Drama Hukum dan Politik

Sabtu, 22 November 2025

Panggung politik Indonesia adalah ring tinju yang tak pernah sepi, tempat para petarung, baik yang mengenakan jubah teknokrat maupun jaket politikus. Mereka saling beradu strategi. Dalam beberapa waktu terakhir, dua figur yang tak henti menjadi bahan perbincangan, seringkali disorot karena isu-isu yang menyerempet ke ranah hukum dan politik, adalah Ira Puspadewi dan Tom Lembong.


Bukan hanya prestasi mereka yang disorot, tetapi juga berbagai dugaan dan isu korupsi yang dituduhkan. Kasus-kasus yang mengelilingi kedua tokoh ini—satu di kancah BUMN, satu lagi di panggung kebijakan—menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana hukum ditegakkan (atau dimanfaatkan) di tengah pusaran kepentingan politik yang panas.


Ira Puspadewi dikenal sebagai profesional tangguh yang berhasil memimpin dua perusahaan pelat merah yang sangat vital bagi publik. Badan Umum Milik negara (BUMN) tersebut adalah KAI Commuter dan ASDP Indonesia Ferry. BUMN, dalam konteks Indonesia, adalah area abu-abu. Secara bisnis ia harus mencari untung, tetapi secara politik ia adalah aset strategis dan, seringkali, dianggap “ladang basah” bagi para pemburu rente.


Isu-isu yang menyeret nama Ira, umumnya berakar pada tata kelola perusahaan, khususnya dalam hal pengadaan atau proyek infrastruktur. Secara hukum, di sinilah letak labirinnya, yakni dilema kerugian negara dan laporan dari pihak internal.


Pertama, tentang dilema kerugian negara. Hukum Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berpusat pada unsur kerugian negara dan niat jahat (mens rea). Seringkali, penegak hukum menghadapi kesulitan membedakan antara kesalahan administratif dan tindakan kriminal (niat memperkaya diri sendiri atau orang lain). Keputusan bisnis yang buruk bisa jadi merugikan negara, tetapi belum tentu korupsi. Bagi seorang CEO BUMN, perbedaan tipis ini adalah garis hidup dan mati.


Kedua, laporan dari pihak internal. Sorotan terhadap BUMN, termasuk di masa kepemimpinan Ira, seringkali datang dari pihak internal yang tidak puas atau mungkin dari “pemain lama” yang terganggu kepentingannya saat ada upaya pembersihan. Ini membuat setiap proses hukum harus dicermati, apakah ini murni penegakan hukum ataukah ini “dendang” politik dari pihak yang ingin mengambil alih atau membalas dendam?


Dari kacamata politik, BUMN adalah medan pertempuran. Ketika seorang pemimpin seperti Ira Puspadewi melakukan upaya untuk meningkatkan profesionalisme, ia secara otomatis menciptakan musuh politik. Musuh-musuh inilah yang kemudian dapat menggunakan celah-celah hukum, sekecil apa pun kesalahan administrasi yang ditemukan, sebagai amunisi untuk menjatuhkan kredibilitasnya. Dalam konteks ini, dugaan korupsi dapat berfungsi sebagai alat delegitimasi yang efektif untuk menyingkirkan lawan atau memicu pergantian pimpinan sesuai selera politik tertentu.


Meninggalkan sejenak Ira Irawati, kita beralih ke Tom Lembong. Tom Lembong memiliki lanskap karier yang berbeda. Ia adalah seorang policy maker di tingkat tertinggi, pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM, kemudian bergeser menjadi kritikus yang vokal dan penasihat strategis dari kubu oposisi. Isu hukum yang menyeret namanya biasanya terkait dengan kebijakan strategis, seperti izin investasi atau keputusan ekspor dan impor.


Selama ia berada di dalam lingkaran kekuasaan, keputusannya mungkin luput dari sorotan hukum yang serius karena dilindungi oleh payung politik. Namun, ketika ia pindah haluan dan mulai melontarkan kritik tajam kepada rezim berkuasa, ia secara otomatis menjadi target empuk.


Isu dugaan korupsi yang muncul belakangan, seringkali terkait dengan keputusan yang sudah lama diambil saat ia masih menjabat. Secara politis, momen kemunculan isu ini terasa sangat sensitif, berfungsi sebagai “kartu kuning” atau upaya pembungkaman. Tujuannya bukan semata-mata menghukum, tetapi merusak reputasi di mata publik, sehingga mengurangi bobot kritik yang ia lontarkan.


Secara hukum, membuktikan korupsi pada kebijakan strategis adalah tantangan besar. Penegak hukum harus membuktikan bahwa ada niat jahat (korupsi) di balik sebuah keputusan, bukan sekadar perbedaan pandangan ekonomi atau kekeliruan prediksi pasar. Misalnya, jika ada kebijakan investasi yang kemudian gagal dan merugikan negara, apakah itu korupsi atau business judgment rule (BJR)? 


BJR adalah prinsip hukum yang melindungi direksi dari tanggung jawab hukum atas kerugian yang diderita perusahaan, asalkan keputusan bisnis diambil dengan itikad baik, kehati-hatian, dan berdasarkan informasi yang memadai untuk kepentingan perusahaan. Prinsip ini penting untuk mendorong inovasi dalam ketidakpastian bisnis, namun tidak memberikan kekebalan hukum jika direksi terbukti bertindak dengan kelalaian berat, memiliki konflik kepentingan, atau melakukan tindakan pidana. Di Indonesia, doktrin ini diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.


Perbedaan korupsi dan BJR memang sangat tipis. Politik berusaha menggeser jarum ke arah korupsi, sementara hukum seharusnya memastikan bahwa beban pembuktian niat kriminal terpenuhi. Kasus Ira Puspadewi dan Tom Lembong mengajarkan kita bahwa di Indonesia, penegakan hukum belum tentu steril dari politik.


Proses hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan, adalah arena pertarungan di mana kebenaran faktual harus bersaing dengan kebenaran politis. Bagi Ira, persimpangan itu adalah apakah ia akan dihukum karena dosa sistem BUMN yang ia warisi atau dilindungi oleh rekam jejak prestasinya. Bagi Tom, persimpangan itu adalah apakah suaranya sebagai kritikus akan dibungkam oleh tuduhan masa lalu atau justru semakin lantang karena ia membuktikan diri bersih.


Pada akhirnya, sorotan terhadap kedua tokoh ini adalah indikator positif. Publik semakin peduli terhadap akuntabilitas pemimpin. Namun, ini juga pengingat bahwa hukum, tanpa integritas yang kokoh dari aparat penegak dan tanpa pemisahan tegas dari kekuasaan politik, akan selalu berisiko menjadi alat untuk membersihkan kawan atau menghantam lawan. Dan itulah drama hukum dan politik yang tak pernah usai di Ibu Pertiwi.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (137) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (55) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)