Masih teringat di benak saya kejadian 2 tahun lalu. Waktunya juga sama, menjelang akhir tahun, kira-kira November 2008. Sore hari di kantor tinggal beberapa teman saja yang masih mengentry data pelamar CPNS. Di luar hujan turun meski tidak terlalu deras. Saya masih di ruang komputer melihat beberapa berkas lamaran yang dikirim lewat pos hari itu. Sebentar lagi saya putuskan untuk pulang. Tiba-tiba saja ada nada masuk di HP. Sebuah nomor asing.
Suara di seberang seorang laki-laki. Menanyakan apa saya panitia CPNS. Saya jawab ya. Ia tanya apa benar saya memanggil seseorang (yang saya lupa namanya, sepertinya cewek) salah satu pelamar. Saya jawab mungkin ya (lupa-lupa ingat), karena hari itu ada beberapa nama yang harus saya konfirmasi kelengkapan berkas lamarannya melalui SMS berhubung tidak ada anggaran untuk menelepon. Saya balik tanya dia kemana yang bersangkutan, kenapa tidak dia sendiri saja yang menelepon, soalnya kalau tidak langsung bicara saya khawatir informasinya bias. Dijawabnya sedang pergi.
Oke tidak masalah. Saya pun beranjak ke ruangan kerja saya untuk mencari data nama-nama yang berkasnya kurang lengkap. Saya ingat tadi siang ada beberapa nama yang saya SMS karena ada berkas yang kurang. Semuanya merespon dengan baik, kecuali satu yang hingga sore itu tidak ada respon, barangkali ini orangnya.
Saya suruh tunggu dia. Saat perjalanan itu tiba-tiba ia berkata,”Kamu jangan macam-macam ya saya itu aparat. Rumahmu mana?” Deg, saya tidak menyangka sejauh itu dia menuduh macam-macam. Langsung saja saya katakan bahwa kalau memang tidak mau diberitahu kekurangan berkas (mungkin Saudaranya atau anaknya) itu ya sudah. Saya anggap gugur karena berkas memang tidak lengkap. Sempat engkel-engkelan akhirnya telepon ditutup.
Peristiwa itu menjadi pelajaran bagi saya. Kebaikan yang ingin kita berikan kepada orang lain belum tentu diterima baik oleh orang itu, malah bisa jadi menimbulkan kecurigaan. Saya tidak suka ketika ada orang yang membawa-bawa nama aparat. Sok jago. Toh belum tentu dia aparat betulan (asumsi saya aparat itu ya anggota TNI/Polri).
Kejadian seperti ini ternyata juga dialami teman yang lain. Sebenarnya maksud kami baik. Kami merasa kasihan dengan pelamar yang telah mengirimkan berkas melalui pos namun setelah diteliti ada kekurangan. Dan kekurangan itu sebenarnya sifatnya sepele, seperti tidak melegalisir kartu kuning, kekurangan foto, surat lamaran tidak bertandatangan, tidak melampiri amplop balasan, dan lain-lain. Karena di surat lamaran ada nomor telepon, maka kami berusaha menghubungi pelamar untuk melengkapi berkasnya. Selain orang seperti di atas, sebagian besar merasa berterima kasih.
Namun sejatinya saya pribadi kurang setuju dengan ”kebaikan” ini. Pertama, hakekat pelamar mengirimkan berkas melalui pos adalah salah satu cara untuk meminimalkan pertemuan tatap muka langsung antara calon peserta tes dengan panitia. Pertemuan antar keduanya bisa menimbulkan konflik kepentingan.
Kedua, seleksi CPNS sudah dimulai sejak pelamar mengirimkan berkas lamaran. Jika ada pelamar yang kurang dalam berkas lamarannya berarti ia telah terseleksi. Dalam hal ini seharusnya panitia mengesampingkan rasa kasihan.
Ketiga, rawan disalahgunakan oleh sebagian pelamar. Ada kasus seorang pelamar yang hanya mengirimkan surat lamaran saja tanpa berkas yang lain (tanpa ijazah, transkrip nilai, kartu kuning, foto). Karena kasihan bisa saja panitia menghubungi dia untuk melengkapi berkas.
Keempat, merepotkan panitia. Panitia sudah direpotkan dengan berkas lamaran yang setiap hari datangnya mencapai ratusan. Untuk itu harus direpotkan lagi dengan datangnya tamu yang ingin melengkapi berkas.
Kelima, tidak ada anggaran bagi panitia untuk menghubungi pelamar yang kekurangan berkas. Selama ini panitia harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli pulsa. Tentu saja sambil berharap kebaikan ini mudah-mudahan menjadi ladang amal di mata Allah.
Kembali ke peristiwa di muka. Akhirnya dengan terpaksa nama anak itu pun saya coret, karena memang berkas lamaran tidak lengkap. Pada kasus-kasus berikutnya saya telah bertekad untuk tidak menjadi ”pahlawan” bagi para pelamar yang berkasnya kurang itu. Termasuk pada pelaksanaan tahun berikutnya. Toh juga tidak ada larangan untuk tidak menghubungi. Justru dengan begitu saya merasa tidak terbebani karena saya menutup peluang bertemu langsung dengan calon peserta.
Saya mohon maaf kepada pelamar yang karena kesalahan sepele menjadi gagal menjadi peserta, karena pada pelaksanaan tahun ini ”kebaikan” itu sekarang ditiadakan. Seleksi ya seleksi, kalau kurang ya berarti gugur. Termasuk pada salah satu anggota dewan (yang dalam pemilu partainya pernah saya pilih) yang tidak puas karena orangnya (bisa teman, anak, tetangga, kerabat) gugur. Meskipun sampeyan ngeloby ke bos saya, saya tidak peduli.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya