Hari Guru di Tengah Realita

Selasa, 25 November 2025

Hari Guru Nasional adalah hari di mana kita, para murid, orang tua, dan seluruh bangsa, serentak menoleh ke belakang, mengenang jasa para pendidik yang tak terhitung. Kita menyebut mereka Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, sebuah julukan yang indah sekaligus ironis. Di satu sisi, ia meninggikan status guru ke langit, mensejajarkannya dengan pejuang kemerdekaan. Di sisi lain, julukan itu kerap digunakan sebagai pembenaran untuk mengabaikan kesejahteraan mereka di bumi.


Di Indonesia, menjadi seorang guru bukan sekadar profesi. Itu adalah panggilan, sebuah pengabdian suci yang diwarisi dari semangat reformis pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Filosofi luhur yang beliau tanamkan: Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun kemauan), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), adalah cetak biru ideal bagi setiap pendidik. Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus memerdekakan, memberdayakan, dan membimbing, bukan mengekang.


Namun, bagaimana idealisme Ki Hajar Dewantara berhadapan dengan realita yang keras dan terkadang miris di lapangan? Jawabannya terbentang dari pelosok negeri hingga ruang periksa penegak hukum.


Kisah pengorbanan guru seringkali melampaui batas nalar. Salah satu yang sempat viral dan membuat kita menahan napas adalah cerita tentang guru yang berjuang melintasi medan sulit, bahkan mempertaruhkan nyawa, hanya untuk memastikan anak didiknya tidak kehilangan satu hari belajar.


Leni Sumarni adalah contoh yang sempat diberitakan oleh media. Ia seorang guru Sekolah Dasar di Sukabumi yang sedang hamil dan rela menyeberangi sungai hanya untuk mengajar. Ibu guru ini, dengan nyawa calon bayi di dalam kandungannya, menghadapi derasnya air dan risiko tergelincir. Semua demi menunaikan janji “Tut Wuri Handayani”. Ini adalah pengabdian sejati yang seharusnya menjadi cerminan keberhasilan pendidikan Indonesia, namun pada saat yang sama, ia adalah cerminan kegagalan kita dalam menyediakan infrastruktur.


Kisah seperti ini bukan anomali. Di berbagai daerah terpencil, ada guru dengan gaji yang tak seberapa terpaksa mengendarai motor di jalan berlumpur, berjalan kaki belasan kilometer, atau bahkan menjadi pemulung sepulang mengajar demi menyambung hidup. Mereka adalah pahlawan yang secara harfiah “memberi dorongan” dari belakang, memastikan gerbong pendidikan terus maju, sementara mereka sendiri tertatih-tatih di bawah garis kesejahteraan. Inilah sisi miris yang kontras dengan kemeriahan Hari Guru.


Di sisi lain, tantangan guru modern tidak hanya sebatas masalah kesejahteraan atau fasilitas. Mereka juga bergulat dengan batas-batas disiplin dan moral di tengah pengawasan publik yang tajam.


Kisah tentang guru yang dilaporkan karena bertindak (dianggap) keras kepada siswa menghadirkan dilema yang rumit. Di satu sisi, guru dituntut untuk menjadi “Ing Ngarsa Sung Tuladha”, sosok teladan yang tidak boleh melakukan kekerasan fisik. Di sisi lain, mereka berada di bawah tekanan besar untuk mendisiplinkan generasi yang semakin bebas, seringkali tanpa didukung oleh sistem yang jelas atau dukungan penuh dari orang tua.


Dunia pendidikan pernah gempar. Seorang kepala sekolah di Lebak menjadi sorotan publik. Nama Dini Fitria viral ketika orang tua murid melaporkan kepala sekolah tersebut ke polisi setelah anaknya diduga ditampar karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Insiden tersebut memicu gelombang reaksi, termasuk aksi mogok belajar oleh para siswa sebagai bentuk protes. Dini Fitria memberikan klarifikasi bahwa tindakannya itu spontan karena emosi sesaat dan tidak ada niat menyakiti, bahkan tamparannya pun ringan.


Kasus penamparan, yang berujung pada laporan polisi, menunjukkan bahwa kesalahan seorang pendidik, sekecil apa pun itu, kini langsung berhadapan dengan hukum. Tentu, kekerasan tidak dapat dibenarkan. Namun, kejadian ini memaksa kita untuk bertanya, bagaimana seorang guru dapat “Ing Madya Mangun Karsa” (membangun kemauan dan karakter) jika ruang geraknya untuk menerapkan ketegasan semakin sempit dan berisiko tinggi? Guru adalah manusia biasa yang juga bisa lelah, marah, dan melakukan kekeliruan, namun risiko yang mereka tanggung atas kekeliruan itu sangat besar.


Pengorbanan seorang guru hamil yang melintasi sungai adalah panggilan jiwa yang luar biasa, namun itu adalah tanda bahwa negara harus lebih hadir. Kasus kriminalisasi terhadap guru yang bersikap keras adalah alarm bahwa kita perlu menciptakan sistem pendidikan yang sehat, yang memungkinkan guru menegakkan disiplin tanpa harus berakhir di kantor polisi.


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa layak mendapatkan lebih dari sekadar karangan bunga dan ucapan selamat. Mereka layak mendapatkan upah yang layak, jaminan kesehatan dan keselamatan, serta perlindungan hukum yang jelas. Hanya dengan begitu, filosofi Ki Hajar Dewantara: memberi teladan, membangun kemauan, dan memberi dorongan, dapat diwujudkan dengan hati yang tenang dan pikiran yang merdeka, tanpa harus mengorbankan diri sendiri dalam perjuangan hidup sehari-hari.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (140) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (55) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)