Indonesia adalah negeri yang dianugerahi pemimpin-pemimpin dengan jiwa yang luhur. Mereka mewariskan kepada kita bukan hanya kemerdekaan, tetapi juga pelajaran abadi tentang bagaimana menjadi manusia yang bermartabat. Kekuatan sejati mereka terletak pada dua hal yang tak terpisahkan, yaitu integritas dan kesederhanaan. Integritas adalah kesatuan moral yang tak tergoyahkan, sedangkan kesederhanaan merupakan gaya hidup yang menolak nafsu material.
Dalam deretan tokoh bangsa yang patut dijadikan panutan, nama Agus Salim dan Mohammad Natsir berdiri tegak sebagai mercusuar moral. Keduanya adalah intelektual ulung, politisi berprinsip, dan diplomat handal yang memilih jalan hidup bersih, jauh dari kemilau harta dan kekuasaan. Kisah hidup mereka mengajarkan bahwa kekayaan paling hakiki seorang pemimpin bukanlah pada saldo rekening, melainkan pada kejernihan hati.
Agus Salim, yang dijuluki The Grand Old Man, karena kecerdasan dan kelihaiannya di panggung diplomasi internasional, adalah potret sempurna seorang negarawan yang berpegang pada prinsip. Integritas beliau begitu kuat. Dengan kehidupan keluarga yang bersahaja tidak pernah menggoyahkan pengabdiannya pada negara.
Bayangkan, seorang diplomat ulung yang mampu bernegosiasi dengan berbagai bangsa dan menguasai sembilan bahasa asing, ternyata hidup dalam kesederhanaan. Kisah kehidupan keluarga Agus Salim yang berpindah-pindah rumah kontrakkan bukanlah hal yang aneh. Beliau selalu menolak memanfaatkan jabatan dan koneksi politik untuk mencari keuntungan atau kemewahan.
Istrinya, Zainatun Nahar, pernah menuliskan betapa berat hidup mereka, di mana kebutuhan dasar seringkali harus dicukup-cukupkan. Agus Salim tidak pernah meminta-minta, karena integritasnya melarang. Baginya, kehormatan dan martabat bangsa jauh lebih penting daripada perut dan kenyamanan pribadi. Ia mengajarkan kita bahwa kekuasaan tidak harus identik dengan kekayaan. Ia memberikan contoh bahwa kesederhanaan adalah mahkota bagi seorang intelektual sejati.
Jika Agus Salim adalah guru diplomasi, maka Mohammad Natsir adalah guru etika politik. Natsir dikenal sebagai pemimpin yang teguh pada pendiriannya, terutama dalam menjaga persatuan bangsa melalui Mosi Integral yang bersejarah. Namun, integritasnya paling nyata terlihat dari caranya memperlakukan jabatan.
Salah satu kisah yang paling terkenal menunjukkan kesederhanaan Natsir terjadi ketika ia diangkat menjadi Perdana Menteri. Sebagai pejabat tinggi, Natsir berhak mendapatkan mobil dinas baru yang mewah. Namun, ia menolak mobil baru itu. Ia memilih untuk tetap menggunakan mobil dinas lama yang sudah usang, dengan alasan mobil itu masih layak pakai, dan uang untuk membeli mobil baru bisa digunakan untuk kepentingan rakyat yang lebih mendesak.
Bahkan, ada cerita yang menyebutkan bahwa istri Natsir harus menjahit dan menambal sendiri celana suaminya karena gaji yang diterima Natsir tidak memungkinkan untuk membeli pakaian baru secara berkala. Bagi Natsir, jabatan adalah amanah dan pengorbanan, bukan sarana untuk menumpuk kemewahan. Keputusan-keputusan kecil dalam hidupnya seperti menolak fasilitas dan hidup sederhana adalah cerminan utuh dari integritasnya yang besar. Baginya uang negara harus diutamakan bagi rakyat, bukan untuk memanjakan pemimpinnya.
Keteladanan dari Agus Salim dan Natsir, yang memilih kemiskinan bermartabat daripada kekayaan haram, haruslah menjadi roh yang diwariskan. Spirit ini coba direkam dalam film pendek edukatif dari KPK yang berjudul “Dompet Imajinasi”.
Film ini menceritakan tentang dua anak, Dul dan Sep, yang dihadapkan pada dilema setelah menemukan dompet tebal di jalan. Dompet itu bagaikan buah terlarang, menawarkan solusi instan untuk setiap masalah: membayar jajan, membayar ongkos lewat, bahkan terlintas ide untuk “menyuap” agar urusan menjadi lancar. Mereka sempat terombang-ambing antara godaan untuk memanfaatkan uang yang bukan haknya dan suara hati yang bersih.
Dalam film tersebut, suara hati itu akhirnya menang. Mereka teringat pesan dari guru agama mereka bahwa suap itu haram dan akan membawa pelakunya ke neraka. Dul dan Sep, yang hanya anak-anak, memutuskan untuk menyerahkan dompet itu kepada Pak Ustad. Kisah ini adalah miniatur yang sempurna. Jika dua anak kecil mampu menolak godaan materi yang bukan hak mereka, seharusnya para pemimpin dan pejabat yang telah dididik dan diberikan amanah besar jauh lebih mampu.
Agus Salim dan Mohammad Natsir telah membuktikan bahwa memimpin negara tidak harus berakhir kaya. Sebaliknya, memimpin adalah jalan untuk menjadi bersahaja secara materi namun kaya raya secara moral. Integritas dan kesederhanaan mereka adalah fondasi etika bernegara yang harus dihidupkan kembali di setiap lini pemerintahan dan kehidupan sehari-hari.
Inilah warisan yang kita rayakan dan kita renungkan setiap tahun pada Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia). Harkodia yang diperingati setiap 9 Desember adalah upaya kita untuk tidak melupakan pengorbanan para pemimpin terdahulu yang berjuang demi prinsip. Mari kita jadikan integritas, kejujuran, dan kesederhanaan sebagai identitas utama bangsa ini, sehingga setiap kebijakan yang kita ambil, sekecil apa pun itu, berorientasi pada kebaikan bersama.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya