Pejabat yang menduduki jabatan politik adalah representasi dari kekuatan politik yang tentunya mengalami pasang surut dan berorientasi jangka pendek. Dengan penetrasi politik yang semakin dalam ke eksekutif, maka birokrasi publik sering dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis semata dengan mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas. Jajaran pejabat di dalam birokrasi publik harus mampu mengoptimalkan kemampuan mereka dalam membuat kebijakan dan melaksanakan kegiatan pelayanan publik dalam situasi di mana pengaruh politik sangat kuat termasuk di daerah (Kumorotomo, 2005).
Lebih lanjut Kumorotomo menyatakan bahwa pada tingkat daerah, tantangan yang harus dihadapi adalah merumuskan dengan jelas kewenangan administrasi pemerintahan di antara tiga unsur pokok birokrasi publik di daerah. Ketiga unsur yang dapat disebut sebagai local triumvirate itu adalah Kepala Daerah sebagai unsur eksekutif yang dipilih dengan legitimasi politis, Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai unsur eksekutif yang ditentukan berdasarkan legitimasi profesional, dan DPRD sebagai unsur legislatif. Diperlukan rumusan wilayah otoritas yang lebih jelas antara eksekutif yang ditentukan dengan basis legitimasi politis (Kepala Daerah) dengan eksekutif yang ditentukan dengan legitimasi profesional (Sekda). Betapapun, ketidakjelasan rumusan otoritas ini seringkali mengakibatkan masalah yang tidak kecil bagi keberlangsungan pelayanan umum di daerah.
Pada level mikro dominasi dan intervensi golongan atau kelompok kepentingan tertentu telah membutakan birokrat untuk selalu menomorsatukan pelayanan publik. Oleh karena itu ruang lingkup good governance yang luas belum mampu menandingi politisasi birokrasi yang notabene lahir dan hidup dari pengaruh penguasa dulu maupun sekarang. Fenomena tarik ulur antara good governance dengan politik birokrasi memang merupakan fakta politik yang cukup lama di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada tuntutan global untuk menjalankan good governance, tetapi di pihak lain ada pengaruh lokal politik birokrasi yang notabene kontra produktif terhadap kaidah-kaidah good governance tersebut (Sutiono, 2004).
Irsyam (2004) berpendapat (dalam Yusuf, 2010) bahwa politisasi birokrasi adalah penghambat dalam tumbuhnya profesionalisme birokrasi. Ada dua faktor yang telah mengakibatkan birokrasi belum terjamah oleh proses profesionalisme selama setengah abad ini. Pertama, karena di sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil maupun militer, selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk bagi politisasi. Minimal melalui politisasi sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis bagi partai sang menteri di dalam pemilu yang akan datang. Kedua, politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses profesionalisme di dalam birokrasi, tegasnya sejak tahun 1950 hingga dewasa ini profesionalisme birokrasi belum pernah menjadi titik perhatian dari para politisi yang memimpin birokrasi. Biasanya para politisi beranggapan bahwa profesionalisasi hanya akan merugikan atau membatasi ruang gerak politisasi yang akan dilancarkannya di dalam birokrasi tersebut.
Menurut Dwiyanto (2010) kegagalan mengatur hubungan fungsional dan kelembagaan secara jelas antara institusi politik dan birokrasi di daerah melahirkan banyak komplikasi persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi, seperti politisasi birokrasi, koalisasi antara aparatur dengan anggota DPRD dalam pembobolan anggaran, dan konflik antara politisi dengan pejabat karir. Berbagai persoalan itu jika tidak segera dicarikan solusinya dapat mengganggu perjalanan desentralisasi di Indonesia. Pilkada secara langsung sebagai salah satu ekspresi dari partisipasi politik warga telah mendorong elit politik di daerah untuk memanfaatkan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pilkada. Elit politik berusaha memanfaatkan peluang yang muncul dari tidak adanya pengaturan yang jelas dalam promosi dan pengangkatan pejabat karir untuk menjadikan mereka sebagai aktivis politik dan mesin kampanye untuk pilkada. Sebaliknya, aparatur daerah bersedia melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis dengan menjadi mesin kampanye karena berharap kemudian hari bisa memperoleh kelancaran dalam karirnya di birokrasi. Kebutuhan timbal balik ini telah menjadikan jabatan karir dalam birokrasi di daerah sebagai arena transaksi politik antara politisi dengan pejabat karir di daerah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mantap artikelnya gan. thank's.
www.kiostiket.com
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya