Ada sebuah melodi yang jika terdengar di sore hari yang mendung, seketika mampu menarik paksa ingatan kita pada sosok pria dengan garis wajah yang tegas namun menyimpan kelelahan. Ialah lagu “Titip Rindu Buat Ayah” karya musisi Ebiet G. Ade. Melalui liriknya, Ebiet memotret ayah bukan sebagai pahlawan super yang tak terkalahkan, melainkan sebagai manusia biasa yang “keringatnya mengucur deras dan napasnya kadang tersengal” demi memikul beban keluarga.
Lagu itu sebuah pengakuan jujur tentang cinta yang sering kali tidak tersampaikan lewat kata-kata. Ayah, dalam tradisi kita, sering kali menjadi sosok yang paling sedikit bicaranya namun paling banyak pengorbanannya. Lirik “di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa” seolah menjadi pengingat bahwa di balik ketenangan seorang ayah, ada badai yang ia redam sendiri agar anak-anaknya tetap bisa tidur nyenyak. Cinta ayah adalah cinta yang sunyi, yang tidak menuntut balasan, dan sering kali baru kita pahami maknanya justru saat kita sendiri telah beranjak dewasa.
Jika lagu Ebiet memberikan kita ruang untuk merenung, film “The Pursuit of Happyness” memberikan kita visualisasi yang nyata tentang sejauh mana seorang ayah sanggup berkorban. Film yang diangkat dari kisah nyata Chris Gardner ini adalah monumen bagi ketulusan cinta seorang ayah.
Berlatar di San Francisco, Amerika Serikat tahun 1981, kita diperkenalkan pada Chris Gardner (diperankan oleh Will Smith), seorang salesman cerdas namun kurang beruntung. Ia menghabiskan seluruh tabungannya untuk membeli stok alat pemindai kepadatan tulang portabel. Masalahnya, alat itu dianggap sebagai barang yang tidak terlalu dibutuhkan oleh para dokter.
Kegagalan ekonomi ini menyeret Chris ke dalam lubang kehancuran. Istrinya, Linda, menyerah dan pergi meninggalkannya. Chris kini menjadi orang tua tunggal bagi putranya yang berusia lima tahun, Christopher (diperankan oleh Jaden Smith, anak kandung Will Smith di dunia nyata). Mereka terusir dari apartemen, harus berpindah-pindah dari motel ke panti asuh.
Puncaknya, ketika Chris dan anaknya terpaksa tidur di toilet stasiun kereta api karena tidak punya tempat berteduh. Dalam kondisi hancur dan putus asa, Chris tetap berusaha menjaga imajinasi anaknya. Ia berpura-pura bahwa mereka sedang bersembunyi di dalam gua dari kejaran dinosaurus. Di balik pintu toilet yang ia kunci rapat dengan kaki yang gemetar, Chris menangis dalam diam sementara tangannya menutupi telinga sang anak agar tidak terbangun oleh gedoran pintu dari luar.
Di sinilah letak kemiripan antara pesan Ebiet G. Ade dan perjuangan Chris Gardner. Bagi seorang ayah, kehormatan tertinggi adalah memastikan anaknya tetap merasa aman, bahkan ketika dunia sang ayah sendiri sedang runtuh. Ia adalah benteng terakhir yang akan memastikan bahwa kebahagiaan adalah hak yang harus diperjuangkan bagi buah hatinya. Seberat apa pun jalannya.
Namun, cinta yang tulus tidak hanya teruji dalam kemiskinan atau kesedihan luar biasa. Cinta itu juga diuji dalam kehadiran. Beberapa tahun lalu gerakan “Ayah Antar Anak” menjadi sebuah seruan nasional. Program ini bukan sekadar urusan logistik transportasi. Ketika seorang ayah berdiri di gerbang pada hari pertama anak masuk sekolah, ia sedang mengirimkan pesan tanpa suara, “Ayah tidak hanya bekerja untukmu, tapi Ayah ada bersamamu”. Momen sederhana ini mampu meruntuhkan dinding kekakuan antara ayah dan anak yang kadangkala terbangun karena kesibukan kerja.
Kini, tren keterlibatan ayah tersebut naik ke level yang lebih tinggi melalui fenomena gerakan "Ayah Ambil Rapor”. Media sosial dipenuhi potret ayah yang rela mengantre di sekolah untuk mendengarkan laporan belajar anaknya. Mereka adalah pria-pria dengan jaket ojek online, seragam kantor, atau kemeja sederhana duduk di bangku kayu kecil milik anak-anak mereka.
Mengapa hal ini menjadi gerakan yang begitu kuat? Karena mengambil rapor adalah simbol kepedulian terhadap proses, bukan sekadar hasil. Selama ini, tugas mengambil rapor hampir selalu dibebankan kepada ibu. Namun, ketika ayah mengambil peran ini, ia sedang menunjukkan bahwa perkembangan karakter dan pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama.
Kehadiran ayah di hari pembagian rapor adalah bentuk penghargaan tertinggi bagi usaha sang anak selama satu semester. Bagi sang anak, melihat ayahnya bangga memegang buku rapornya adalah bahan bakar semangat untuk berprestasi lebih baik lagi. Ini adalah bentuk cinta yang tidak lagi “menitipkan rindu” seperti dalam lagu Ebiet, tapi cinta yang hadir secara utuh dan nyata.
Pada akhirnya, sosok ayah dalam lagu Ebiet G. Ade yang penuh rindu dan Chris Gardner yang penuh peluh, kini mulai bertransformasi menjadi sosok-sosok ayah yang lebih manusiawi dan hadir di sekolah-sekolah kita. Perubahan ini adalah sebuah kemajuan peradaban kecil yang berdampak besar bagi kesehatan mental generasi mendatang.
Cinta ayah memang tidak selalu berwujud pelukan hangat setiap pagi atau kata-kata manis sebelum tidur. Terkadang, ia berwujud punggung yang lelah saat pulang kerja, namun tetap dipaksakan untuk mengantar sekolah. Ia berwujud mata yang mengantuk saat menunggu giliran mengambil rapor, demi melihat senyum anaknya.
Seorang ayah mungkin tidak bisa memberikan dunia pada anaknya, tapi ia akan memastikan anaknya memiliki kekuatan untuk menaklukkan dunia tersebut. Seperti lirik penutup Ebiet, “Ayah, dalam hening sepi kurindu”, semoga kerinduan itu tidak lagi hanya muncul saat mereka telah tiada, melainkan saat kita sedang menggandeng tangan mereka di gerbang sekolah atau duduk bersama merayakan nilai rapor kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
“Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan. Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari, kini kurus dan terbungkuk. Namun, semangat tak pernah pudar. Meski langkahmu kadang gemetar. Kau tetap setia.”

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya