Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjaring Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Jumat, 7 November 2025. Dua hari berselang KPK menetapkan bupati tersebut sebagai tersangka kasus suap jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di Pemkab Ponorogo. KPK juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka, yaitu Sekretaris Daerah, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), dan rekanan RSUD Ponorogo.
Penangkapan Bupati Ponorogo bersama jajaran pejabatnya oleh KPK atas praktik jual beli jabatan adalah kabar yang menyakitkan namun tidak mengejutkan. Kasus ini, yang memperlihatkan birokrasi diperlakukan sebagai pasar lelang jabatan, merupakan manifestasi nyata dari tesis yang pernah diulas oleh sejarawan besar, Ong Hok Ham, dalam kumpulan esai klasiknya, “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang”.
Ong Hok Ham menganalisis bagaimana mitos kekuasaan tradisional Jawa, khususnya konsep wahyu kedaton (legitimasi spiritual atau moral pemimpin), terus berinteraksi dengan politik modern. Ketika wahyu itu diyakini melingkupi seorang pemimpin, ia bertindak dengan etika dan kewibawaan. Namun, kasus Ponorogo menunjukkan bahwa wahyu itu telah hilang.
Jual beli jabatan adalah indikasi dari ketiadaan wahyu moral seorang pemimpin. Jabatan publik, yang seharusnya diemban sebagai amanah spiritual dan etika pelayanan, diubah menjadi aset finansial yang dapat diperjualbelikan kepada penawar tertinggi. Jabatan, yang seharusnya diisi berdasarkan meritokrasi (kualifikasi, kompetensi, kinerja, dan kedisiplinan) justru diperlakukan layaknya komoditas lelang bagi mereka yang mampu membayar.
Di berbagai daerah modusnya serupa: pengusaha harus menyetor uang untuk mendapatkan proyek, dan pejabat harus menyuap untuk mendapatkan posisi strategis, yang pada akhirnya memberi mereka kuasa untuk memainkan proyek. Ini adalah lingkaran setan yang menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi kejahatan insidental, tetapi sebuah model bisnis yang terorganisasi di dalam birokrasi.
Sementara itu, dalam pewayangan Jawa, perilaku Kepala Daerah yang mengkhianati sumpah jabatan demi kekayaan menyerupai tokoh Adipati Karna yang salah memilih kesetiaan—bukan pada kebenaran, melainkan pada kemewahan dan kekuasaan semu. Bedanya, jika Karna dikenal dengan kegagahannya di medan perang, para pejabat ini gagah berani saat menagih uang suap di belakang meja dinas.
Kasus ini kembali mengingatkan kita pada pesan mendasar tentang integritas. Mohammad Hatta, Sang Proklamator, pernah berujar, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki”.
Peringatan serupa juga disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Mahfud MD, yang sering menekankan bahwa korupsi Kepala Daerah marak karena mahalnya biaya politik dan adanya percukongan. Kepala Daerah yang terpilih merasa berutang kepada pemodal, sehingga menggunakan wewenang jabatan (termasuk mutasi) sebagai alat balas budi dan mengumpulkan kekayaan, bukan untuk melayani rakyat.
Ironisnya, modus jual beli jabatan ini bukanlah “inovasi” Ponorogo. Provinsi Jawa Timur sendiri memiliki daftar panjang kasus serupa, menegaskan adanya penyakit struktural yang sama dalam tata kelola kepegawaian di daerah.
Di Nganjuk, pada tahun 2021 bupatinya terjerat kasus suap promosi dan mutasi jabatan ASN, mencerminkan pola yang identik dengan Ponorogo. Di Probolinggo, pada tahun yang sama bupati dan suaminya terlibat dalam suap untuk pengisian jabatan Kepala Desa (Kades), membuktikan bahwa praktik mahar telah merambah hingga ke level pemerintahan desa. Sedangkan di Jombang, pada tahun 2018 bupatinya juga terbukti menerima suap terkait promosi jabatan ASN, terutama jabatan kepala dinas.
Kesamaan modus ini menunjukkan bahwa otonomi daerah sering disalahgunakan sebagai otonomi dalam berkorupsi. Kewenangan yang terpusat di tangan Kepala Daerah menjadi celah emas untuk diperjualbelikan. Untuk menghentikan kisah fiksi kelam ini, penegakan hukum harus diperkuat, dan yang terpenting, sistem rekrutmen politik harus dibenahi agar biaya politik menjadi murah.
Kasus Ponorogo, juga daerah-daerah lain, sama seperti yang disorot Ong Hok Ham dalam konteks historis yang lebih luas, mengajarkan bahwa korupsi adalah manifestasi dari krisis legitimasi etika. Kita harus menyadari bahwa selama pemimpin daerah melihat kekuasaan sebagai sumber keuntungan pribadi, bukan sebagai wahyu atau amanah suci, maka drama “Negeri yang Guncang” akan terus diputar berulang-ulang, menghabiskan darah dan air mata rakyat.
Penangkapan oleh KPK hanyalah upaya pembersihan gejala. Penyembuhan sesungguhnya harus dimulai dari menanamkan kembali wahyu moral dan integritas pada setiap kursi kekuasaan.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya