Di sudut-sudut sejarah hukum Indonesia, ada cerita yang selalu membuat kita menahan napas dan merenung. Kisah Sengkon dan Karta. Dua petani sederhana asal Bekasi, yang pada tahun 1970-an harus merasakan dinginnya lantai penjara karena dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan. Kisah mereka bukan hanya tentang salah tangkap, tetapi tentang kelemahan fundamental sistem hukum yang kadang tergesa-gesa, abai, dan rentan salah dalam menempatkan kebenaran.
Kisah pilu ini bermula pada tahun 1974, ketika sebuah perampokan disertai pembunuhan terjadi di Desa Gabus, Bekasi. Kepolisian segera bertindak. Dan, entah berdasarkan petunjuk apa, menetapkan Sengkon dan Karta sebagai tersangka utama. Kedua petani ini, dengan segala keterbatasan pendidikan dan daya tawar, segera diproses.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah proses hukum yang penuh dengan kejanggalan. Sengkon dan Karta disiksa selama interogasi agar mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Di bawah tekanan dan ancaman, Karta akhirnya membuat pengakuan palsu. Pengakuan ini, yang seharusnya diperlakukan skeptis oleh hakim, justru menjadi dasar kuat bagi jaksa untuk menuntut.
Dalam persidangan, meskipun Karta mencabut pengakuannya dan bersikeras bahwa ia dan Sengkon tidak bersalah, pengadilan tidak bergeming. Pengadilan Negeri Bekasi menjatuhkan vonis berat. Sengkon dihukum 7 tahun sedangkan Karta 12 tahun penjara. Alasannya klise namun mengerikan. Keyakinan hakim lebih didasarkan pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang diperoleh di bawah tekanan daripada fakta dan alibi yang disampaikan dalam persidangan.
Mereka pun harus menjalani hari-hari suram di balik jeruji, kehilangan kebebasan, reputasi, dan masa depan. Ironi tertinggi dari kisah ini baru terungkap empat tahun kemudian, pada tahun 1978. Pelaku kejahatan yang sebenarnya, Gunel, ditangkap karena kasus lain. Di hadapan polisi, Gunel tidak hanya mengakui kejahatan perampokan dan pembunuhan di Desa Gabus empat tahun silam, tetapi juga menyebutkan Sengkon dan Karta sama sekali tidak terlibat. Gunel bahkan sempat bertemu dengan Karta di penjara dan menyampaikan pengakuan tersebut.
Kebenaran yang datang terlambat ini memicu gejolak. Tentu saja, Sengkon dan Karta yang sudah mendekam bertahun-tahun harus segera dibebaskan. Namun, proses hukum tidak semudah membalik telapak tangan. Kejadian ini memaksa Jaksa Agung saat itu, Ali Said, mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Dalam putusan PK yang bersejarah, Mahkamah Agung akhirnya membebaskan Sengkon dan Karta, mengakui adanya kekeliruan fatal dalam vonis sebelumnya. Kisah mereka menjadi preseden penting dalam sejarah hukum Indonesia, menyoroti betapa rapuhnya keadilan ketika aparat penegak hukum mengabaikan prinsip kehati-hatian (due process of law) dan hanya berpegangan pada pengakuan yang dicurigai.
Sengkon dan Karta memang mendapatkan ganti rugi materiil, namun kebebasan yang hilang dan trauma yang mendalam tidak akan pernah bisa ditebus seutuhnya. Kasus ini menjadi monumen betapa mahalnya harga dari sebuah salah tangkap.
Kisah Sengkon dan Karta mengajukan pertanyaan mendasar. Mengapa hakim saat itu gagal melihat ketidakadilan yang begitu kentara? Mengapa mereka tidak menggunakan nalar dan nuraninya untuk menggali kebenaran, alih-alih hanya mengandalkan BAP yang jelas bermasalah?
Untuk menjawab ini, kita perlu berkaca pada standar keadilan yang diwakili oleh legenda Tiongkok kuno Hakim Bao Zheng atau lebih dikenal sebagai Hakim Bao. Saya mengenal melalui kisahnya yang ditayangkan dalam film seri berjudul Justice Bao. Film tersebut meraih popularitas luar biasa di Asia pada dekade 90-an, termasuk di Indonesia. Hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi yang dihubungkan dengan kehidupannya, tetapi sarat dengan nilai-nilai tradisional Tiongkok
Hakim Bao adalah lambang dari pencarian kebenaran tanpa kompromi. Ia dikenal dengan dahinya yang hitam, melambangkan sifatnya yang lurus dan tegas. Keberhasilannya menegakkan keadilan di masa Dinasti Song terletak pada dua prinsip utama yang tampaknya hilang dalam kasus Sengkon dan Karta, yaitu pembuktian mandiri dan keadilan untuk rakyat kecil.
Di mata Hakim Bao, pengakuan tersangka adalah titik awal, bukan akhir dari pembuktian. Ia memiliki perangkat investigasi yang canggih (untuk zamannya), dan yang terpenting ia menggunakan nalar kritis yang tajam. Hakim Bao tidak akan pernah membiarkan kasus ditutup hanya karena ada pengakuan, apalagi jika pengakuan itu diperoleh di bawah siksaan. Ia akan terus mencari kebenaran, mengorek motif (mens rea), dan memastikan keadilan ditegakkan, bahkan jika itu berarti melawan petunjuk awal.
Dalam kasus Sengkon dan Karta, hakim seharusnya mencium bau ketidakwajaran saat Karta mencabut pengakuannya di persidangan. Seandainya hakim saat itu memiliki semangat mencari kebenaran ala Hakim Bao, mereka akan menangguhkan vonis dan memerintahkan investigasi ulang, bukan sekadar memaksakan BAP sebagai bukti pamungkas.
Hakim Bao sangat terkenal sebagai pembela rakyat kecil. Ia selalu menanggalkan status sosial ketika memimpin persidangan. Di meja hijau, yang ada hanya kebenaran. Ia berani melawan bangsawan, permaisuri, bahkan keponakannya sendiri.
Sengkon dan Karta adalah rakyat kecil yang tidak memiliki daya untuk melawan sistem. Kelemahan mereka, seperti keterbatasan finansial, ketidakpahaman hukum, dan status sosial, membuat mereka menjadi sasaran empuk kebohongan. Jika Hakim Bao duduk di kursi pengadilan Bekasi saat itu, besar kemungkinan ia akan mencium adanya ketidakberesan dalam proses interogasi. Ia akan menggunakan otoritasnya untuk melindungi orang-orang lemah dari kesewenang-wenangan aparat.
Kisah Sengkon dan Karta adalah pengingat pahit bagi sistem hukum modern, bahwa vonis yang buruk bukan hanya merugikan dua individu, tetapi mengoyak kepercayaan publik terhadap keadilan. Dan semangat keadilan yang abadi dalam sosok legendaris seperti Hakim Bao, harus selalu menjadi panduan, agar tidak ada lagi nyawa yang terenggut di balik jeruji besi karena kebenaran tercecer di meja pengadilan.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya