Antara Hak Penghidupan dan Kelancaran Jalan

Selasa, 30 Desember 2025

Menjelang akhir tahun, jalan raya di Indonesia kembali menjadi panggung kontestasi kepentingan. Di satu sisi, ada jutaan warga yang ingin merayakan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 dengan lancar. Di sisi lain, ada ribuan “pejuang aspal”, yaitu sopir truk dan pengusaha logistik, yang justru dipaksa berhenti bergerak.


Kebijakan pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga instansi (Kemenhub, Korlantas Polri, dan Kementerian PUPR) yang memperpanjang larangan operasional truk sumbu 3 dari 11 hari menjadi 17 hari, memicu polemik serius. Secara kasatmata, ini adalah soal kemacetan. Namun secara mendalam, kebijakan ini menyimpan persoalan hukum dan keadilan yang fundamental.


Secara hukum, kebijakan pembatasan ini menyentuh aspek hak konstitusional warga negara. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketika negara melarang truk beroperasi selama 17 hari atau hampir separuh bulan, negara secara langsung sedang mengintervensi hak atas penghidupan para sopir truk.


Bagi pengemudi logistik, sistem kerja mereka mayoritas berbasis ritase atau komisi harian. Menghentikan roda truk selama 17 hari berarti menghentikan denyut nadi ekonomi keluarga mereka di saat kebutuhan hidup menjelang hari raya justru memuncak. Di titik ini, negara tampak lebih memprioritaskan “hak untuk berekreasi” bagi pemilik kendaraan pribadi di atas “hak untuk bekerja” bagi para pekerja logistik. Sebuah hierarki kepentingan yang patut dipertanyakan secara moral dan hukum.


Dalam hukum administrasi negara, setiap kebijakan atau diskresi pemerintah harus tunduk pada Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), salah satunya adalah Asas Proporsionalitas. Asas ini menuntut adanya keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban yang ditimbulkan bagi masyarakat.


Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menyoroti dampak ekonomi yang tidak proporsional. Para pemilik truk memiliki kewajiban berupa cicilan kepada perusahaan pembiayaan (leasing). Kewajiban hukum ini tetap berjalan meskipun hak mereka untuk mengoperasikan armada dicabut sementara oleh negara.


Ketika pemerintah menambah masa larangan menjadi 17 hari, beban yang dipikul sektor logistik menjadi sangat berat dan melampaui batas kewajaran. Apakah kelancaran lalu lintas liburan sebanding dengan risiko kebangkrutan massal pengusaha angkutan barang kecil dan menengah? Jika tujuan utamanya adalah mengurai kemacetan, bukankah ada instrumen hukum lain yang lebih lunak (less restrictive) daripada pelarangan total?


Hal yang paling mengusik rasa keadilan adalah dasar pertimbangan pemerintah yang mengaitkan perpanjangan larangan ini dengan kebijakan Work From Anywhere (WFA) bagi ASN. Secara logika hukum, ini adalah sebuah non-sequitur (kesimpulan yang tidak menyambung dari premisnya).


WFA bagi ASN adalah kebijakan administratif internal birokrasi untuk fleksibilitas kerja. Menjadikan WFA sebagai alasan untuk membatasi hak publik (sektor logistik) secara eksternal selama 17 hari adalah tindakan yang melampaui kewenangan (excess de pouvoir). Sektor logistik tidak seharusnya membayar harga atas kebijakan internal pemerintah yang berpotensi memicu lonjakan arus kendaraan pribadi. Djoko Setijowarno benar ketika menyatakan bahwa kebijakan WFA tidak seharusnya ditukargulingkan dengan nasib sektor logistik.


Kebijakan transportasi tidak boleh hanya dilihat sebagai persoalan teknis rekayasa lalu lintas di aspal, tetapi harus dilihat sebagai persoalan distribusi keadilan. Negara tidak boleh hanya hadir sebagai “polisi lalu lintas” yang mengusir truk dari jalan raya, tetapi juga harus hadir sebagai pelindung ekonomi rakyat.


Pemerintah perlu meninjau kembali SKB tersebut melalui kacamata hukum yang lebih inklusif. Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, penerapan jam operasional. Alih-alih melarang total, truk dapat diizinkan melintas pada jam-jam tertentu (misalnya pukul 22.00 hingga 05.00). Kedua, kompensasi atau relaksasi. Jika negara mematikan usaha warga demi kepentingan publik, sejauh mana negara mampu mendorong relaksasi cicilan perbankan bagi mereka yang terdampak selama masa larangan? Ketiga, prioritas jalur, dengan memaksimalkan jalur alternatif bagi kendaraan pribadi agar jalur utama tetap bisa diakses secara terbatas oleh logistik barang pokok.


Kita tentu mendambakan mudik dan liburan yang nyaman. Namun, kenyamanan itu akan terasa hambar jika dibangun di atas penderitaan para sopir yang terpaksa menganggur dan pengusaha kecil yang dikejar-kejar penagih utang. Jangan sampai demi mengejar angka kelancaran di layar monitor ruang kendali, kita justru menabrak asas keadilan dan hak konstitusional warga negara yang sedang berjuang di jalanan.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (167) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) hukum (63) pustaka (62) keluarga (59) tentang ngawi (59) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)