Menelusuri Dinamika NU

Senin, 24 November 2025

Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Ia adalah sebuah samudra sejarah, tempat berkumpulnya jiwa-jiwa revolusioner, pemikir ulung, dan para pejuang yang bergerak lincah di persimpangan antara tradisi pesantren dan modernitas negara bangsa. Menjelajahi NU adalah menelusuri garis keturunan dan sebuah sanad yang menghubungkan api perjuangan para pendiri dengan badai internal yang melanda hari ini.


Mari kita tarik napas sejenak dan menyelami dua potret ketokohan dari masa lalu NU yang luar biasa dinamis: Sang Reformer Muda KH Abdul Wahid Hasyim dan Sang Ulama Teguh KH Abdul Chalim.


Membicarakan KH Abdul Wahid Hasyim adalah berbicara tentang visi dan keberanian. Putra pendiri NU, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini adalah anomali di masanya. Bayangkan, seorang kiai muda yang tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga fasih berbahasa Inggris, akrab dengan pergerakan global, dan membawa semangat modernisasi ke dalam struktur NU yang masih tradisional.


Wahid Hasyim adalah simbol transisi. Ketika Indonesia bergejolak, ia berdiri di garda depan, menjadi salah satu pejuang muda NU yang paling vokal. Keterlibatannya dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menjadi bukti bahwa suara pesantren memiliki tempat vital dalam merumuskan dasar negara. Dialah yang memastikan NU tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga arsitek masa depan bangsa.


Gaya kepemimpinan Wahid Hasyim ditandai oleh semangat pembaharuan. Ia berani membongkar stagnasi, merapikan struktur organisasi, dan mendorong kaderisasi. Visi terbesarnya adalah agar NU tidak hanya berkutat di masjid dan madrasah, tetapi juga menyentuh birokrasi, politik, dan pendidikan formal tingkat tinggi. Ia mengajarkan bahwa tradisi bisa kokoh tanpa harus anti perubahan. Sosok ini mewakili spirit dinamis yang selalu ingin melihat NU bergerak maju dan relevan di setiap zaman.


Jika Wahid Hasyim adalah simbol pembaharuan, KH Abdul Chalim mewakili keteguhan akar. Tokoh ulama dari Jawa Barat ini mungkin tidak selalu berada di bawah sorotan lampu ketenaran, namun perannya dalam mengonsolidasi kekuatan NU di akar rumput adalah fondasi yang tak tergantikan. Pengakuan beliau sebagai Pahlawan Nasional semakin menegaskan bahwa perjuangan di daerah adalah urat nadi pergerakan NU secara keseluruhan.


Abdul Chalim adalah figur yang bergerak di tengah perjuangan fisik dan ideologis. Berlatar belakang pendidikan pesantren yang kuat, beliau mampu menyatukan kiai-kiai di wilayah Pasundan untuk melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Beliau adalah contoh nyata bagaimana jaringan pesantren, jauh dari hiruk pikuk ibukota Jakarta, menjadi benteng pertahanan paling efektif.


Kisah Abdul Chalim mengingatkan kita bahwa kekuatan NU tidak pernah terletak pada satu pusat kekuasaan, melainkan pada ribuan kiai, nyai, dan santri yang tersebar di pelosok negeri. Menjalankan dakwah sambil memanggul senjata. Mereka adalah simbol keikhlasan, perjuangan sunyi, namun hasilnya adalah fondasi kokoh yang menopang organisasi hingga hari ini.


Semangat dinamis dan keberanian berpendapat yang dimiliki tokoh-tokoh seperti Wahid Hasyim dan Abdul Chalim ternyata bukanlah anomali, melainkan genetik NU. NU diciptakan sebagai organisasi yang hidup, bukan patung yang membeku. Dan ciri organisasi yang hidup adalah adanya dinamika, bahkan konflik.


Dalam sejarah boleh jadi selalu ada tarik-menarik antara dua kutub utama di NU: Syuriyah dan Tanfidziyah. Syuriyah adalah majelis tertinggi yang berisikan para ulama senior, memegang kendali syariat, prinsip, dan ideologi organisasi. Mereka adalah kompas. Sementara itu, Tanfidziyah (badan pelaksana) adalah motor yang menggerakkan roda organisasi, termasuk dalam urusan politik dan manajerial.


Konflik internal PBNU, seperti yang terjadi baru-baru ini antara jajaran Tanfidziyah yang dipimpin oleh KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dengan jajaran Syuriyah yang dipimpin oleh KH Miftachul Akhyar, adalah manifestasi modern dari tarik-menarik historis ini.


Ketika Gus Yahya, sebagai Ketua Umum PBNU, mengambil langkah strategis yang dianggap perlu untuk memajukan dan memposisikan NU di kancah global dan nasional, gesekan dengan otoritas Syuriyah tak terhindarkan. Syuriyah, dengan perannya sebagai penjaga gawang ideologi, berhak dan wajib mengeluarkan teguran atau putusan jika dirasa kebijakan Tanfidziyah mulai melenceng dari garis khittah atau prinsip ulama.


Fenomena “Gus Yahya melawan” atau keputusan Syuriyah yang terkesan “keras” bukanlah kiamat bagi NU. Sebaliknya, ia adalah bukti bahwa NU adalah organisasi yang sehat dan demokratis. Spirit Wahid Hasyim dan ketegasan Abdul Chalim dalam prinsip menjadi pengingat bahwa akar perjuangan tidak boleh dilupakan, bahkan ketika organisasi berada di puncak kekuasaan.


Internal konflik di NU adalah cara organisasi ini menguji dan menyeimbangkan dirinya. Ini semacam “rem” dan “gas” yang beroperasi bersamaan. Tanpa adanya dorongan progresif Tanfidziyah, NU mungkin bisa mandek. Tanpa adanya kontrol ideologis dari Syuriyah, NU barangkali bisa kehilangan identitasnya.


Maka, ketika kita melihat konflik PBNU hari ini, jangan melihatnya sebagai kehancuran, melainkan sebagai babak baru dalam dinamika yang sudah dimulai sejak dulu. Sejarah mengajarkan kita, NU selalu menemukan jalannya keluar, dengan syarat, para pemimpinnya, baik yang muda progresif maupun yang tua bijaksana, tetap merujuk pada prinsip perjuangan para pendahulu yang tulus dan berani.


Jiwa muda Wahid Hasyim, keteguhan Abdul Chalim, dan perdebatan internal PBNU hari ini adalah sebuah fase dari sungai yang sama: Sungai Nahdlatul Ulama, yang airnya tak pernah berhenti mengalir, kadang tenang, kadang bergelombang, namun selalu menuju lautan kebaikan bagi bangsa. Semoga.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (138) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (55) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)