Pendidikan adalah investasi paling krusial bagi masa depan bangsa, namun perjalanannya di Indonesia seringkali diwarnai ambisi besar yang disertai kontroversi dan mungkin pengabaian terhadap masalah fundamental. Dalam satu dekade terakhir, digitalisasi pendidikan dasar dan menengah telah menjadi program unggulan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, menelan anggaran triliunan rupiah untuk pengadaan perangkat keras. Namun, saat kebijakan ini bertransformasi dari era laptop Chrome menjadi era layar lebar, muncul pertanyaan mendasar: apakah angka gigantis dalam belanja perangkat keras ini benar-benar menjawab masalah utama pendidikan kita, ataukah ia sekadar mengalihkan perhatian dari jurang pemerataan kualitas yang semakin menganga?
Periode awal digitalisasi di bawah kepemimpinan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, ditandai dengan program pengadaan komputer jinjing berbasis Chrome secara besar-besaran. Tujuan program ini mulia, yakni menutup kesenjangan teknologi dan mempersiapkan peserta didik menghadapi era digital. Triliunan rupiah digelontorkan untuk membeli perangkat yang didistribusikan ke sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri. Sayangnya, program ambisius ini tidak berjalan mulus. Alih-alih menuai pujian, program ini justru tersandung masalah hukum. Ironi pahit muncul ketika Nadiem Makarim, sosok yang merintis program ini, kini harus berhadapan dengan konsekuensi hukum sebagai mantan menteri yang terseret dalam kasus pengadaan perangkat tersebut. Kontroversi ini tidak hanya mencoreng citra program, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang efektivitas pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan yang begitu besar.
Meski demikian, ganti rezim dan menteri tidak menghentikan arus digitalisasi. Program tersebut dilanjutkan dengan istilah dan perangkat yang berbeda. Kini, fokus bergeser dari perangkat personal siswa ke perangkat kelas yang komunal. Layar lebar dihadirkan di depan kelas sebagai alat bantu pengajaran yang diklaim lebih interaktif dan efektif. Anggaran yang digelontorkan pun tak kalah fantastis. Disebutkan bahwa untuk pengadaan perangkat ini saja, sekitar Rp2 triliun telah dibelanjakan pada tahun 2025, dengan rencana penambahan 1 juta unit lagi untuk tahun 2026. Presiden Prabowo menyebutnya sebagai salah satu program digitalisasi sekolah terbesar di dunia.
Pernyataan tersebut, yang menampilkan skala gigantis belanja infrastruktur, mungkin mengesankan secara statistik. Namun, di sinilah letak kritik utamanya. Angka triliunan rupiah yang dihabiskan untuk perangkat keras, baik laptop maupun layar lebar, seolah menempatkan digitalisasi sebagai satu-satunya resep manjur untuk semua masalah pendidikan. Padahal, pendidikan adalah persoalan multidimensi yang tak bisa disederhanakan hanya dengan kehadiran perangkat digital nan canggih.
Faktanya, pendidikan kita masih terbelit dengan urusan pemerataan kualitas yang akut. Pertama dan terpenting adalah kualitas dan distribusi guru. Banyak daerah, terutama di pedesaan di Jawa maupun di luar Jawa, masih kekurangan guru berkualitas atau harus menghadapi guru-guru yang terbebani tugas administrasi. Perangkat digital tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru yang terlatih, termotivasi, dan berdedikasi. Peningkatan kualitas guru melalui pelatihan yang berkelanjutan dan insentif yang memadai, terutama bagi mereka yang bersedia mengabdi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), semestinya menjadi prioritas utama alokasi dana.
Kedua, masalah infrastruktur fisik. Angka Rp2 triliun yang dialokasikan untuk layar lebar tahun ini, misalnya, terasa kontras dengan realitas ribuan gedung sekolah di berbagai daerah yang kondisinya memprihatinkan. Banyak sekolah yang kekurangan ruang kelas yang layak, tidak memiliki sanitasi memadai, tidak dilengkapi perpustakaan atau laboratorium, bahkan ada yang masih berupa bangunan reyot yang membahayakan keselamatan siswa. Bagaimana mungkin digitalisasi berjalan optimal jika listrik sering padam atau jika siswa harus belajar di ruangan yang bocor? Investasi pada fondasi fisik pendidikan, seperti renovasi gedung, pengadaan buku, dan fasilitas dasar lainnya, adalah prasyarat tak terhindarkan sebelum perangkat canggih dapat berfungsi maksimal.
Digitalisasi harus dipandang sebagai sarana, bukan sebagai tujuan akhir. Jika triliunan rupiah terus digelontorkan untuk perangkat yang rentan terhadap kerusakan, kadaluarsa, dan masalah pengadaan, sementara isu pemerataan kualitas guru dan kelayakan gedung sekolah diabaikan, maka program digitalisasi yang diklaim terbesar di dunia ini hanya akan menjadi proyek raksasa yang berdiri di atas fondasi pendidikan yang rapuh. Pemerintah perlu meninjau kembali strategi ini, memastikan bahwa setiap rupiah anggaran pendidikan dialokasikan secara seimbang, yaitu untuk inovasi digital sekaligus memperkuat pilar-pilar pendidikan yang paling mendasar, yakni guru dan infrastruktur fisik yang merata. Hanya dengan cara itu, ambisi digitalisasi dapat benar-benar berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan nasional, bukan sekadar menghasilkan angka belanja perangkat yang fantastis.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya