Kontroversi mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) memanas. Awalnya, drama ini dipicu oleh Wakil Ketua DPR RI, Cucun Syamsurijal, yang viral lantaran dianggap arogan menepikan peran ahli gizi. Dalam sebuah forum, ketika seorang profesional menyampaikan masukan teknis mengenai kolaborasi Badan Gizi Nasional (BGN) dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), respons Cucun justru menohok: ahli gizi tak diperlukan. Ia berpendapat, pekerjaan itu bisa digantikan oleh lulusan SMA yang hanya diberi pelatihan singkat selama tiga bulan.
Pernyataan ini sontak memicu gelombang kritik, sebab meremehkan disiplin ilmu yang membutuhkan studi bertahun-tahun seolah menyamakan resep masakan rumahan dengan ilmu bedah klinis. Mengubah waktu, biaya, dan dedikasi yang dihabiskan para profesional untuk menguasai bidang tersebut, menjadi sebuah “pelatihan tiga bulan” sama saja dengan menyamakan pelatihan P3K (Pertologan Pertama pada Kecelakaan) dengan menjadi dokter bedah. Reaksi keras ini bukan sekadar pembelaan profesi, melainkan bentuk kekhawatiran publik terhadap kualitas sebuah program bernilai triliunan rupiah. Publik sadar, gizi bukan soal kenyang, melainkan soal presisi ilmiah.
Sangkalan paling tajam datang dari ahli gizi ternama, dokter Tan Shot Yen. Dengan tegas, ia membongkar ilusi pelatihan tiga bulan itu. Menurut dr. Tan, peran ahli gizi dalam MBG sangat spesifik dan tidak bisa digeneralisasi. Seorang ahli gizi SPPG harus mampu menganalisis status gizi anak-anak di sekolah yang dilayani, apakah mereka menderita stunting atau justru mengalami obesitas.
Mengutip dr. Tan, bahwa ahli gizi memiliki tanggung jawab moral. Jika anak-anak di suatu sekolah cenderung kelebihan berat badan, maka menu yang mereka susun harus memastikan masalah tersebut tidak semakin parah. Kemampuan untuk menyusun menu, menghitung kalori, dan melakukan pemantauan status gizi (termasuk membaca kurva tumbuh kembang) adalah keahlian dan kepakaran yang tak mungkin dimiliki oleh lulusan SMA dengan pelatihan singkat.
Dokter Tan menyentil balik dengan pedas, “Ahli gizi tidak layak dikacaukan jadi tukang masak sekaligus tertuduh utama jika ada keracunan!” Sikap legislator yang intervensi terhadap masalah teknis profesi—bahkan dengan rencana mengubah diksi “ahli gizi” menjadi “tenaga yang menangani gizi” demi mengakomodasi lulusan SMA—dinilai sebagai tindakan yang arogan, karena mengabaikan profesionalisme demi kepentingan kebijakan.
Namun, kontroversi gizi ini ternyata bersambut dengan isu lain yang lebih sensitif: tata kelola dan komersialisasi program. Laporan mengenai seorang anak muda membuka mata publik terhadap skala bisnis di balik inisiatif mulia ini. Terdengar kabar, adalah mahasiswi berusia 20 tahun, putri seorang Wakil Ketua DPRD suatu provinsi, mengelola 41 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di empat kota. Ayahnya berasal dari partai politik yang sama dengan presiden.
Tentu, tanpa mengecilkan kemampuan berbisnis anak muda, status elite orang tuanya sulit sekali untuk diabaikan. Namun, di tengah ketatnya persaingan untuk mendapatkan izin pengelolaan SPPG, yang memerlukan modal awal miliaran rupiah dan jaringan logistik yang rumit, keberhasilannya menguasai puluhan dapur menjadikannya anak muda yang luar biasa.
Angka-angka di balik MBG cukup mencengangkan. Dengan investasi awal yang ketat (sekitar Rp 1,5 miliar per dapur) dan potensi keuntungan Rp2.000 per porsi, pengelola SPPG dapat meraup keuntungan yang menggiurkan. Yayasan dari anak muda tersebut, yang melayani ribuan porsi per hari, berpotensi meraup keuntungan miliaran rupiah per bulan. Sebuah skala ekonomi yang sangat fantastis. Fenomena ini menunjukkan bahwa MBG, yang seharusnya menjadi program sosial, telah menjadi arena bisnis sentralistik yang didominasi oleh modal kuat.
Data menunjukkan, Indonesia memang memiliki masalah stunting (sekitar 19,8% anak) yang harus diatasi. Namun, Indonesia juga memiliki masalah obesitas dan kegemukan (sekitar 19,7% pada anak berusia 5-12 tahun). Lantas, mengapa program ini menyasar 82,5 juta anak sekolah secara keseluruhan, termasuk yang sudah kelebihan nutrisi?
Pernyataan dari ahli gizi mestinya perlu didengar: penanganan gizi seharusnya presisi. Program yang disamaratakan berisiko memberi nutrisi yang salah sasaran, entah itu tidak cukup untuk anak stunting atau justru berlebihan bagi anak obesitas. Inilah yang dihindari oleh para profesional gizi.
Namun, jawaban dari kacamata politik dan bisnis juga jelas. Skala masif (82,5 juta anak) menciptakan keuntungan masif. Sentralisasi program dan persyaratan modal yang ketat justru menutup pintu bagi UMKM lokal, alih-alih menumbuhkannya, dan menjamin efisiensi (dan keuntungan) bagi segelintir pemain besar.
Kesimpulannya, drama MBG ini adalah cerminan konflik antara ilmu pengetahuan yang menuntut presisi dan kepentingan politik-komersial yang menuntut profit. Selama para pengambil kebijakan menafikan kepakaran profesional dan program publik dikelola sebagai “bancakan politik”, maka kualitas gizi anak-anak Indonesia akan selalu dipertanyakan.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya