Bersih dan Membersihkan

Sabtu, 29 November 2025

Pernahkah Anda membayangkan memimpin sebuah perusahaan yang bergerak di industri paling maskulin dan “basah” di Indonesia? Bayangkan mengelola 17.000 pulau dan kapal feri yang besar serta menghadapi budaya kerja yang kental, birokratis, serta “mafia” yang terbiasa dengan uang tunai miliaran rupiah per hari.


Itulah arena pertarungan Ira Puspadewi, Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Dalam obrolan santai di podcast, Ira membuka kisah perjalanannya yang jauh dari kata biasa, dari masa kecil yang keras hingga menjadi CEO yang tegas. Ini bukan hanya cerita tentang transformasi BUMN, tetapi tentang bagaimana ketahanan diri dan strategi yang cerdas bisa mengubah lautan yang penuh badai.


Kisah Ira Puspadewi dimulai dari sebuah kisah masa kecil yang tak terlupakan. Ia adalah anak bungsu dari 11 bersaudara. Ayahnya meninggal saat ia berusia tujuh tahun, meninggalkan sang Ibu sebagai pendidik tunggal.


Satu hari, Ira kecil mogok sekolah. Reaksi ibunya sungguh luar biasa. Dalam momen itu, sang Ibu membawanya ke sekolah sambil memegang sebilah golok di tangan. “Kalau kamu tidak sekolah, hidupmu tidak akan berubah,” tegas sang Ibu.


Momen dramatis itu menanamkan disiplin yang tak pernah luntur. Sejak saat itu, Ira tak pernah membolos. Disiplin itulah yang mengantarkannya ke jalur pendidikan yang unik, S1 di Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Brawijaya. Ia memilih peternakan karena terpaksa masuk jalur IPA, namun ia memilih yang paling “sosial” agar sesuai dengan minatnya.


Gelar doktor di Strategic Management dari Universitas Indonesia ia raih di sela-sela kesibukan kerja. Itulah peristiwan yang paling mengharukan. Ia menyampaikan pidato dedikasi, tepat di titik tertinggi pendidikannya, untuk sang Ibu yang dulu membawa golok. Sebuah pengakuan bahwa disiplin yang keras, pada akhirnya, adalah kunci keberhasilan.


Selama 17,5 tahun, Ira bekerja di raksasa ritel Amerika Serikat, GAP Inc. Ia adalah profesional global yang terbiasa dengan budaya kerja Amerika yang serba cepat dan efisien. Titik balik kembali ke Indonesia datang dari sebuah tantangan halus dari Dahlan Iskan, yang saat itu menjadi Menteri BUMN, “Sampai kapan mengabdi sama Amerika?” Pertanyaan di Beijing itu membekas, dan akhirnya ia kembali, memulai karier BUMN-nya dari Sarinah, kemudian PT Pos, sebelum berlabuh di ASDP.


Transisi ini tidak mudah. Ira sempat mengalami culture shock yang luar biasa. Budaya kerja Indonesia, khususnya BUMN, terasa lebih komunal dan penuh formalitas yang berlapis-lapis. Ia menceritakan bagaimana seluruh karyawan bisa melayat secara serentak, meninggalkan kantor kosong di jam kerja. Bahkan, stres penyesuaian itu membuatnya diare selama dua minggu. Namun, ia berpegang pada prinsip, “Jika ingin survive, harus belajar banyak hal dalam waktu cepat.”


Saat pertama kali datang ke ASDP, kondisi perusahaan secara keuangan baik, tetapi proses bisnisnya sangat manual. Pembayaran tiket masih didominasi tunai (cash), dan jumlahnya bisa mencapai Rp5 miliar hingga Rp7 miliar per hari di musim puncak. Bayangkan, uang tunai sebesar itu berserakan di pelabuhan. Tentu saja, sistem ini mengundang banyak “pemain” untuk mencari keuntungan.


Langkah strategis Ira adalah melakukan digitalisasi massif di semua lini. Tujuannya jelas, menghapus intervensi manusia dan menutup potensi kecurangan. Konflik pun tak terhindarkan. Melawan sistem tunai miliaran rupiah yang sudah mengakar sama saja dengan menyatakan perang. Ira mengakui adanya ancaman dan perlawanan. Namun, ia maju terus. Alhasil, sistem ticketing sudah cashless dan online reservation, membuat proses jauh lebih mudah bagi konsumen dan sangat mengurangi kecurangan yang terjadi di pelabuhan.


Digitalisasi ini bahkan terakselerasi saat pandemi, membuktikan bahwa inovasi dan kemudahan pelanggan adalah kunci untuk tetap menguntungkan meskipun pergerakan manusia dibatasi. Berikutnya, ASDP berencana mempermudah reservasi berbasis WhatsApp dan menggunakan AI untuk otomatisasi klasifikasi golongan kendaraan.


Ira Puspadewi memimpin industri yang sangat maskulin, karena hanya 6% karyawannya yang perempuan. Pertanyaan tentang bagaimana memposisikan diri di tengah lingkungan yang didominasi pria ia jawab dengan filosofi unik. Ia bercerita bahwa tumbuh besar dengan tujuh saudara laki-laki membuatnya tidak pernah merasa terintimidasi. Ia bahkan berkelakar, dalam bahasa Inggris, kapal sering disebut “she”, maka perusahaan ini memang butuh “she” (perempuan) untuk mengaturnya.


Namun, jawaban ilmiahnya lebih dalam. Ia membandingkan kepemimpinan bonobo (primata yang dipimpin betina dan mengedepankan harmoni) dengan simpanse (primata yang dipimpin jantan dan cenderung teritorial). Sebagai pemimpin perempuan, pendekatannya adalah mencari koneksi dan berdialog untuk mencapai konsensus, daripada langsung mengambil keputusan secara top-down.


Mimpi besar Ira Puspadewi bukan hanya sekadar membuat penyeberangan lancar. Ia ingin mengubah paradigma pelabuhan dari sekadar tempat transit menjadi titik penciptaan nilai tambah dan sentra ekonomi.


Mengutip contoh di Belgia, Ira berangan-angan. Di area pelabuhan Belgia, barang impor diolah, misalnya jus jeruk dari tangki besar diproses menjadi kemasan kecil. Ira membayangkan Bakauheni atau pelabuhan lain bisa menjadi unit pemrosesan sederhana, seperti repacking atau pusat distribusi. Dengan begitu ASDP tak hanya menjual jasa transportasi tetapi juga mendorong ekonomi lokal.


Dengan 70% karyawan milenial yang membawa energi dan ide segar dipadukan 30% karyawan senior yang membawa kebijaksanaan dan pengalaman, Ira Puspadewi telah membangun formula yang ideal. Ia tak hanya menyeberangkan kapal dan orang, tetapi juga menyeberangkan sebuah BUMN tua ke era digital. Ira Puspadewi membuktikan bahwa keberanian bukan muncul karena tahu segalanya, melainkan karena berani mencoba meskipun tidak tahu, dan yang terpenting, keberanian untuk menghadapi dan mengubah sistem lama yang sudah nyaman dalam dosa.


Setahun berselang sejak wawancara tersebut, di tahun 2025 Ira divonis penjara 4,5 tahun oleh majelis hakim tindak pidana korupsi. Meskipun ketua majelis hakim meyakini Ira tak bersalah, namun ia kalah suara dengan dua hakim yang lain. Sejak dijadikan tersangka korupsi, Ira diberhentikan sebagai dirut ASDP. Atas kasus ini saya tertarik dengan tulisan Dahlan Iskan, orang yang mengajak Ira pulang dan mengabdi untuk bangsanya sendiri. Sangat terasa, nada tulisannya menahan amarah.


Di mata Dahlan, sosok yang mempunyai prestasi seperti Ira tidaklah banyak. Ira nyaris sempurna sebagai pemimpin di ASDP. Laba ASDP meningkat drastis hingga Rp3 triliun. Perusahaan tumbuh pesat dan sistemnya dibenahi. Padahal membenahi sistem itu pasti banyak musuhnya. Aksi korporasinya jarang dilakukan oleh BUMN, yaitu akuisisi perusahaan pesaing. 


Kesalahan pertama yang di-framing-kan kepada Ira, menurut Dahlan, adalah Ira membeli kapal bekas. Dia dianggap bersalah. Di situ pemahaman bisnis sama sekali tidak ada. Berarti orang yang menuduh tidak bisa membedakan antara membeli perusahaan dan membeli kapal. Hal itulah, yang bagi Dahlan adalah kedunguan yang rasanya membuat dadanya meledak!


Dahlan tahu betapa lelah jiwa Ira setelah dinyatakan sebagai tersangka korupsi. "Kelelahan itu terutama saat memikirkan bagaimana dia yang begitu berjerih payah membersihkan internal ASDP dari korupsi justru dia sendiri yang jadi tersangka korupsi. Pasti Ira ingin berontak, tapi tidak berdaya," kata Dahlan.


Itulah risiko menjadi dirut BUMN. Tulis Dahlan, “Akhirnya saya pun tahu risiko itu. Seseorang yang pernah saya angkat menjadi dirut –belakangan ia sempat jadi menteri– mengatakan kepada saya apa adanya: kesalahan yang saya perbuat adalah ”bersih dan membersihkan.” Mungkin karena “bersih dan membersihkan” itulah akhirnya sang menteri tersebut disingkirkan. Termasuk Ira. 


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (144) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (56) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)