Bandara Kemayoran, yang dibuka resmi pada tahun 1940, bukan sekadar infrastruktur penerbangan. Ia adalah penanda sejarah Indonesia modern. Dibangun pada masa kolonial Belanda, bandara ini menjadi bandara internasional pertama di Hindia Belanda, dan setelah kemerdekaan ia menjelma sebagai pintu gerbang utama Republik Indonesia ke dunia. Keberadaannya mengukuhkan Jakarta sebagai kota metropolitan dan menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting, mulai dari pendaratan tokoh-tokoh proklamasi hingga masuknya pesawat-pesawat berbadan lebar generasi awal. Namun, kejayaan ini berakhir pada tahun 1985.
Bandara Kemayoran dibangun di atas lahan rawa dan persawahan yang mulanya dimiliki oleh seorang Mayor VOC, Isaac de l’Ostal de Saint-Martin, yang kemudian menjadi asal-usul nama wilayahnya. Di bawah pengelolaan Koninklijk Nederlansch-Indischa Luchtvaart Maatschappij (KNILM) dan kemudian Angkasa Pura, Kemayoran mencapai puncak kemasyhurannya. Ia menjadi tempat singgah pesawat-pesawat dunia dan bahkan diabadikan dalam komik legendaris Tintin, “Penerbangan 714 ke Sydney”, yang menampilkan arsitektur terminal dan menara pengawasnya secara akurat. Menara Air Traffic Control (ATC) Kemayoran adalah yang pertama di Indonesia, bahkan di Asia, dan kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Di bawah Presiden Soekarno, bandara ini juga menjadi medium ekspresi kebudayaan nasional. Beliau memerintahkan seniman-seniman dari organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) untuk menciptakan karya-karya relief yang menghiasi ruang tunggu bandara, seperti relief Sangkuriang dan Manusia Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur tidak hanya dipandang dari sisi fungsional, tetapi juga sebagai wahana identitas bangsa.
Namun seiring waktu, Kemayoran mulai kewalahan. Peningkatan frekuensi penerbangan, posisi bandara yang semakin dikepung oleh permukiman padat penduduk, dan lokasinya yang terlalu dekat dengan Bandara Halim Perdanakusuma (untuk penerbangan internasional) menuntut adanya solusi yang lebih memadai. Puncak kejayaan bergeser ketika penerbangan internasional dialihkan ke Halim Perdanakusuma pada tahun 1974, dan akhirnya, seluruh operasional dipindahkan ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng pada tahun 1985.
Setelah ditutup, nasib Kemayoran terkesan miris. Bangunan terminal yang bersejarah, lengkap dengan karya seni patung dan relief yang mahal, mulai tidak terurus. Beberapa bagian dari bekas bandara bertransformasi menjadi Kompleks Pekan Raya Jakarta dan Kota Baru Kemayoran, dengan bekas landasan pacu yang kini menjadi Jalan Benyamin Sueb yang lurus membentang. Namun, sebagian bangunan peninggalan lainnya mengalami pelapukan, cat mengelupas, bahkan terkesan angker. Suatu kontras yang menyedihkan dari citra megah pintu gerbang internasional.
Kisah Bandara Kemayoran yang ditutup demi pembangunan bandara baru yang lebih besar dan modern di Cengkareng mencerminkan sebuah pola dalam pembangunan infrastruktur Indonesia, yaitu pergeseran prioritas dan dilema antara pembangunan dan keberlanjutan. Peristiwa ini dapat dikaitkan dengan polemik infrastruktur yang lebih baru, seperti yang terjadi pada kasus Bandara Morowali.
Menurut informasi yang dirilis MAKPI, “Polemik Bandara Morowali Berlanjut”, menunjukkan bahwa proyek-proyek infrastruktur besar, meskipun bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sering kali diiringi dengan kontroversi serius. Laporan tersebut menyebutkan bahwa polemik Bandara Morowali disayangkan terjadi, dengan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam “perang udara” atau “debat kusir” alih-alih menyelesaikan masalah secara konstruktif.
Mantan Presiden Jokowi membantah kabar yang menyebut dia yang meresmikan bandar udara yang berada di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Dia mengaku meresmikan Bandara Maleo di Morowali, Sulawesi Tengah. Bandara di IMIP tersebut dinilai oleh Menhan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai “negara dalam negara” karena beroperasi tanpa kehadiran otoritas negara. Sebaliknya, Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa Bandara IMIP merupakan bandara resmi yang terdaftar di Kemenhub. Bandara itu dikelola oleh pihak swasta dengan pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub melalui Otoritas Bandara Wilayah V Makassar.
Perbandingan antara Kemayoran dan Morowali akhirnya menghadirkan poin penting. Pertama, keputusan strategis versus dampak sosial. Penutupan Kemayoran dipicu oleh kebutuhan teknis dan kepadatan, sebuah keputusan strategis negara. Namun, meninggalkan bangunan bersejarah dalam kondisi yang memprihatinkan setelah dialihfungsikan juga merupakan kelalaian warisan. Dalam konteks Morowali, kontroversi yang berlanjut menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur vital, terutama yang melibatkan kepentingan publik dan industri, harus dilakukan dengan transparansi dan kepatuhan hukum.
Kedua, warisan yang terlantar. Nasib bangunan Kemayoran yang terlantar menjadi simbol betapa cepatnya sebuah infrastruktur penting dapat kehilangan nilai sejarahnya di mata pengelola, begitu fungsinya berakhir. Ini mengingatkan pentingnya perencanaan pasca-fungsi yang matang, bukan hanya fokus pada pembangunan awal.
Ketiga, polemik dan keterbukaan. Berlanjutnya polemik Bandara Morowali menyoroti bahwa masalah perizinan dan tata kelola dapat menjadi batu sandungan besar bagi proyek strategis. Dibandingkan dengan Kemayoran yang ditutup karena faktor teknis dan perkembangan kota, Morowali menghadapi tantangan yang lebih kepada integritas tata kelola.
Kisah Bandara Kemayoran, dari awal yang megah hingga akhir yang memilukan, menjadi pelajaran berharga bahwa pembangunan harus selalu diimbangi dengan pelestarian. Pintu gerbang internasional pertama itu kini hanya menyisakan relik. Hal ini harus menjadi pengingat bagi para pemangku kebijakan, termasuk dalam menghadapi polemik seperti di Morowali, bahwa infrastruktur bukan hanya soal membangun dan mengoperasikan, tetapi juga tentang cara mengakhiri, melestarikan, dan menjamin bahwa setiap proyek berlandaskan pada prinsip tata kelola yang baik demi kepentingan jangka panjang bangsa.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya