Di era Orde Baru PNS sebagai unsur utama dalam birokrasi terkooptasi oleh kekuatan politik. Regulasi kepegawaian saat itu yakni UU 8/1974 memang tidak secara tegas mengatur netralitas PNS, dengan kata lain PNS memang diharapkan menjadi kekuatan penyokong kekuasaan. Hal ini terbukti dengan dukungan formal Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) terhadap Golkar dalam setiap pemilu.
Baru setelah reformasi 1998 penataan birokrasi dilakukan dengan mewujudkan netralitas PNS. UU 8/1974 yang pro rezim Orde Baru dirubah dengan UU 43/1999. Pasal 3 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas tersebut Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Oleh karena itu, Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri. Pemberhentian tersebut dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
Dalam UU itu pula ditentukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negeri yakni oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan lebih lanjut dalam hal ini diatur dalam PP 9/2003. Dalam PP 9/2003 dikenal istilah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang sebenarnya tidak diatur dalam UU 43/1999. Dalam lingkup daerah PPK ini adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota. PPK mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS yang berada di lingkungan masing-masing.
Demikian luas kewenangan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian dalam mengurusi manajemen birokrasi. Padahal Kepala Daerah itu sendiri merupakan sebuah jabatan politik yang tak lepas dari kepentingan politik. Peran besar Kepala Daerah dalam urusan birokrasi itu tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Tidak ada sanksi bagi Kepala Daerah ketika mereka memanfaatkan birokrasi sebagai mesin pemenang pemilu. Ini menjadi kontradiktif ketika PNS diatur agar tidak berpolitik praktis, sedangkan Kepala Daerah yang notabene Pejabat Pembina Kepegawaian malah mempolitisasi birokrasi. Kelahiran PP 9/2003 menjadi hal yang kontra produktif dengan cita-cita netralitas birokrasi seperti yang didambakan dalam UU 43/1999.
Pelaksanaan pilkada secara langsung membutuhkan mobilisasi sumberdaya yang sangat besar. Kepala daerah atau calon kepala daerah cenderung berminat menjadikan birokrasi dan aparatur daerah sebagai mesin pengumpul suara dalam pilkada dan menjadikan posisi dalam birokrasi sebagai imbalannya. Dalam situasi seperti itu, ketika UU 43/1999 tidak mengatur tentang hubungan antara aparatur dan politisi maka politisasi birokrasi menjadi tidak dihindarkan. UU telah mengatur tentang larangan PNS menjadi anggota dan pengurus parpol, namun tidak mengatur secara jelas hubungan antara aparatur daerah dengan pejabat politik dan keterlibatan mereka dalam kegiatan politik praktis seperti pilkada. Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai hal itu telah mengakibatkan berkembangnya kegiatan politik praktis dalam birokrasi di daerah (Dwiyanto, 2010).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya