Refleksi Keadilan di Indonesia

Sabtu, 15 November 2025

Drama Korea, Stranger (dikenal juga sebagai Forest of Secrets), pertama kali tayang pada tahun 2017 dan dengan cepat diakui sebagai salah satu serial thriller kriminal terbaik. Bukan sekadar kisah pembunuhan misterius, drama ini adalah gambaran cermat terhadap korupsi institusional yang menggerogoti sistem hukum Korea Selatan, khususnya di lembaga kejaksaan dan kepolisian. Dengan lakon Hwang Si-mok sebagai jaksa yang apatis secara emosional dan Han Yeo-jin sebagai letnan polisi yang gigih, menyajikan sebuah narasi film yang gelap, cerdas, dan sayangnya, mungkin relevan untuk direfleksikan dalam konteks hukum di Indonesia.


Inti dari Stranger adalah pencarian kebenaran di tengah kekuasaan yang busuk. Kisah dimulai ketika Jaksa Hwang Si-mok, seorang pria yang kehilangan kemampuan merasakan emosi akibat operasi otak, menemukan dirinya terlibat dalam kasus pembunuhan yang awalnya terlihat sederhana. Namun, penyelidikan yang dilakukan Hwang Si-mok dan Han Yeo-jin secara perlahan membuka tabir konspirasi yang jauh lebih besar. Pembunuhan itu ternyata hanyalah puncak gunung es dari sebuah jaringan korupsi terstruktur yang melibatkan pejabat tinggi kejaksaan, kepolisian, dan konglomerat besar. Jaringan tersebut berupa sistem patronase elit yang memastikan impunitas bagi para pelaku kejahatan kelas atas.


Kekuatan utama drama ini terletak pada kritik tajamnya terhadap kejaksaan. Di Korea Selatan, jaksa memiliki kekuasaan investigasi yang luar biasa. Mereka tidak hanya menuntut, tetapi juga memimpin penyelidikan. Kekuasaan ganda ini menjadi celah utama korupsi. Kejaksaan di Stranger dikisahkan bukanlah penjaga keadilan, melainkan sarang dari intrik politik, suap, dan pengkhianatan. Para pejabat jaksa senior digambarkan menggunakan wewenang mereka untuk menutupi kejahatan kolega, memanipulasi bukti, dan memperdagangkan informasi demi keuntungan pribadi. Mereka membentuk "hutan rahasia" di mana keadilan tersesat dan kekuasaan menjadi satu-satunya mata uang.


Di sinilah relevansi Stranger menemukan gema yang kuat dalam konteks Indonesia. Institusi kejaksaan di Indonesia juga kadangkala menghadapi tantangan integritas yang serius. Walaupun struktur organisasinya berbeda dari Korea, kasus-kasus jaksa nakal yang digambarkan di layar kaca maupun media massa terasa akrab. Kita mengenal istilah-istilah seperti mafia peradilan atau jaksa yang “bermain” dalam penanganan kasus. Dulu, pernah viral cerita nyata oknum penegak hukum Jaksa Urip dan Jaksa Pinangki yang terjerat kasus pidana. Keduanya berakhir mendekam di penjara. 


Kasus-kasus yang melibatkan oknum penegak hukum senantiasa menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai integritas. Baru-baru ini, publik kembali menyoroti kasus Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro, yang terbukti menerima aliran dana dari penggelapan barang bukti terkait kasus investasi bodong robot trading Fahrenheit. Jaksa Azam Akhmad Aksya, yang bertindak sebagai jaksa penuntut dalam perkara tersebut, secara ilegal mengambil barang bukti dan menyerahkan sebagian dana (Rp 500 juta) kepada atasannya, Hendri Antoro. Meskipun Azam telah dijatuhi vonis pidana selama sembilan tahun penjara, sanksi yang diberikan kepada atasannya hanya berupa pencopotan dari jabatan, yang diklaim sebagai sanksi terberat secara internal.


Keputusan ini memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat dan akademisi hukum. Peristiwa ini bukan sekadar insiden disipliner biasa, melainkan sebuah tindakan yang menyentuh inti sumpah jabatan. Menerima uang yang merupakan hasil penggelapan barang bukti adalah perbuatan yang (mestinya) memiliki dimensi pidana. Oleh karena itu, muncul pertanyaan krusial: mengapa tindakan yang secara substansi merupakan tindak pidana, hanya diselesaikan melalui mekanisme sanksi administratif internal? Sebuah keputusan yang bisa saja melukai para korban yang sudah jatuh, menggandakan kerugian mereka, dan menghancurkan kepercayaan kepada institusi hukum.


Karakter Hwang Si-mok sendiri adalah manifestasi dari harapan ideal: keadilan yang murni, bebas dari pengaruh emosi dan kepentingan jahat. Karena ketiadaan emosi, Hwang Si-mok tidak bisa disuap dengan ambisi, ketakutan, atau keserakahan. Kehadiran Hwang Si-mok dan Han Yeo-jin, yang mewakili kerja sama lintas lembaga yang jujur, menyiratkan bahwa pembersihan institusi harus dimulai dari individu-individu berintegritas yang berani melawan arus.


Secara keseluruhan, Stranger adalah karya drama kriminal yang lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah pernyataan politik tentang keadilan. Drama Korea ini mengingatkan kita bahwa korupsi bukan hanya masalah uang, tetapi masalah struktur kekuasaan yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang. Bagi penonton Indonesia, drama ini berfungsi sebagai cermin kritis. Pembenahan sistem hukum tidak hanya sekadar terbitnya regulasi, tetapi juga komitmen moral yang tak tergoyahkan dari setiap aparat hukum. Semangat Hwang Si-mok dan Han Yeo-jin yang meskipun fiksi, sangat dibutuhkan dalam realitas peradilan kita.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (167) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) hukum (63) pustaka (62) keluarga (59) tentang ngawi (59) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)