Menjadi wartawan itu unik. Kadang tak direncanakan, tapi kemudian menjadi panggilan yang tak bisa ditolak bahkan hingga akhir hayat. Tengok saja kisah Rosihan Anwar, sang “Ayatullah Pers” Indonesia. Profesi wartawan, di mata Rosihan, awalnya tak punya daya tarik, bahkan dipandang rendah pada zaman kolonial. Gaji kecil, dicap bodoh, dan kurang ajar. Tapi, rupanya takdir punya rencana lain. Jalan yang konon “salah” itu justru membawanya meliput langsung Jenderal Sudirman yang bergerilya pasca-Agresi Militer Belanda II. Sebuah liputan yang monumental dan menjawab rasa penasaran publik.
Rosihan Anwar, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946, adalah prototipe wartawan yang tak kenal menyerah. Ia sempat merasakan kurungan besi di zaman penjajahan Jepang. Korannya, Pedoman, dibredel rezim Orde Baru. Namun hal itu justru membuatnya makin kritis dalam menulis. Instingnya tak pernah mati, bahkan di usia senja ia masih mengecek lokasi menjelang peristiwa penyerbuan kantor PDI, dan esoknya menuliskan fakta itu di harian Kompas. Rosihan membuktikan, kerja wartawan bukan sekadar mencari nafkah, tapi juga menjadi pelaku sekaligus pencatat sejarah.
Di sisi lain peta pers Indonesia, berdiri tegak sosok Ani Idrus, seorang jurnalis perempuan lintas zaman yang tak kalah pemberani dari Rosihan. Ani Idrus, lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 1919, sudah gemar menulis sejak belia, bahkan tulisan pertamanya dimuat saat ia berusia 12 tahun. Jauh sebelum era emansipasi ramai dibicarakan Ani Idrus sudah menggunakan pena sebagai alat perjuangan.
Melihat pengalaman masa kecilnya yang sarat diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat yang kental adat matrilineal, di mana kekerasan dalam rumah tangga menjadi realitas pahit, Ani Idrus bertekad menyadarkan kaumnya. Melalui cerpen-cerpennya dengan nama pena Lady Andy, ia selalu menyerukan agar perempuan berani membela haknya dan mengejar kemajuan diri. Tulisan-tulisannya, baik di Seruan Kita, Waspada, maupun majalah Dunia Wanita, tak hanya tajam menghadapi Belanda, tapi juga fokus pada masalah-masalah perempuan.
Ani Idrus tak hanya berjuang di meja redaksi, ia juga aktif di berbagai organisasi pemuda dan partai politik. Ia bahkan memprakarsai berdirinya PWI Cabang Medan dan menjadi ketuanya, menjadikannya pelopor emansipasi di Sumatera Utara. Keberaniannya meliput Perundingan Baling di Malaysia dengan menumpang kapal barang, menjadikannya satu-satunya wartawan Indonesia yang hadir saat itu. Ani Idrus adalah cermin bahwa jurnalisme adalah panggung bagi siapa saja yang memiliki keberanian, ketegasan, dan visi untuk perubahan.
Kisah Rosihan dan Ani Idrus menunjukkan bahwa profesi wartawan sudah berisiko sejak dulu. Mereka menghadapi sensor, pembredelan, hingga kurungan. Namun sayangnya, ancaman terhadap wartawan tak berhenti di masa lalu. Dalam era yang konon lebih bebas ini, kekerasan fisik terhadap jurnalis masih menjadi hantu yang menakutkan, terutama saat meliput isu-isu krusial.
Di beberapa tempat masih terjadi pengeroyokan terhadap wartawan yang sedang meliput peristiwa. Padahal wartawan yang hanya menjalankan tugasnya membawa informasi yang wajib diketahui publik, justru menjadi target. Mereka dipukuli, diintimidasi, dan dipaksa menghapus hasil liputan, bahkan oleh aparat yang seharusnya menjadi pelindung.
Kasus-kasus seperti intimidasi daring (doxing), ancaman pembunuhan, hingga serangan fisik saat demo adalah alarm bahaya bagi keselamatan jurnalis dan kemerdekaan pers. Peristiwa kekerasan ini bukan sekadar serangan pribadi, melainkan serangan langsung terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Seperti dicatat oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), praktik impunitas hanya akan memperburuk iklim kebebasan pers dan melukai demokrasi.
Padahal, kerja wartawan sebagaimana Rosihan dan Ani Idrus pernah tunjukkan, dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Mereka adalah mata dan telinga publik. Ketika wartawan dipukul, dihambat, atau dibungkam, itu berarti masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengetahui kebenaran. Ini adalah ironi besar. Di satu sisi, sejarah mencatat keberanian tokoh-tokoh pers yang mati-matian melawan rezim represif demi kebebasan, tapi di sisi lain, wartawan hari ini masih harus berlari menyelamatkan diri demi sebuah berita.
Rosihan Anwar menyebut dirinya “salah jalan” yang berujung kekal, sementara Ani Idrus mengayunkan pena untuk membela hak-hak perempuan. Keduanya mewariskan pesan yang sama. Jurnalisme adalah panggilan yang menuntut integritas, ketekunan, dan keberanian.
Kini, tugas warisan itu diemban oleh wartawan-wartawan masa sekarang yang harus berhadapan dengan ancaman yang mungkin berbeda bentuk, tapi sama bahayanya. Meneruskan semangat Rosihan yang tak gentar melawan pembredelan dan ketegasan Ani Idrus dalam mengangkat isu sensitif, adalah cara terbaik untuk menghormati jejak pena para pendahulu.
Melindungi jurnalis yang meliput kasus sama pentingnya dengan melindungi hak konstitusional setiap warga negara. Negara, aparat, dan semua pihak harus memastikan bahwa wartawan dapat bekerja tanpa rasa takut. Karena pada akhirnya, pers yang bebas adalah pilar utama yang menopang demokrasi kita. Kekerasan terhadap jurnalis bukanlah sekadar kasus pidana biasa. Ia adalah pengkhianatan terhadap perjuangan panjang para pahlawan pena seperti Rosihan Anwar dan Ani Idrus.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya