Keadilan dalam Pungutan Negara

Senin, 15 Desember 2025

Perdebatan mengenai keadilan dalam sistem perpajakan merupakan isu universal dan abadi. Di Indonesia, isu ini kembali mengemuka melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni (sebagai kebutuhan pokok) tidak layak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan-Pedesaan (PBB-PP) secara berulang. Fatwa ini menuntut reformasi yang mendasar, mengoreksi praktik pungutan tahunan atas aset statis yang tidak dikomersialkan. Untuk memahami validitas argumen keadilan ini, ada baiknya kita meninjau kembali sejarah perpajakan, mulai dari sistem yang berorientasi pada produktivitas di kerajaan kuno Nusantara hingga praktik-praktik pungutan yang paling unik dan bahkan absurd di peradaban dunia.


Pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, khususnya di Jawa pada periode abad ke-9 hingga ke-15 Masehi, sumber pendapatan negara didasarkan pada prinsip penguasaan raja atas tanah. Istilah drabya haji, yang berarti “milik raja”, menunjukkan bahwa raja berhak atas sebagian hasil bumi yang dikelola rakyat. Pajak pada masa ini bersifat lebih terfokus pada hasil produktif dan aktivitas komersial. Pajak tanah dikenakan berdasarkan luas garapan (sawah, kebun, rawa) dan dibayar dalam bentuk emas atau perak. Ini adalah pungutan atas aktivitas menghasilkan kekayaan. Pajak juga dikenakan pada usaha, keahlian, dan perdagangan (misalnya, pesinden, dalang, pedagang), serta Pajak Orang Asing (warga kilalang).


Meskipun sistem ini bersifat feodalistik, namun intinya adalah pungutan dikenakan pada aktivitas ekonomi yang menghasilkan surplus atau pada penggunaan hak istimewa (hak menggarap tanah). Bahkan ketika raja memberikan keringanan (sima), tujuan utamanya adalah menjaga kestabilan kas negara, bukan membebani kebutuhan primer rakyat secara berulang tanpa adanya transaksi atau keuntungan.


Berbeda dengan kondisi di era Nusantara kuno, sejarah dunia dipenuhi dengan contoh-contoh pajak yang dikenakan atas hal-hal yang sama sekali tidak produktif, bahkan terhadap aspek kebutuhan asas atau eksistensi. Dua contoh mencolok adalah pajak atas air seni dan pajak jendela.


Di Kekaisaran Romawi, air seni pernah dikenakan pajak oleh Kaisar Vespasian, karena cairan ini digunakan dalam proses pencucian atau penyamakan kulit. Pungutan ini, meskipun unik memiliki basis komersial, yakni bahan baku. Namun, contoh seperti Pajak Jendela di Inggris dan Skotlandia, menunjukkan bahwa pajak juga bisa menjadi instrumen kontrol sosial atau, yang lebih krusial, pajak atas eksistensi (keperluan asas) yang menimbulkan distorsi sosial.


Pajak Jendela, yang dikenakan sebagai pengganti pajak properti yang sulit dinilai, didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak jendela, semakin kaya pemilik rumah. Akibatnya, banyak orang, terutama yang miskin memilih untuk menutup (memblokir) jendela mereka, menciptakan rumah yang gelap dan tidak sehat, hanya untuk menghindari pungutan. Pajak ini tidak hanya gagal mencapai keadilan tetapi juga secara langsung mengurangi kesejahteraan publik.


Kasus Pajak Jendela, yang menargetkan jendela daripada kekayaan riil memberikan cerminan kuat pada kontroversi PBB-PP di Indonesia. PBB saat ini dikenakan berulang setiap tahun atas bumi dan bangunan yang dihuni, terlepas dari apakah properti tersebut menghasilkan pendapatan atau tidak. MUI, melalui fatwanya pada tahun 2025, berargumen bahwa pungutan pajak terhadap kebutuhan pokok, seperti rumah tinggal yang semata-mata digunakan sebagai tempat berlindung, tidak mencerminkan keadilan. 


Pajak properti yang tidak dikomersialkan membebani kepemilikan aset statis, bukan aktivitas yang menghasilkan uang. Ini merugikan pensiunan atau keluarga berpenghasilan rendah yang mungkin telah memiliki rumah selama puluhan tahun tetapi tidak memiliki likuiditas untuk membayar PBB yang terus meningkat. PBB yang menjadi andalan Pemda sebagai sumber pendapatan, biasanya secara berkala dinaikkan tarifnya.  


Jika kerajaan kuno Nusantara memungut drabya haji atas produktivitas tanah yang diolah, sistem PBB modern mengenakan pungutan atas tanah yang tidak menghasilkan tetapi hanya dihuni. Padahal pajak seharusnya memprioritaskan aset komersial, properti kosong (lahan tidur), atau transaksi yang menghasilkan keuntungan (penjualan properti), bukan tempat berlindung.


Pemerintah pusat dan daerah harus merespons fatwa ini dengan merevisi regulasi PBB. misalnya mengubah PBB dari pajak berulang menjadi pajak yang dikenakan hanya pada saat transaksi (BPHTB). Dengan demikian, beban pajak hanya akan ditanggung oleh pihak yang merealisasikan keuntungan atau yang memanfaatkan properti untuk tujuan komersial. Hal tersebut sejalan dengan prinsip keadilan ekonomi.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (156) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) hukum (59) keluarga (58) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)