkan untuk membicarakan nasib bangsa, pendidikan bagi perempuan, dan hak-hak dalam perkawinan. Mereka sadar bahwa ibu adalah fondasi peradaban. Jika ibunya cerdas dan berdaya, maka bangsa ini akan merdeka dengan kepala tegak. Itulah mengapa perayaan Hari Ibu di Indonesia sebenarnya perayaan atas kekuatan intelektual dan semangat juang perempuan.
Semangat dari tahun 1928 itu tidak pernah padam. Ia terus mengalir dalam nadi perempuan-perempuan hebat masa kini yang membawa perubahan nyata bagi masyarakat.
Salah satu bukti nyata bahwa hati ibu bisa menerangi sebuah negeri adalah sosok Tri Mumpuni. Beliau sering dijuluki sebagai “Ibu Listrik”. Bayangkan, di saat banyak orang mengejar karier di gedung pencakar langit, Tri Mumpuni justru keluar masuk desa terpencil yang belum terjamah listrik.
Dengan hati seorang ibu yang tak tega melihat anak-anak belajar di bawah temaram lilin, ia mempelopori pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Tri Mumpuni tidak sekadar membawa teknologi. Ia membangun kemandirian desa. Ia merangkul penduduk lokal, mengajari mereka mengelola sumber daya air, hingga akhirnya lebih dari 60 desa di Indonesia yang dulunya gelap gulita kini terang benderang.
Baginya, menerangi sebuah desa seperti mengasuh anak sendiri. Butuh kesabaran, pendampingan, dan cinta. Kerja kerasnya bahkan mendapat pengakuan dunia, di antaranya Climate Hero 2005 dari World Wildlife Fund for Nature, Penghargaan Ramon Magsaysay 2011, dan Ashden Award 2012. Hati Tri Mumpuni membuktikan bahwa kasih ibu bisa menjelma menjadi energi yang menggerakkan ekonomi dan pendidikan.
Bergeser ke timur Indonesia, kita bertemu dengan Petronela Merauje, seorang perempuan perkasa dari Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Jika Tri Mumpuni menerangi desa dengan listrik, Petronela menjaga kehidupan dengan melindungi alam. Pada tahun 2023, ia dianugerahi penghargaan Kalpataru, penghargaan tertinggi bagi pejuang lingkungan di Indonesia.
Mama Petronela, begitu ia akrab disapa, laksana benteng pertahanan bagi hutan mangrove (bakau) di wilayahnya. Ia memimpin kaum perempuan di kampungnya untuk menjaga hutan perempuan (Tonotwiyat), sebuah wilayah hutan bakau yang menurut adat hanya boleh dimasuki oleh perempuan. Di sana, mereka mencari kerang sambil saling bercerita.
Namun, ketika hutan tersebut terancam oleh sampah dan penebangan liar, hati ibu dalam diri Petronela terusik. Ia tidak tinggal diam. Ia mengorganisasi pembersihan sampah, menanam kembali bibit bakau, dan dengan berani melawan siapa pun yang merusak ekosistem tersebut. Bagi Petronela, merusak alam sama saja dengan menyakiti rahim kehidupan. Ketulusannya menjaga lingkungan adalah bentuk kasih sayang ibu yang ingin memastikan anak cucunya tetap bisa menghirup udara segar dan mencari makan dari alam yang sehat.
Melihat kisah Tri Mumpuni dan Petronela Merauje, kita menyadari bahwa “Hati Ibu” adalah sebuah kekuatan penggerak yang luar biasa. Ia bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan dan menjadi pelindung di tengah kerusakan. Ibu tidak hanya melahirkan manusia, tetapi juga melahirkan harapan, perubahan, dan keberlanjutan.
Sebagai penutup, mari kita resapi bait-bait dari lagu “Bunda” karya Melly Goeslaw, “Kubuka album biru, penuh debu dan usang. Kupandangi semua gambar diri, kecil bersih belum ternoda...”
Lagu ini mengingatkan kita bahwa sejauh apa pun kita melangkah, setinggi apa pun jabatan yang kita raih, atau sehebat apa pun perubahan yang kita buat di dunia, kita tetaplah anak kecil di mata ibu. Di dalam hatinya yang sunyi, selalu ada doa yang mengalir tanpa henti untuk keselamatan kita.
Hati ibu adalah sekolah pertama bagi cinta sekaligus panggung terakhir bagi pengabdian. Selamat merayakan cinta yang tak pernah padam. Selamat memaknai setiap detak jantung ibu yang memberikan hidup bagi kita semua. Dan, Selamat Hari Ibu untuk seluruh ibu di Indonesia.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya