Kisah Pilu Sang Air Bah

Minggu, 21 Desember 2025

Pulau Sumatera. Mendengar namanya saja, yang terbayang adalah hamparan hijau tak bertepi, gunung-gunung perkasa, dan lautan yang menyimpan sejuta pesona. Ia adalah permata Indonesia. Namun, di balik pesona itu, Sumatera menyimpan kisah duka yang rutin berulang, sebuah pertunjukan kolosal antara manusia dan kekuatan alam yang dinamakan banjir. Khususnya, banjir bandang atau yang akrab disebut galodo di Ranah Minang. Bukan hanya isapan jempol, tapi warisan bencana yang sudah tercatat sejak zaman baheula.


Coba kita tengok ke satu lokasi ikonik: Lembah Anai, Sumatera Barat. Saya belum berkesempatan berkunjung ke sana, tapi kita bisa melihat keindahannya di platform media sosial. Kawasan cagar alam yang dilalui jalan raya utama Padang-Bukittinggi ini terkenal dengan air terjunnya yang memesona. Ia seperti bingkai lukisan alam yang indah, namun sayangnya, bingkai ini menyimpan memori air bah yang mengerikan.


Anda mungkin mengira bencana alam hebat yang memutus jalur transportasi dan menghanyutkan apa saja di Lembah Anai baru terjadi belakangan ini. Eits, jangan salah! Merujuk pada catatan sejarah, Lembah Anai sudah jadi langganan amukan sungai sejak era kolonial Belanda. Bayangkan, jauh sebelum kita lahir, pada tahun 1892 dan kembali lagi di 1904, Lembah Anai sudah pernah dilanda banjir besar.


Dulu, Lembah Anai adalah jalur urat nadi modernisasi. Jalan raya dan jalur kereta api, yang dibangun dengan susah payah oleh pemerintah Kolonial, melewati ngarai yang eksotis ini. Tapi, apa yang terjadi? Air bah yang datang dari luapan Sungai Anai dan Singgalang, diperparah oleh hujan deras, menghancurkan segalanya.


Konon, dinding bukit longsor menimbun jalan kereta api, menghanyutkan jembatan besi hingga puluhan meter, dan memutus komunikasi berbulan-bulan. Bahkan, seorang pengusaha nasional legendaris, Hasjim Ning, mengenang cerita kakeknya yang harus berjalan kaki ke Kayutanam karena jalan putus akibat banjir tahun 1892. Dampaknya? Harga kebutuhan pokok di Padang dan Bukittinggi melonjak drastis!


Kisah ini memberikan kita sebuah kesadaran. Banjir di Sumatera, khususnya di kawasan topografi labil, bukanlah fenomena hanya karena cuaca hari ini, melainkan bagian dari siklus alam yang diperparah oleh kondisi lingkungan.


Memang, Sumatera adalah pulau tropis yang akrab dengan hujan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sering mencatat curah hujan ekstrem di sini. Terkadang, curah hujan bulanan bisa tumpah hanya dalam sehari! Ini adalah faktor alam. Namun, para pakar hidrologi dan geologi sepakat bahwa bencana skala besar belakangan ini adalah perpaduan maut antara faktor alam dan “dosa ekologis” manusia.


Penebangan dan alih fungsi lahan, inilah biang keladinya. Ketika hutan di hulu sungai—seperti di kaki Gunung Marapi—berkurang karena alih fungsi menjadi perkebunan, pertambangan, atau pemukiman, kemampuan tanah untuk menyerap air pun runtuh. Hutan ibarat spons raksasa. Tanpa spons itu, air hujan langsung lari kencang ke dataran rendah, membawa serta sedimen, lumpur, dan material longsor yang berubah menjadi galodo yang mematikan.


Sumatera berada di jalur Pegunungan Bukit Barisan yang membuat sebagian besar wilayahnya berbukit, memiliki kemiringan curam, dan struktur tanah yang labil. Ditambah lagi dengan keberadaan gunung api aktif seperti Marapi, erupsi menghasilkan material vulkanik yang jika bertemu air hujan deras (seperti yang terjadi pada bencana lahar dingin), ia berubah menjadi adonan lumpur pekat yang menghantam dengan daya rusak luar biasa.


Ketika kita membangun perumahan, kafe, atau bahkan infrastruktur vital terlalu dekat dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau di zona rawan, kita secara tidak sadar meletakkan diri di jalur lintasan bencana. Kisah Lembah Anai berulang. Bangunan wisata di pinggir sungai raib begitu saja dihantam banjir bandang. Ini bukan sekadar kesialan, tapi konsekuensi dari tata ruang yang abai terhadap risiko.


Kisah Lembah Anai adalah pelajaran abadi. Banjir yang terjadi di sana pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa alam memiliki memori. Jika kondisi lingkungan di hulu diabaikan, maka air bah akan datang dan menagihnya di hilir.


Bencana banjir di Sumatera adalah alarm kolektif. Bukan hanya tugas pemerintah untuk meregulasi tata ruang dan melakukan mitigasi. Ini adalah tanggung jawab kita semua: dari tidak membuang sampah sembarangan ke sungai (yang menyebabkan pendangkalan), mendukung upaya reboisasi, hingga menuntut kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berbasis risiko.


Sungai-sungai di Sumatera tidak hanya mengalirkan air, tapi juga membawa pesan, “Jaga kami atau kami akan mendatangi kalian.” Hanya dengan berdamai dan menghormati siklus alam, kita bisa memastikan bahwa keindahan Lembah Anai dan seluruh Sumatera akan terus dinikmati, bukan hanya sebagai kenangan pilu di lembar sejarah. 


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (161) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) hukum (60) keluarga (59) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)