18 November 2025, palu sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengetuk, menandai satu babak baru dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih akrab disingkat RUU KUHAP, resmi disahkan menjadi undang-undang. Ketua DPR, Puan Maharani, memberikan penekanan bahwa aturan baru ini akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026.
Mendengar kata “KUHAP”, mungkin kening kita sedikit berkerut. Ini memang bukan topik sepopuler film Hollywood atau skor pertandingan sepak bola. Namun, bagi kita semua, KUHAP adalah jantung dari proses keadilan. Ia adalah buku panduan yang mengatur dari mana polisi boleh memulai penyelidikan, bagaimana jaksa menuntut, sampai pada putusan hakim di pengadilan. Singkatnya, ia adalah pagar pembatas antara kekuasaan negara dan hak-hak warga negara.
Justifikasi utama yang dikemukakan oleh para pengambil keputusan terdengar sangat logis. UU KUHAP yang lama sudah berusia 44 tahun—sejak disahkan pada tahun 1981. Bayangkan, ketika UU itu dibuat, internet bahkan belum menjadi barang konsumsi publik. Kejahatan siber, pencucian uang lintas negara, atau bahkan sekadar cara penanganan bukti digital, tentu belum terpikirkan secara mendalam.
Dalam konteks ini, langkah modernisasi adalah keniscayaan. Hukum harus bergerak secepat masyarakatnya. Pakaian yang berusia 44 tahun pasti sudah usang, kekecilan, atau robek di sana-sini, tidak lagi sesuai untuk menghadapi tantangan zaman yang serba canggih dan kompleks. Intinya, kita butuh KUHAP yang relevan, efisien, dan mampu menjadi alat untuk memberantas kejahatan modern tanpa hambatan regulasi kuno.
Namun, di balik narasi modernisasi yang mulia ini, tersembunyi sebuah drama lain yang memicu reaksi keras dari berbagai kalangan sipil, utamanya para pegiat hak asasi manusia dan lembaga antikorupsi. Kritik itu terfokus pada dua hal krusial: proses yang terburu-buru dan substansi yang memberi porsi kekuasaan terlalu besar pada satu pihak.
Kita semua tahu, membuat undang-undang itu tak ubahnya membangun sebuah gedung pencakar langit. Ia memerlukan desain yang matang, fondasi yang kuat, dan pengawasan detail di setiap lantainya. Semakin penting gedungnya, semakin teliti prosesnya. Nah, KUHAP ini adalah salah satu fondasi utama negara hukum.
Sayangnya, sorotan tajam mengarah pada proses pembahasan RUU ini yang dinilai dilakukan secara terburu-buru. Ibarat memasak nasi goreng, UU sepenting ini seperti dimasak dengan api terlalu besar: cepat matang, tapi hasilnya mentah di dalam atau gosong di luar.
Pembahasan yang tergesa-gesa berpotensi besar mengabaikan masukan publik yang kritis dan detail. Ruang partisipasi seolah hanya formalitas, bukan substansi. Padahal, proses yang transparan dan inklusif adalah jaminan utama kualitas sebuah produk hukum. Jika prosesnya cacat, maka legitimasi dan penerimaan publik terhadap UU tersebut akan selalu dipertanyakan. Ini adalah ironi, sebuah UU yang bertujuan menegakkan keadilan justru lahir dari proses yang dinilai tidak adil.
Inilah inti dari kekhawatiran masyarakat sipil: adanya materi revisi yang, menurut mereka, memberikan ruang terlalu besar kepada kepolisian dalam menangani suatu perkara kriminal. Dalam konteks sistem peradilan pidana, polisi memiliki peran sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, dan hakim sebagai pemutus. Ketiganya seharusnya saling mengawasi (sistem check and balance).
Ketika KUHAP baru ini disinyalir memperkuat posisi polisi, terutama dalam hal penyidikan dan penahanan, kekhawatiran pun memuncak. Peningkatan kewenangan tanpa diiringi mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan ibarat memberikan "kartu truf" super kepada satu pemain dalam permainan.
Risiko yang paling nyata dan sering didengungkan adalah rentan disalahgunakan (abuse of power). Kekuasaan yang besar cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam sejarah penegakan hukum kita, praktik penyalahgunaan wewenang, mulai dari salah tangkap, rekayasa kasus, hingga penyidikan yang lambat dan berlarut-larut, bukanlah dongeng semata.
Jika kewenangan polisi diperluas—misalnya dalam hal penahanan atau penetapan tersangka tanpa kontrol memadai dari jaksa atau praperadilan—maka hak-hak dasar warga negara sebagai tersangka atau korban menjadi sangat rentan. Prinsip kehati-hatian (due process of law) bisa tergerus. Bagi warga sipil, ini adalah lampu merah besar. Hukum seharusnya melindungi yang lemah dari tirani kekuasaan, bukan sebaliknya.
Tanggal 2 Januari 2026 masih terasa jauh, memberikan jeda waktu sekitar satu tahun lebih bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mempersiapkan diri. Ini adalah waktu krusial. Selain untuk sosialisasi dan pelatihan aparat, periode ini harus dimanfaatkan untuk memastikan bahwa regulasi turunan (seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kapolri) benar-benar memperkuat akuntabilitas, bukan malah melegitimasi potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Pada akhirnya, sebuah undang-undang hanyalah selembar kertas bertuliskan tinta. Kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh keindahan pasal-pasalnya, tetapi oleh bagaimana ia diterapkan di lapangan.
Kita semua memiliki peran. Kita tidak boleh berpuas diri hanya setelah UU ini disahkan. Justru kini, tugas kita sebagai warga negara yang peduli adalah mengawasi setiap gerak implementasinya. Apakah KUHAP baru ini benar-benar membawa kita menuju peradilan yang lebih modern, cepat, dan adil? Atau, apakah ia hanya akan menjadi alat baru yang memperkuat kekuasaan tanpa kontrol, mengancam hak-hak dasar yang seharusnya dilindungi?
Modernisasi hukum adalah keharusan, tapi perlindungan hak asasi adalah harga mati. Mari kita pastikan bahwa di bawah payung KUHAP yang baru, keadilan benar-benar dapat dirasakan oleh setiap warga negara, tanpa pandang bulu dan tanpa rasa takut.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya