Para Penjaga Kehormatan

Sabtu, 27 Desember 2025

Siapa yang tidak terpesona oleh pesona Samurai? Sosok ksatria berbaju zirah, dengan rambut terikat rapi, dan sebilah katana yang dihunus dengan mematikan, adalah ikon utama sejarah Jepang. Citra ini diabadikan dengan indah dalam film seperti The Last Samurai (2003), di mana Kapten Nathan Algren (Tom Cruise) dari Amerika terseret ke dalam konflik antara modernisasi Kaisar Meiji dengan tradisi Samurai yang dipimpin oleh Katsumoto.


Film ini menggambarkan epilog yang dramatis. Pertempuran terakhir antara semangat ksatria yang didasari kode etik Bushido (Jalan Ksatria) melawan senapan dan artileri modern. Meskipun akhir cerita Samurai di film itu menyedihkan, ia meninggalkan warisan abadi tentang kesetiaan, kehormatan, dan pengorbanan.


Untuk memahami Samurai, kita harus kembali ke sejarah panjang Jepang. Mengutip referensi National Geographic, evolusi Samurai tidaklah instan, melainkan sebuah proses yang membentang dari abad ke-12 hingga abad ke-19.


Awalnya, di Periode Kamakura (1185-1333), Samurai lebih dikenal sebagai pemanah berkuda (Yumitori). Mereka adalah prajurit yang direkrut oleh klan bangsawan dan berfungsi sebagai pengawal dan penegak hukum di provinsi-provinsi jauh dari Kyoto. Mereka adalah kekuatan militer yang membantu menstabilkan wilayah, dan dari sinilah hierarki Shogun (Panglima Tertinggi) muncul, yang secara efektif memerintah Jepang di balik tahta Kaisar.


Status mereka terus meningkat. Setelah melewati periode perang sipil yang kacau (Sengoku Jidai atau Periode Negara Berperang) di mana keberanian dan kemampuan tempur adalah segalanya, Samurai memasuki Periode Edo (1603-1868).


Di bawah pemerintahan Tokugawa Shogunate yang damai, Samurai yang tadinya fokus pada pertempuran akhirnya beralih fungsi. Mereka menjadi birokrat, administrator, dan penjaga keamanan di tingkat daerah. Mereka diposisikan sebagai kelas sosial tertinggi di bawah bangsawan.


Pada masa damai inilah Bushido dikodifikasikan secara formal. Bukan hanya kumpulan aturan pertempuran, tetapi pedoman moral yang menekankan kesetiaan mutlak kepada tuan, kehormatan diri, keberanian, dan pengendalian diri. Senjata mereka, terutama katana, bukan hanya alat, tapi simbol jiwa ksatria mereka.


Akhirnya, seperti dalam film The Last Samurai, era mereka berakhir dengan Restorasi Meiji pada 1868. Jepang memutuskan untuk melakukan modernisasi radikal, meniru sistem militer Barat. Status istimewa Samurai dihapus, kepemilikan pedang dilarang, dan mereka dipaksa berintegrasi ke masyarakat biasa. Meskipun era mereka berakhir, semangat Bushido tetap mendarah daging, memengaruhi budaya, disiplin militer, hingga etos kerja orang Jepang modern.


Di Indonesia, kita tidak mengenal istilah Samurai, tetapi konsep pasukan khusus yang berfungsi sebagai pengawal utama raja atau elite penguasa telah ada sejak era kerajaan kuno hingga modern.


Salah satu contoh paling ikonik adalah Bhayangkara dari Kerajaan Majapahit. Bhayangkara adalah pasukan elite yang dibentuk oleh Gajah Mada, yang bertugas menjaga keselamatan dan keamanan raja serta lingkungan istana. Mereka adalah prajurit pilihan yang memiliki kesetiaan mutlak pada kerajaan dan dipersiapkan untuk misi-misi sulit dan rahasia.


Mirip dengan Samurai yang melayani Daimyo (tuan mereka), Bhayangkara memiliki tugas mulia dan berisiko untuk memastikan stabilitas pusat kekuasaan. Jika Samurai bertugas menjaga keamanan provinsi dan akhirnya menjadi birokrat elit di Edo, Bhayangkara adalah inti dari kekuatan militer yang menjaga keamanan istana, mengawal raja dalam perjalanan, dan menumpas pemberontakan internal yang mengancam kedaulatan.


Menjadi anggota Bhayangkara adalah kehormatan tertinggi bagi seorang prajurit di Majapahit, sama seperti menyandang gelar Samurai di Jepang. Kehormatan ini datang dengan tuntutan disiplin dan pengorbanan.


Jika kita menarik garis evolusi dari Bhayangkara Majapahit, peran pengawal kehormatan di Indonesia modern dipegang oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Paspampres adalah unit militer yang tugas utamanya menjaga keselamatan Presiden, Wakil Presiden, dan keluarganya, serta tamu negara setingkat kepala negara/pemerintahan. Mereka adalah “Samurai” di era Republik.


Sama seperti Samurai yang dipilih dari klan berpengalaman atau Bhayangkara yang dipilih dari prajurit terbaik, Paspampres adalah prajurit pilihan yang telah melewati seleksi fisik dan mental yang sangat ketat. Misi mereka melindungi simbol negara dengan mempertaruhkan nyawa. Kesetiaan ini adalah esensi dari Bushido dan semangat Bhayangkara.


Anggota Paspampres terkenal dengan penampilan yang rapi, disiplin tinggi, dan kemampuan beroperasi dalam berbagai skenario keamanan, persis seperti citra seorang ksatria yang harus selalu siap dan sempurna.


Paspampres tidak lagi menggunakan Katana atau tombak, melainkan senjata api, sistem komunikasi canggih, dan strategi perlindungan modern. Mereka bertugas di bawah payung demokrasi dan hukum, bukan feodalisme. Namun, esensi tugas mereka—menjadi perisai hidup bagi pemimpin tertinggi negara—tidak pernah berubah sejak zaman para Yumitori Samurai hingga para prajurit Bhayangkara.


Dari kisah dramatis The Last Samurai hingga dedikasi Bhayangkara dan ketegasan Paspampres hari ini, kita melihat bahwa di setiap peradaban akan selalu ada kelompok elite yang mengabdikan hidup mereka untuk melindungi kehormatan dan stabilitas penguasa, sebuah warisan ksatria yang tak lekang oleh waktu.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (166) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) hukum (62) pustaka (62) keluarga (59) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)