Jerat Hukum

Sabtu, 20 Desember 2025

Kita hidup di zaman yang serba ironis. Di satu sisi, semua orang bicara tentang investasi, pertumbuhan ekonomi, dan birokrasi yang ramping. Di sisi lain, para pengambil keputusan, mulai dari pejabat daerah hingga direktur BUMN, merasa seolah-olah sedang berjalan di ladang ranjau. Salah ambil keputusan, ujungnya bukan untung, melainkan borgol.


Inilah inti dari perbincangan menarik antara Profesor Rhenald Kasali dengan Alex Marwata, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga seorang mantan Hakim. Acara siniar Rhenald Kasali di kanal YouTube pada 14 Desember 2025 ini menyimpulkan satu hal, yaitu Indonesia sedang menghadapi darurat penegakan hukum, di mana nalar bisnis dan administrasi sering kali keliru diterjemahkan menjadi pasal pidana korupsi.


Masalah utama ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Intinya, pasal-pasal ini menjerat siapa pun yang melakukan perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang kemudian dianggap merugikan negara.


Dalam setiap urusan bisnis—apalagi pengadaan barang dan jasa—adalah hal yang mutlak bahwa kedua belah pihak harus untung. Inilah yang disebut prinsip win-win. Kalau perusahaan swasta (vendor) menyediakan barang atau jasa untuk pemerintah, mustahil mereka tidak mengambil untung. Jika vendor untung 10% dan itu wajar dalam standar bisnis, apakah keuntungan tersebut otomatis berarti negara dirugikan?


Menurut Alex Marwata, di sinilah letak jebakan utamanya. Aturan pidana seharusnya selalu melihat adanya mens rea (niat jahat). Maling mencuri karena niatnya memang jahat. Tapi, seorang pejabat yang mengambil keputusan dengan tujuan memenuhi kebutuhan publik secepatnya, lalu melanggar prosedur administrasi, misalnya ia menunjuk langsung vendor karena di daerahnya memang hanya ada satu vendor yang berkompeten. Menurut Alex, itu adalah kesalahan administrasi.


Sayangnya, dalam praktik, pelanggaran administrasi ini sering kali ditarik menjadi perbuatan melawan hukum secara luas. Menguntungkan vendor dianggap sama dengan merugikan negara. Akibatnya, banyak pejabat yang takut mengambil keputusan berani dan inovatif. Mereka memilih jalan aman yang prosedural, kaku, dan lambat, daripada berisiko masuk penjara.


Sikap cari aman ini ternyata justru melahirkan masalah baru, yaitu praktik pengadaan barang dan jasa yang sangat mahal dan penuh tipu daya. Dalam diskusi tersebut, terungkap sebuah rahasia umum bahwa proses tender atau lelang sering kali hanya formalitas belaka. Perusahaan yang menang tender sudah diatur dari awal. Untuk memuluskan proses yang mensyaratkan minimal tiga peserta, para vendor terpaksa “meminjam bendera” perusahaan lain. Sebuah praktik yang dikenal sebagai sewa-menyewa PT.


Tentu saja, meminjam bendera itu tidak gratis. Ada biaya komisi yang bisa mencapai 15% hingga 20% dari nilai kontrak. Belum lagi “biaya pengamanan”, “biaya koordinasi”, dan berbagai biaya siluman lainnya. “Rantai biaya ini membuat biaya berbisnis di Indonesia menjadi sangat tinggi (very expensive),” kata Prof. Kasali.


Lalu, siapa yang menanggung semua biaya rente ini? Tentu saja negara dan rakyat. Jika nilai kontraknya Rp100, tapi 40%–50% habis untuk biaya non-fisik (komisi, suap, dan lain-lain), maka uang yang benar-benar digunakan untuk membangun fisik (jalan, gedung, infrastruktur) hanya tersisa 50%–60%. Tak heran jika kualitas bangunan kita sering kali buruk, cepat rusak, dan tidak sesuai spesifikasi. Kualitasnya ambyar, karena dananya sudah dikorupsi berjamaah melalui sistem yang seolah-olah legal.


Masalah lain yang membuat publik merasa keadilan itu tumpul adalah inkonsistensi penegakan hukum. Di satu sisi, ada pejabat yang hidupnya sederhana, tidak terlihat kaya raya, tapi terjerat kasus korupsi karena keputusan kebijakan atau kesalahan administrasi. Di sisi lain, ada banyak oknum penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum, yang memiliki lifestyle mewah di luar batas kewajaran. Mereka punya mobil mahal dan rumah megah, padahal semua tahu gaji resmi mereka tidak mungkin mencukupi gaya hidup itu.


Fenomena ini dikenal sebagai red flag (bendera merah). Kita semua tahu ada yang tidak beres. Namun, sistem hukum kita, terutama terkait pembuktian terbalik masih lemah. Aparat penegak hukum (APH) masih dibebani untuk membuktikan dari mana uang itu berasal. Akibatnya, orang-orang kaya baru yang mencurigakan itu sulit tersentuh.


Penangkapan serius—seperti kasus pejabat pajak atau bea cukai yang viral—seringkali harus menunggu kasusnya meledak dan menjadi sorotan publik. Ini melahirkan istilah sinis: “No Viral No Justice”. Keadilan seolah-olah hanya bisa didapat setelah publik murka.


Alex Marwata juga menyoroti pentingnya konsistensi yudikatif. Kasus-kasus yang melibatkan pertanggungjawaban kolektif (keputusan yang diambil bersama) sering kali diputus secara tidak konsisten. Ada yang dibebaskan, sementara pihak lain yang terlibat dalam kasus yang sama justru dipidana. Inkonsistensi ini, ditambah dengan rumor adanya mafia pengadilan, membuat masyarakat pencari keadilan bingung dan akhirnya mencari “jalur belakang”.


Pada akhirnya, untuk keluar dari darurat hukum ini, pembenahan harus dilakukan secara fundamental dan menyeluruh, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Mandat KPK untuk memperbaiki profesionalisme dan integritas kedua lembaga tersebut (kepolisian dan kejaksaan) selama ini belum tersentuh.


Perbaikan sistem ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Seperti yang disimpulkan dalam diskusi tersebut, Presiden harus bertindak sebagai Panglima Pemberantasan Korupsi. Komitmen ini bukan hanya sebatas retorika, tetapi harus diwujudkan dalam pembersihan lembaga penegak hukum dan penyusunan ulang aturan agar keputusan bisnis yang berorientasi pada kepentingan publik dan tanpa niat jahat tidak lagi dijerat pidana.


Jika tidak, para pengambil keputusan akan terus dihantui ketakutan, dan inisiatif untuk membangun negeri—bahkan hanya untuk urusan tender kecil—akan mati karena terhalang oleh jerat hukum yang diciptakan oleh nalar keadilan yang tidak konsisten. Indonesia membutuhkan penegakan hukum yang kuat dan adil, bukan yang bisa memenjarakan orang baik karena kesalahan administrasi.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (159) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) hukum (60) keluarga (59) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)