Dari Kereta Api Terakhir Hingga Puncak Bukit Karang

Rabu, 26 November 2025

Siapa sih yang tidak suka kisah pahlawan? Sejak kecil, kita dijejali narasi tentang sosok super yang datang menyelamatkan dunia. Namun, dalam dunia nyata, terutama di balik layar lebar yang menceritakan sejarah, kepahlawanan itu jauh lebih kompleks, lebih membumi, dan kadang, lebih menyakitkan. Ia tidak selalu mengenakan jubah, tapi seringkali seragam yang lusuh dan penuh lumpur.


Untuk benar-benar memahami spektrum heroisme, mari kita dudukkan dua film yang seolah berada di kutub berlawanan: “Kereta Api Terakhir” (1981) dari Indonesia dan “Hacksaw Ridge” (2016) dari Hollywood. Keduanya bercerita tentang perang, tapi mendefinisikan keberanian dengan cara yang sangat berbeda, namun pada intinya tetap sama.


Saya menonton film “Kereta Api Terakhir” saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Menonton bersama teman-teman satu sekolah di gedung bioskop dekat Alun-alun Kota Madiun. Membayangkan peristiwa heroik pertempuran para prajurit. Seru. Tegang. Sekaligus kocak dengan ulah Sersan Tobing. Seorang tentara yang lucu, pemberani, serta jago bernyanyi dan bermain gitar. 


Lagu “Rindu Lukisan” yang didendangkan Sersan Tobing seakan melambangkan kerinduan rekannya, Letnan Firman, yang mendamba kekasih pujaan hati. “Mengapa mendusta seribu kata. Mengapa membisu seribu bahasa. Mungkinkah bulan merindukan kumbang. Dapatkah kumbang mencapai rembulan”. Cinta Letnan Firman kepada seorang gadis penumpang kereta memberi romansa di tengah perjalanan yang mencekam.


Film “Kereta Api Terakhir “menempatkan kita pada konteks yang sangat Indonesia, yaitu Agresi Militer Belanda, peristiwa yang terjadi beberapa saat setelah proklamasi. Ini adalah perjuangan yang diliputi kecemasan. Kereta api yang menjadi fokus film ini bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah simbol. Ia adalah harapan yang bergerak, wadah bagi para pejuang berjuang, tempat bagi warga sipil mencari perlindungan, sekaligus peti mati yang bisa diledakkan kapan saja.


Kepahlawanan di sini sifatnya kolektif. Tidak ada satu jenderal atau satu prajurit yang tiba-tiba menang sendiri. Film ini justru menyoroti perjuangan bersama yang melibatkan semua orang. Prajurit yang mempertahankan gerbong terakhir, perawat yang merawat luka di tengah perjalanan, hingga awak kereta yang terus menjalankan tugas mereka meski diintai maut.


Heroisme dalam film ini lahir dari urgensi untuk bertahan hidup dan mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Mereka tidak beraksi demi medali, tapi demi teritori. Ini adalah keberanian yang luar biasa, penuh keringat, berdarah, dan seringkali berakhir tragis. Para pahlawan di “Kereta Api Terakhir” adalah orang-orang biasa yang dipaksa menjadi luar biasa oleh tuntutan zaman.


Beralih ke medan perang Okinawa, kita bertemu dengan Desmond Doss, tokoh sentral dalam film “Hacksaw Ridge”. Kisah Doss menawarkan definisi kepahlawanan yang paling kontras dan menampar narasi perang konvensional. Doss adalah seorang tenaga medis Angkatan Darat AS yang berpegangan teguh pada keyakinan agama untuk menolak membawa senjata apa pun.


Bayangkan, Anda berada di tengah pertempuran paling brutal, mendaki tebing karang curam bernama Hacksaw Ridge, di mana ratusan rekan Anda tewas, namun Anda menolak memegang senapan. Aksi Doss ini awalnya dianggap pengecut, gila, bahkan mengkhianati rekan. Ia menghadapi cemoohan, intimidasi, hingga pengadilan militer.


Namun, keberanian sejati Desmond Doss terbukti pada hari terburuk di Hacksaw Ridge. Setelah pasukan Amerika mundur, Doss tetap tinggal sendirian di atas tebing yang dikuasai musuh. Selama malam yang mencekam, ia secara berturut-turut menyeret, menurunkan, dan menyelamatkan 75 rekan prajuritnya yang terluka. Ia melakukannya tanpa membalas tembakan, hanya mengandalkan keyakinannya.


Kepahlawanan Doss bersifat individual dan moral. Ia membuktikan bahwa aksi paling heroik justru bisa dilakukan dengan menolak kekerasan. Ia mendefinisikan ulang keberanian. Bukan seberapa cepat Anda menarik pelatuk, melainkan seberapa kuat Anda berpegang pada keyakinan, bahkan ketika keyakinan itu menempatkan Anda dalam bahaya terbesar.


Meskipun satu film menampilkan perjuangan kolektif di “Kereta Api Terakhir” dan yang lainnya menonjolkan aksi individual tanpa senjata di “Hacksaw Ridge”, benang merah yang mengikat kedua cerita ini adalah ketulusan motivasi. Baik Firman, Tobing, dan para prajurit di gerbong kereta api Indonesia maupun Desmond Doss di tebing Okinawa, tidak satu pun dari mereka berjuang untuk ketenaran atau medali. Mereka bertindak karena tugas dan keyakinan.


Bagi pejuang kemerdekaan, tugas mereka adalah menjaga Republik agar tetap berdiri. Keyakinan mereka adalah hak untuk menentukan nasib sendiri. Bagi Desmond Doss, tugasnya adalah menyelamatkan nyawa sesama manusia tanpa mengambil nyawa siapa pun. Ia menyebut dirinya “penarik beban”. Keyakinan terbesarnya adalah perintah “Jangan membunuh”.


Inti dari kepahlawanan, menurut dua film ini, bukanlah bagaimana Anda bertempur, melainkan mengapa Anda bertempur, dan yang lebih penting, apa yang Anda korbankan. 


Pahlawan sejati, pada akhirnya, adalah seseorang yang memilih untuk bertindak, entah itu melawan musuh di garis depan atau melawan pandangan umum rekan sejawat, demi sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Mereka adalah cerminan dari hati yang teguh dan komitmen untuk berbuat baik, bahkan ketika rasa takut sudah mencapai ubun-ubun. Kepahlawanan itu tidak tunggal. Ia bisa berbisik melalui doa seorang Desmond Doss, atau berteriak dari balik senapan di gerbong kereta api yang diburu penjajah. Dan keduanya sama-sama layak dihormati.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (140) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (55) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)