Kita hidup di negara yang lucu. Di satu sisi nilai-nilai ketimuran dan keagamaan begitu kental. Di sisi lain, isu korupsi yang secara prinsip bertentangan dengan semua nilai itu seolah menjadi kisah lama yang tak pernah usai. Beberapa hari lalu, saya menonton sebuah diskusi yang jujur saja membuat hati saya campur aduk, antara miris, kesal, dan terinspirasi. Yaitu perbincangan antara dr. Richard Lee dan Pak Novel Baswedan, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Topiknya berat: korupsi di Indonesia. Namun, cara mereka membongkarnya terasa begitu personal hingga saya merasa perlu menuliskan refleksi ini.
Inti dari diskusi tersebut, terutama saat menyentuh isu korupsi kuota haji, memberikan tamparan yang sangat keras. Bagaimana tidak? Haji adalah bagian rukun Islam, sebuah panggilan spiritual yang didamba setiap muslim. Tapi, di balik kesucian ibadah itu ternyata ada tangan-tangan yang tega bermain curang, menjual kuota, dan mengeruk keuntungan pribadi. Pak Novel Baswedan sempat menyinggung, bagaimana mungkin orang yang mengurus urusan agama, yang kita anggap memiliki keimanan tinggi, justru berbuat korupsi?
Ironi ini adalah puncaknya. Jika urusan ibadah suci saja bisa dikomersialkan dan dikorupsi, di mana lagi kita bisa menaruh kepercayaan? Ini bukan sekadar mencuri uang negara, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah spiritual dan harapan jutaan umat yang mengantre belasan hingga puluhan tahun. Bagi saya, kasus ini bukan lagi sekadar kasus hukum, melainkan penanda bahwa ada sesuatu yang sangat keropos di dalam hati nurani kita bersama.
Salah satu poin paling menarik yang diangkat oleh Pak Novel adalah pandangannya bahwa korupsi adalah sebuah “sakit mental”. Beliau menganalogikannya dengan teman yang kecanduan narkoba; bukannya dibiarkan dan diberi narkoba terus, kita justru harus berupaya menyelamatkannya, direhabilitasi, diproses, agar dia sembuh.
Pendekatan ini mengubah perspektif saya. Koruptor bukan hanya sekadar orang jahat yang berniat merampok, tetapi seseorang yang jiwanya sakit, terperangkap dalam lingkaran setan rasionalisasi keuntungan. Mereka menghitung untung-rugi: apakah layak risiko ketangkap dibandingkan uang yang didapat? Jika penegakan hukum lemah dan prosesnya lambat, hitungan untungnya akan selalu lebih besar. Ini menjelaskan mengapa korupsi selalu bereskalasi, dari yang kecil menjadi skandal besar. Sebab, begitu rasa bersalah hilang dan conflict of interest diizinkan, gerbang menuju korupsi masif pun terbuka lebar.
Namun, jangan berpikir korupsi hanya terjadi di level menteri atau pejabat tinggi. Diskusi tersebut mengingatkan kita bahwa praktik ini sudah mengakar hingga ke level akar rumput, bahkan mungkin sudah menjadi “kultur” yang kita maklumi sehari-hari.
Siapa di antara kita yang tidak pernah membayar “uang damai” kepada oknum parkir liar? Siapa yang tidak pernah mengeluarkan “biaya pelicin” agar urusan administrasi di kelurahan menjadi lebih cepat? Ini adalah korupsi level receh, Pungutan liar (pungli) atau suap kecil, yang ironisnya kita terima sebagai express pass layanan publik. Seperti kata Dr. Richard Lee, ini sama saja seperti membeli express pass di Dufan atau di Universal Studio. Kita rela membayar lebih agar tidak perlu mengantre lama.
Kita tahu itu salah. Kita tahu itu merusak sistem. Tapi, karena kita terbiasa dengan kemudahan instan dan melihat orang lain juga melakukannya, akhirnya kita memaklumi. “Ah, cuma segini, kok,” pikir kita. Nah, dari sinilah mentalitas korup itu menular dan menguat. Mulai dari yang kecil, lama-lama naik, dan tiba-tiba kita sudah berdiri di tengah sawit ilegal di kawasan hutan lindung, persis seperti contoh kasus yang disebutkan Pak Novel tentang pengusaha nakal.
Lantas, apakah kita harus menyerah pada nasib dan mengatakan, “Ya sudahlah, korupsi ini sudah jadi budaya?” Tentu tidak.
Menurut Novel Baswedan, kuncinya terletak pada penegak hukum dan political will dari negara. Kita punya contoh nyata di negara lain, seperti Singapura atau Hong Kong, yang dulunya juga kotor, tapi berhasil berbenah total. Kuncinya sederhana: penegakan hukum harus lurus, tegas, dan konsisten. Jika Anda buang sampah sembarangan di Singapura, Anda pasti didenda. Sama halnya, jika Anda korupsi, Anda harus yakin bahwa Anda akan ditangkap, diproses, dan semua hasil kejahatan Anda akan disita.
Intinya adalah menghadirkan kepastian hukum. Jika penegak hukumnya sendiri sudah bersih dan berintegritas, maka sistem pencegahan akan bekerja, dan orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi. Mereka tidak akan mau berisiko kehilangan segalanya demi uang yang sebentar lagi akan dikejar dan dirampas negara.
Ini adalah PR (Pekerjaan Rumah) besar kita. Korupsi adalah penyakit sistemik yang tidak bisa disembuhkan dengan solusi parsial. Ia butuh operasi besar yang dimulai dari kepala, yaitu membersihkan penegak hukum, mendorong pemimpin dengan kemauan politik yang kuat, dan yang tak kalah penting, kesadaran pribadi kita sendiri. Mari berhenti membeli express pass di kehidupan sehari-hari dan mulai menuntut keadilan antrean yang sesungguhnya. Kalau bukan kita yang memulai, lalu siapa lagi?

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya